PROLOG
““Enak ya, jadi istri seorang ustad. Tidak pernah bertengkar. Suami selalu mengalah, dan yang pastinya hidup penuh keberkahan,” bukan sekali dua kali aku mendengar kata-kata itu. Selama sepekan aku menikah, selama itu kata-kata manis itu menghiasi hari-hariku. Aku hanya tersenyum setiap kali mendengarnya, hanya itu yang bisa aku lakukan. Karena aku tidak bisa menyangkal dengan mudah kata-kata tersebut namun tidak bisa mengiyakan sebab tidak ada pengalaman yang bisa aku bagi dengan usia pernikahan yang baru seumur jagug ini.
Aku ARUMI, lahir dan besar di desa. Baru seminggu yang lalu aku lulus SMU tetapi orang tuaku memilih untuk menikahkanku. Orang tuaku ketua adat. Orang yang sangat di hormati di desa kami. lalu orang tua Ibrahim adalah tokoh agama yang tidak kalah terhormat dari ayahku. Ibrahim lahir dan besar di lingkungan yang religius bahkan setelah meraih gelar sarjana agama islam, orang tua Ibrahim memilihku untuk menjadi pendamping Ibrahim dan tidak sekalipun Ibrahim menolak itu semua.
Berada diposisiku memang menguntungkan. Punya suami yang meraih gelar sarjana muda, pintar, dan punya pekerjaan tetap di kota. Tentu saja tanpa paksaan aku menerima perjodohan tersebut. beda dengan Ibrahim, tentu saja di kota sana dia bertemu dengan banyak perempuan cantik yang siap menjadi istri Ibrahim. Dan mungkin karena takut menjadi anak durhaka maka dengan terpaksa dia mengikuti semua perintah orang tuanya. Entahlah itu hanya praduga yang selalu muncul dalam benakku.
Soal resepsi pernikahanpu kami sangat berbeda. Kami memutuskan untuk mengadakan resepsi dua kali, dia rumah mempelai perempuan dan di rumah mempelai laki-laki. Saat Resepsi diadakan di rumahku, tentu saja dengan acara yang sangat mewah, putri dari keluarga yang cukup berada, putri tunggal dari seorang tokoh adat tentu saja memberikan kesan yang berbeda. Musik diputar empat hari empat malam. Lalu tamu undangan bercampur baur. Salaman dengan lawan jenis yang selalu Ibrahim tolak dengan halus ketika harus bersalaman dengan perempuan.
“Aku terima nikah dan kawinnya Arumi Binti Ismail dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,” dengan sekali lafadz ijab qabul Ibrahim dinyatakan sah. Dan aku seperti pengantin lainnya menunggu dalam kamar, menunggu adat, Ibrahim akan masuk kamar dan menjemput pengantinnya dengan berbagai ritual.
Tok..tok..tok..
Jantungku berdetak kencang saat pintu diketuk. Beberapa orang yang menemaniku ikut panik. Kami membayangkan keseruan dalam pernikahan saat pengantin pria masuk. Membayangkan lomba seru, lomba berdiri lebih cepat dari pengantin pria, lomba menyentuh telinga agar si pria mendengarkan wanitanya, lomba injak kaki dan sebagainya. Tentu saja dulu saat masih gadis sesi itu yang paling menyenangkan untuk jadi tontonan dan kali ini akan aku lakukan bersama lelaki yang menikahiku.
Tok..tok..tok..
Pintu kamar kembali diketuk semua tersipu malu.
“Uang masuk kamar,” teriak salah satu gadis desa yang berdiri di balik pintu kamar.
“Dia istriku. Sudah sah untuk aku temui,” jawaban Ibrahim tentu saja membuat semua orang tersentak. Lalu terdengar kegaduhan dibalik kamar, selembar uang diselipkan dibagian bawah pintu. biasanya gadis desa menolak untuk membukanya sampai semua gadis desa dalam kamar kebagian uang, tetapi kali ini berbeda. Gadis desa itu tidak ingin mengacaukan pernikahanku. Karena itu dengan terpaksa dia membuka pintu kamar.
Dengan langkah bak pangeran, dengan senyum yang berbinar Ibrahim mengipnotis semua orang dalam kamar. Namun semuanya tersadar saat Ibrahim tidak memilih untuk naik ke tempat tidur dan menjalani permainan pengantin baru. Ibrahim menjulurkan tangannya. Aku menatap heran. Karena tidak ada respon dariku, Ibrahim meraih jemariku kemudian membantuku berdiri dari tempat tidur, melangkah keluar kamar. Seluruh warga melongo melihatnya, namun Ibrahim tetap saja tersenyum melewati tiap pasang mata yang menatapnya heran.
