Entah kenapa, bibir Windy seolah terkunci rapat. Dia sangat mencintai Chandra, tetapi detak jantungnya begitu aneh yang dia sendiri tak bisa mengontrolnya. Mungkinkah apa yang dikatakan Chandra itu benar? Selama ini di hati Windy memang ada cinta untuk Reyhan tanpa disadarinya. Reyhan pergi meninggalkan Windy yang terisak tanpa bisa bicara sepatah kata pun. Saat keluar dari dapur, Reyhan berpapasan dengan Karina.
"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu ini?" tanya Karina.
Reyhan tersenyum sejenak, hendak mengawali lembar hidupnya tanpa Windy.
"Lo bisa bantu gue?"
"Apa yang harus ...."
Karina tertegun saat Reyhan memeluknya erat, membiarkan wanita itu menikmati irama detak jantung yang tak terkendali. Dari dulu, Karina memang sudah jatuh cinta pada pria bermata hazel ini.
"Buat gue jatuh cinta sama lo. Sebelum lo bisa bikin gue ngelupain Windy, gue nggak akan mungkin ngelepasin lo!"
Selama ini Karina marah karena sikap dingin Reyhan, tetapi kali ini dia justru luluh. "Kamu jadiin aku alat untuk ngelupain Windy?"
"Apa pun itu namanya. Yang jelas, gue nggak mau bikin Windy menderita karena perasaan gue ini. Gue nggak mau dia merasa serba salah. Aku harap dia bisa menyatukan pikiran dan hatinya cuma untuk Chandra. Dia cinta banget sama Chandra. Gue juga nggak bisa nyalahin Chandra. Wajar aja dia cemburu dengan kedekatan kami. Lo mau bantu gue, 'kan?"
Karina melepaskan pelukannya. Sejenak, dia menoleh ke arah dapur. Windy masih di sana, enggan beranjak. Dia menikmati rasa tangis akibat ditinggal oleh Reyhan.
"Apa sekarang kita pura-pura pacaran?" tanya Karina.
Reyhan menghela napas, menggeleng singkat. "Ini bukan pura-pura. Gue serius mau ngelupain Windy. Gue serius mau jatuh cinta sama lo, Judes."
Karina terdiam sejenak, menatap mata Reyhan dengan perasaan curiga.
"Serius, nih?"
"Ribet lo, ya! Ya udah kalau nggak mau. Terserah!"
"Oh God! Keterlaluan banget. Iya, aku mau."
Karina tersenyum dan menggandeng lengan Reyhan. "Oke, sekarang tugas pertamaku sebagai pacar itu jagain kamu sampai sembuh. Sekarang kamu harus makan dan istirahat."
"Ck, nggak usah sok ngatur!"
"Ih! Apaan, sih? Kita ini pacaran, masa aku nggak boleh perhatian sama kamu, sih? Ga ngerti aku sama kamu, Rey. Dasar, alien galak!" Karina terdengar meninggikan suaranya.
Suara Karina mengejutkan Windy. Perlahan, dia melangkah meninggalkan dapur. Dia terkejut saat melihat Reyhan tersenyum sambil melabuhkan Karina dalam pelukannya. Reyhan memeluknya dengan kedua lengan hangatnya.
Kenapa aku jadi nggak rela gini, Tuhan? Dia Reyhan-ku. Dulu cuma aku yang ada di pelukan dia. Kenapa sekarang terasa sakit? Apa kita harus berpisah, Rey? batin Windy.
Windy berlari meninggalkan sumber luka itu. Reyhan juga enggan peduli lagi pada Windy. Dia harus belajar menganggap Windy sebagai bagian dari masa lalunya.
*
Malam yang dingin. Seharian ini hari berjalan begitu cepat. Di beranda, tampak Fandy dan Ares bermain gitar dan menyanyikan lagu riang. Sepertinya hanya mereka berdua yang tidak terlibat konflik cinta. Ares yang tahu jelas akar permasalahannya pun tak ingin mencampuri. Reyhan, Karina, Windy, Chandra, dan Arvin justru dilingkupi hawa dingin, tak tertembus oleh sinar ceria yang dihembuskan Ares dan Fandy.
"Besok pagi kita harus balik ke Bandung. Oh My God! Cepat banget liburannya, ya," keluh Ares.
Fandy mengangguk setuju, "Kita di sini udah dua minggu. Ga terasa. Banyak hal yang terjadi. Macem-macem, lah."
