Alina masuk ke rumah dengan lelah setelah bekerja di jasa ekspedisi.
"Assalamualaikum," ucap Alina. Rose tersenyum dan menyambutnya di ruang tamu.
"Akhirnya kamu datang juga, nak. Dari tadi ibu menunggumu. Kejebak macet ya?"
Alina cukup terkejut dengan sambutan manis ibunya, namun ia menjawab, "Iya, bu, kejebak macet tadi."
Rose dengan lembut berkata, "Ya sudah, kamu mandi dulu. Nanti kita makan malam bersama." Alina mengangguk dan meninggalkan ibunya tanpa senyum sedikitpun.
Sesampainya di kamar, Alina merasa heran dengan sikap ibunya yang tiba-tiba berubah.
"Aneh sekali sikap ibu," ucap Alina.
Dalam hati, Alina berpikir, ‘Semoga ini pertanda baik. Aku harus berpikir yang positif. Mungkin ibu sadar, selama ini telah salah cuek dan membuatku merasakan kekurangan kasih sayang darinya.’
Setengah jam kemudian. Alina keluar dari kamarnya dan bergegas menuju ruang makan.
Saat melangkah, ia merasa heran karena rumahnya terasa sepi. "Kemana orang-orang itu?" gumam Alina pelan. Biasanya, kedua kakak tirinya dan ayah tirinya selalu ramai di ruang televisi, membuat rumahnya berisik.
Setiba Alina di ruang makan, ia melihat Rose, ibunya, sedang merapikan makanan diatas meja makan. Pemandangan yang langka, mengingat Rose biasanya malas memasak. Dan lebih memilih beli makanan dari luar atau pergi makan diluar bersama suami barunya dan kedua anak tirinya. Sementara Alina tak pernah diajak.
Alina bertanya dengan heran, "Kemana mereka?"
Rose tersenyum, "Ayahmu dan kedua kakakmu makan di luar. Ibu sengaja ga ikut karena mau makan malam denganmu berdua. Ibu juga kangen memasak makanan untukmu."
Alina merasa terharu dan mengucapkan terima kasih.
Namun, Alina menambahkan, "Maaf, bu, ayahku sudah meninggal, dan aku tak punya kakak."
Rose hanya tersenyum, menyadari bahwa Alina belum sepenuhnya menerima Damian sebagai ayah tirinya dan Tania serta Triana sebagai kakaknya. Rose berkata, "Ibu ambilkan makanannya ya."
Alina mengangguk, ia merasakan kehangatan dalam momen yang langka ini.
Alina duduk di ruang makan, menikmati makan malam bersama ibunya, Rose.
Perasaannya sangat senang, dan ia berharap momen ini bisa terus berlangsung. Baru kali ini Alina merasakan kehangatan sikap Rose setelah sekian lama.
Saat Alina masih kelas satu SMP, Rose meninggalkannya dan ayahnya demi Damian. Pengkhianatan itu membuatnya selalu merasa pedih. Sebaliknya, Dani, ayahnya, setelah bercerai dengan Rose, bekerja keras untuk membuat Alina bahagia. Hingga akhirnya membangun rumah impian untuknya.
Rumah itu sekarang ditinggali bersama Rose, Damian, dan kedua anak Damian. Alina sebenarnya tak ingin menerima mereka, tapi menyadari situasi sulit Rose dan Damian saat rumah mereka disita karena banyak hutang ke bank. Alina akhirnya mencoba membuka hati untuk memberikan kesempatan kedua pada ibunya.
Setelah Alina selesai makan, Rose pun berkata, "Ada hal yang ingin ibu bicarakan denganmu, Alina. Kita bicara di ruang tamu ya?" Dari situlah Alina mulai merasa curiga. Alina mengangguk setuju, lalu keduanya berjalan menuju ruang tamu.
Setibanya di ruang tamu, Rose berkata, "Alina, ibu rasa usiamu sudah cukup untuk menikah. Tahun ini kamu genap dua puluh tahun."
Alina mengerutkan keningnya karena ibunya menyinggung pernikahan lalu ia bertanya, "Ibu menyuruhku menikah? Aku belum kepikiran, bu."
Rose menjawab, "Begini. Ibu punya kenalan pengusaha kaya yang sedang mencari istri keempat."
Mendengar itu, Alina melebarkan matanya, "Istri keempat? Yang benar saja, bu! Aku tidak mau!"
Rose memberikan ultimatum, "Kalau kamu tidak mau menikah dengannya, kamu harus keluar dari rumah ini, dan rumah ini akan menjadi milik ibu."
Alina berdiri, kecewa, "Ya ampun, ternyata bersikap manis. Ujungnya begini."