Lalu resepsi yang diadakan di rumahnya berbeda dengan resepsi yang diadakan di rumahku. Aku memakai gaun pengantin berada di lautan manusia berjenis kelamin perempuan. Sedangka Ibrahim menjamu tamu laki-laki. Tempatnyapun dibedakan. Untuk tamu perempuan semuanya masuk ke dalam rumah sedangkan untuk tamu laki-laki cukup di pekarangan rumah yang disulap menjadi ruangan bertenda terowongan. Pernikahanku dimulai dengan perbedaan. Aku yang lahir dan tumbuh besar dengan adat istiadat dalam genggamanku kini harus terbiasa dengan kehidupan Islam kaffah yang selalu Ibrahim sebutkan.
Dan yang paling mengejutkan saat malam pertama akan dilangsungkan. Saat aku masih menunggu acara adat yang memulai malam pertama kami, Ibrahim malah memintaku untuk bersiap-siap untuk ikut dengan Ibrahim ke kota.
“Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak.
“Aku sudah lama cuti. Sejak pelamaran hingga persiapan resepsi pernikahan, aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi,” kata Ibrahim yang membuatku lemas. Bukan seperti ini pernikahan yang aku harapkan.
“Bagaimana dengan malam mama mertua?” tanyaku lirih.
“Kita bisa mengunjungi ibumu dan ibuku nanti,” tegas Ibrahim. Aku menarik nafas berat. Mengawali pernikahan ini terlalu berat bagiku. Aku harus menanggalkan nilai-nilai adat yang sejak awal sudah aku junjung tinggi. Dan aku harus ikut nilai-nilai agama yang baru aku kenal.
Ibrahim sudah selesai berkemas,sedangkan aku masih mengenakan gaun pengantin. Ibrahim menatapku lembut kemudian tersenyum. Wajah tampan itu selalu membuatku luluh. Namun bayangan terlalu cepat meninggalkan orang tuaku membuatku sedih.
“Insya Allah aku akan menjadi imam yang baik untukmu,” kata Ibrahim lembut. Aku merinding mendengar kata-katanya. Ibrahim mendekat, jantungku berdenyut kencang.
“Aku ganti pakaian dulu,” kataku untuk menghindari kontak fisik dengan Ibrahim. Ibrahim mengangguk.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Ibrahim, aku menatapnya dengan tatapan horor.
“Maksudmu?” tanyaku ketus.
“Mungkin saja kau akan kesulitan untuk membuka resleting bajumu,” katanya. Aku sejenak berfikir. Saat mengenakannya tadi aku dibandu gadis-gadis desa tetapi sekarang... aku langsung menggeleng membayangkan tubuhku untuk pertama kali disentuh oleh seorang laki-laki.
“Tidak perlu,” kataku. Kemudian masuk ke kamar mandi. Dengan susah payah aku berusaha meraih resleting yang ada di punggungku. Sampai akhirnya aku merasa frustasi.
Tok..tok..tok..
“Arumi... kau di dalam?” terdengar suara ibu mertuaku, dengan senang hati aku membuka pintu kamar mandi. Dan betapa malunya ketika aku melihat Ibrahim ada di belakang ibu mertuaku dengan senyum yang sulit aku artikan.
“Bu.. tolong bantu aku membuka resleting baju ini,” kataku pada ibu mertuaku.
“Tentu,” kata ibu mertuaku kemudian membukanya, aku segera berbalik agar punggungku tidak terlihat oleh Ibrahim.
“Setelah ganti pakaian, temuai kami di ruang keluarga,” kata ibu mertuaku.
“Baik bu,” jawabku. Ibu mertuaku pergi, aku langsung menutup pintu kamar mandi dan mengganti pakaianku.
Saat keluar kamar mandi Ibrahim masih berdiri di depan kamar mandi dan menatapku dengan tatapan aneh. Dia tertawa, seperti ada sesuatu yang sangat lucu menganggunya.
“Kenapa?” tanyaku yang masih berdiri di dalam kamar mandi sebab Ibrahim tidak menggeser tubuhnya meski satu inci.