"Ya, termasuk gue dan Rey." Karina menyela.
Dengan senyum sumringah, Karina mengangkat tangannya yang tergenggam bersama Reyhan. Mereka seolah tak percaya.
"Kalian jadian?" tanya Fandy, bingung.
Reyhan berwajah sendu, tak antusias dengan aksi Karina memproklamirkan hubungan baru mereka. Windy tak acuh, enggan menatap wajah bahagia Karina. Chandra juga tak percaya dengan kejadian yang begitu cepat. Sementara itu, Arvin semakin mengurai senyum sinisnya.
Thanks, God! Gue udah berhasil nyingkirin Reyhan dari hidup Windy. Sekarang sasaran gue itu Chandra! batin Arvin.
Tentu saja hubungan mendadak Reyhan dan Karina menimbulkan tanda tanya besar di kepala Ares. Dia yang tahu jelas akan hati sahabatnya itu. Dia heran kenapa Reyhan mengambil keputusan mendadak.
"Sejak kapan?" seru Ares.
"Tadi siang," jawab Karina dengan antusias.
"Akhirnya bisa juga lo ngeluluhin hati es si Rey. What a great girl!" seru Fandy menunjukkan ibu jarinya ke arah Karina.
"Of course!"
Windy tak ingin berada di sekitar mereka. Dia berjalan meninggalkan beranda, berdiri santai di pekarangan. Dia mencoba mengikhlaskan hati untuk melepaskan Reyhan.
"Kamu cemburu?"
Windy terkejut menyadari Chandra mengikutinya. Dia menatap pria itu. Saat ini Chandra-lah sumber kekuatannya untuk bisa hidup tanpa Reyhan.
"Aku akan kelihatan munafik kalau aku bilang saat ini aku baik-baik aja. Aku dan Reyhan udah mutusin hubungan baik kami selama ini. Aku udah kehilangan dia, apa kamu juga mau ninggalin aku?"
Chandra bungkam sejenak. Saat ini memang tergores jelas luka di setiap inchi tatapan Windy. Chandra tak bisa menghakimi Windy dengan perasaan cinta yang sebenarnya terselip di hati Windy untuk Reyhan. Chandra menyadarinya. Akan tetapi, mungkin Reyhan tak tahu jika dia menempati posisi penting di hati Windy.
"Kamu mau kita mulai dari awal lagi, nggak? Aku janji nggak akan ada Rey di antara kita."
"Jangan main-main, Windy. Aku nggak mau kamu jalanin hubungan sulit ini."
"Hubungan sulit apa? Aku cinta sama kamu. Aku ...."
"Lalu gimana perasaan kamu ke Reyhan?"
"Aku nggak bisa janjiin apa pun, Chandra."
Chandra tampak kesal, berpaling dari tatapan Windy. "Kalau kamu aja nggak bisa janjikan hatimu ke aku, gimana bisa kamu minta kita mulai lagi dari awal? Aku nggak bisa cemburu setiap saat kalau Reyhan ...."
"Reyhan udah ninggalin aku!"
Chandra tercekat, menatap mata Windy tampak berkaca-kaca. "Reyhan ...."
"Ya, sekarang kami berusaha melepas ikatan persahabatan kami. Tugas kamu dan Karina itu menarik kami ke arah yang berlawanan. Aku dan Reyhan tau, magnet yang mengikat kami 17 tahun ini terlalu kuat. Dan sekarang, kami berusaha ngelepasin diri. Apa kamu mau tetap lepasin aku?"
Chandra segera menenggelamkan tubuh mungil Windy dalam pelukannya. Dia membiarkan wanita itu melepaskan semua rasa lelah di pelukannya. Saat ini Windy bisa sedikit lega. Dia bisa membuat Chandra percaya padanya. Akan tetapi, tetap saja luka yang ditinggalkan Reyhan di hatinya takkan bisa sembuh.
"Aku yakin aku lebih baik dari Reyhan. Aku yakin aku ini orang yang kamu butuhkan. Aku ini takdirmu, Barbie! Aku akan jadi pelindungmu. Kamu pasti bisa ngelupain Reyhan. Aku akan jadi pacar dan sahabat terbaik gantiin posisi dia. Thanks, Barbie."
Dari kejauhan, ada senyuman yang terukir melihat Chandra dan Windy begitu mesra. Tampak Ares memegang bahu Reyhan. Dia memberi support pada sahabat yang saat ini pasti terluka dan kecewa akan keputusan takdir yang mengikat mereka.