Tak cukup sana, Alina yang kecewa pun berseru, "Bu, ini rumah yang dibangun oleh ayahku! Ayahku! Dan sekarang ibu mau merampasnya dariku? Jangan mimpi, bu!"
Rose berusaha menenangkan, "Tunggu dulu jangan buang energimu."
Rose pun pergi sejenak dan kembali dengan file di tangannya.
Lalu Rose pun berkata, "Alina, asal kamu tahu rumah ini sudah ibu disertifikatkan atas nama ibu."
Rose menunjukan sertifikat di tangannya dan Alina benar-benar merasa dicurangi oleh ibu kandungnya sendiri.
Alina melebarkan matanya, "Ya ampun, bu, aku tak habis pikir! Ibu mikir dong, ibu ninggalin ayah dan ayah sudah bangun rumah untukku malah ibu ambil dan akan ibu tinggali dengan mereka?"
Rose meminta Alina untuk duduk, “duduklah dulu Alina.” tapi Alina menolak dengan keras, “tak sudi!”
Alina lalu berkata dengan nada tinggi, "Ibu tega sekali!"
Rose pun berusaha menjelaskan, "Kamu diberi pilihan untuk menikah dengan pengusaha kaya. Dia kaya, kamu akan hidup bahagia, dan umurnya sudah kepala enam, dia mungkin sebentar lagi meninggal. Dan kamu tahu? kalau dia meninggal, kamu bakal kebagian hartanya! Kamu ga usah kerja lagi.”
Alina pun menggelengkan kepalanya dan menatap ibunya dengan sinis, “pikirannya harta terus.”
Rose pun meminta Alina untuk berpikir dan berkata, "Besok, ibu akan menanyakan keputusanmu lagi. Ibu tak bisa memberimu banyak waktu."
Alina langsung pergi ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Alina meledak dalam jeritan dan tangisan.
Alina tak habis pikir dengan perlakuan ibunya yang begitu kejam, Alina meratapi keadaan di sudut kamarnya. Ibunya benar-benar berubah setelah menikah dengan Damian. Bahkan ia sekarang menjadi sosok yang menjadi musuhnya.
Alina menangis di sudut kamarnya, memikirkan kehidupannya yang begitu berat setelah kepergian ayahnya tiga tahun yang lalu. Dani, ayahnya meninggal karena sakit. Padahal rumahnya baru selesai dibangun seminggu sebelumnya.
Alina masih ingat benar kalimat yang dilontarkan Dani padanya saat di rumah sakit.
“Rumah itu dibangun untukmu. Bapak tenang bisa memberimu tempat tinggal di rumah impianmu.”
Dalam kesedihannya, ponsel milik Alina di atas meja terus bergetar, terlihat kontak Adi Driver Ekspedisi memanggil.
Keesokan paginya, Alina keluar dari kamarnya dengan langkah cepat, mendengar suara canda tawa dari ruang makan. Dia tahu ibunya sedang sarapan bersama keluarga barunya. Alina langsung menuju ruang tamu dan keluar rumah. Perasaannya masih kacau, enggan bertemu dengan ibunya.
Setelah keluar dari pagar rumahnya, Alina memandang rumahnya yang ternyata sudah bersertifikat atas nama ibunya. Hatinya terasa semakin berat, merenung di hadapan rumah yang dulunya dipenuhi kenangan bersama ayahnya. Kenangan saat membangun rumah itu.
Setelah puas memandang rumahnya, Alina berjalan menjauhi rumah menuju tempat kerjanya.
Baru saja berjalan beberapa langkah tiba-tiba, Alina merasa ponselnya bergetar. Ia mengambil ponsel yang sejak semalam tak dibukanya.
Saat tadi pagi, langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Alina melihat layar ponselnya, dan di sana terlihat kontak Adi Driver Ekspedisi memanggil.
Adi adalah rekan kerjanya di jasa ekspedisi. Adi bekerja sebagai sopir. Dan baru kali ini Alina mendapat panggilan darinya setelah seminggu yang lalu Adi minta kontaknya.
“Pak Adi? Untuk apa dia menelponku?” Pikir Alina.
Dengan ragu, Alina akhirnya mengangkat panggilan itu.
Baru saja diangkat, Alina langsung mendengar suara seorang lelaki dari seberang telepon, “Halo Alina?”
“Halo, iya ini saya,” jawab Alina.
“Kamu masuk kerja kan hari ini?” Tanya Adi.
“Iya,” jawab Alina.
Dan terdengar suara nafas lega Adi di seberang telepon.
“Ada apa memangnya?” Tanya Alina penasaran.