“Aku suamimu, pantas untuk membuka resleting bajumu,” katanya dengan wajah lucu. Aku merasakan wajahku memerah karena menahan malu. Aku hanya menelan air liurku kemudian mengalihkan pandanganku dari tatapannya. Ibrahim menggeser tubuhnya kemudian mempersilahkanku untuk melewatinya. Aku kemudian keluar kamar dengan wajah cemberut karena Ibrahim suka sekali mengerjaiku.***&&&&***
Ayah dan ibu mertuaku sudah menunggu di ruang keluarga. Beberapa keluar juga hadir, ada yang duduk di lantai, sekedar berdiri dan ada juga ikut bergabung duduk di sofa bersama ayah dan ibu mertuaku. Aku sendiri memutuskan untuk duduk berhadapan dengan ayah mertuaku. Tidak lama Ibrahim muncul dan duduk tepat di sampingku. Terasa waktu berhenti berputar, aku lupa untuk bernafas, aliran darahku terhenti dan jantungku lupa untuk memompa darah.
“Kami ingin pamit,” kata Ibrahim yang mengembalikan keadaan menjadi normal, aku bisa bernafas lagi dan darahku kembali mengalir karena jantungku kembali berdetak memompa darah. Tadinya aku menyangka bahwa ajakannya untuk ke kota hanyalah candaan. Kalaupun memang benar kami harus ke kota, setidaknya menunggu seminggu setelah pernikahan kami.
“Apa tidak terlalu cepat?” tanya ibu mertua.
“Ini saja sudah terlambat bu, jangan bilang ibu akan menghalangiku menjalankan tugasku, aku punya kewajiban bu yang haram hukumnya untuk aku abaikan,” kata Ibrahim tegas. Aku terpana dengan sikap tegas Ibrahim, rasa kagum merayap masuk ke relung hatiku. Diam-diam aku bangga menjadi istri dari lelaki tegas, tampan dan juga memiliki masa depan cerah.
“Bagaimana dengan acara adat setelah pernikahan?” tanya ibu mertuaku.
“Yang penting adalah pernikahan, yang penting sah di depan hukum dan agama itu sudah lebih dari cukup,” ujar Ibrahim. Semua orag berbisik-bisik dengan keputusan Ibrahim.
“Tetapi mertuamu ketua adat. Dia pasti kecewa dengan keputusanmu,” kata ayah mertuaku. Aku tertunduk saat Ibrahim menatapku.
“Kami akan bicara pada ayah dan ibu mertuaku,” kata Ibrahim kemudian meraih jemariku. Dia ingin menariknya namun aku pertahankan. Ada rasa aneh masuk menyeruak dalam hatiku, kali ini bukan rasa kagum atau bahagia, namun amarah. Seakan Ibrahim tidak peduli dengan keputusan orang tuaku. Perlahan tapi pasti aku melepaskan genggaman Ibrahim. Ibrahim menarik tangannya kemudian tersenyum untuk menutupi rasa kecewanya.
“Ayah orang yang keras, bukan hal yang mudah untuk menyakinkan ayah yang percaya tentang ritual adat setelah menikah,” belaku.
“Kita coba saja untuk menjelaskannya,” kata Ibrahim kemudian berdiri dari tempatnya duduk. “Ayo kita menemui kedua orang tuamu,” lanjut Ibrahim. Aku menatapnya heran. Ibrahim menjulurkan tangannya, tetapi aku menolak untuk meraihnya. Ibrahim menarik jemariku, mengenggamnya erat dan seperti anak sapi yang dicocol hidungnya, aku mengikuti setiap tindakan Ibrahim, berdiri dari dudukku kemudian melangkah keluar rumah dengannya.
Ibrahim membuka pintu mobil dan melindungi kepalaku agar tidak terbentur pintu saat aku masuk ke dalam mobil. Semua orang keluar ke teras dan menatap kepergian kami. Ibrahim hanya tersenyum pada semua orang yang menatap prihatin kemudian masuk ke jok kemudian dan dengan penuh keyakinan melajukan mobil meninggalkan halaman rumahnya. Lagi-lagi Ibrahim memberiku kejutan. Dia terlalu kokoh mempertahankan apa yang dia pahami, tidak peduli orang berkata apa tentang keputusan yang dia ambil. Tidak ada rasa ragu apalagi ketakutan. Dan sebagai istri aku takut dengan masa depan pernikahanku. Untuk seorang perempuan yang ilmu agamanya bagus, pastilah menikah dengan seorang ustad adalah impian. Namun untuk yang ilmu agamanya minim sepertiku, yang hanya tahu sholat, puasa dan qurban saja. Tentu saja sulit untuk menjalani kehidupan sebagai seorang istri ustad.***&&&&****