"Lo bisa bertahan?" tanya Ares.
"Ya. Lo akan selalu jagain gue, 'kan?"
Windy dan Reyhan sudah memilih jalan mereka, melewati luka yang tak tahu apakah bisa mereka terima. Jika memang cinta di hati Reyhan sanggup mengetuk hati Windy, tentu Windy akan merasakan sakit yang sama sepertinya. Mungkin saja karena saat ini, Windy tengah menangis di pelukan Chandra. Dia menangis karena untuk saat ini dan seterusnya, nama Reyhan akan dia hapus, menghilang bagai buih.
*Entah kenapa, bibir Windy seolah terkunci rapat. Dia sangat mencintai Chandra, tetapi detak jantungnya begitu aneh yang dia sendiri tak bisa mengontrolnya. Mungkinkah apa yang dikatakan Chandra itu benar? Selama ini di hatinya memang ada cinta untuk Reyhan tanpa disadari. Reyhan pergi meninggalkan Windy yang terisak tanpa bisa bicara sepatah kata pun. Saat keluar dari dapur, Reyhan berpapasan dengan Karina.
"Apa kamu yakin dengan keputusan kamu ini?" tanya Karina.
Reyhan tersenyum sejenak, hendak mengawali lembar hidupnya tanpa Windy.
"Lo bisa bantu gue, Rin?"
"Apa yang harus-"
Karina tertegun saat Reyhan memeluknya erat, membiarkan gadis itu menikmati irama detak jantung yang tak terkendali. Dari dulu, Karina memang sudah jatuh cinta pada pemuda bermata hazel ini.
"Buat gue jatuh cinta sama lo. Sebelum lo bisa bikin gue ngelupain Windy, gue nggak akan mungkin ngelepasin lo!"
Selama ini Karina marah karena sikap dingin Reyhan, tetapi kali ini dia justru luluh. "Kamu jadiin aku alat untuk ngelupain Windy?"
"Apa pun itu namanya. Yang jelas, gue nggak mau bikin Windy menderita karena perasaan gue ini. Gue nggak mau dia merasa serba salah. Aku harap dia bisa menyatukan pikiran dan hatinya cuma untuk Chandra. Dia cinta banget sama Chandra. Gue juga nggak bisa nyalahin Chandra. Wajar aja dia cemburu dengan kedekatan kami. Lo mau bantu gue, 'kan?"
Karina melepaskan pelukannya. Sejenak, dia menoleh ke arah dapur. Windy masih di sana, enggan beranjak. Dia menikmati rasa tangis akibat ditinggal oleh Reyhan.
"Apa sekarang kita pura-pura pacaran?" tanya Karina.
Reyhan menghela napas, menggeleng singkat. "Ini bukan pura-pura. Gue serius mau ngelupain Windy. Gue serius mau jatuh cinta sama lo, Judes."
Karina terdiam sesaat, menatap mata Reyhan dengan perasaan curiga.
"Serius, nih?" tanya Karina.
"Ribet lo, ya! Ya udah kalau nggak mau. Terserah!" kesal Reyhan sambil mendorong bahu Karina agar lebih menjauh.
"Oh God! Keterlaluan banget. Iya, aku mau."
Karina tersenyum dan menggandeng lengan Reyhan. "Oke, sekarang tugas pertamaku sebagai pacar itu jagain kamu sampai sembuh. Sekarang kamu harus makan dan istirahat."
"Ck, nggak usah sok ngatur!"
"Ih! Apaan, sih? Kita ini pacaran, masa aku nggak boleh perhatian sama kamu, sih? Ga ngerti aku sama kamu, Rey. Dasar, alien galak!" Karina terdengar meninggikan suaranya.
Suara Karina mengejutkan Windy. Perlahan, dia melangkah meninggalkan dapur. Dia terkejut saat melihat Reyhan tersenyum sambil melabuhkan Karina dalam pelukannya. Reyhan memeluknya dengan kedua lengan hangatnya.
'Kenapa aku jadi nggak rela gini, Tuhan? Dia Reyhan-ku. Dulu cuma aku yang ada di pelukan dia. Kenapa sekarang terasa sakit? Apa kita harus berpisah, Rey?' batin Windy.
Windy berlari meninggalkan sumber luka itu. Reyhan juga enggan peduli lagi pada Windy. Dia harus belajar menganggap Windy sebagai bagian dari masa lalunya.
*