Rose mengangguk dan dengan wajah sinis Rose berkata, “ya kabar baik karena pasti kamu akan memilih untuk menikah dengan pengusaha kaya yang malam ibu tawarkan. Kamu akan kaya tanpa kerja. Jadi istri keempat bukan hal yang hina, Alina. Sekarang semuanya butuh uang. Kamu tak mungkin memilih keluar dari rumah ini kan?”
Alina benar-benar kesal dengan ibunya, di saat down seperti itu ibunya malah menekannya untuk menikah dengan pria tua.
Rose pun berkata, “kamu mau kan menikah dengan pengusaha itu, Alina?”
Alina pun menjawab, “lebih baik aku pergi dari rumah ini! Dan suatu saat aku akan mengambil lagi rumah ini kembali. Karena ini rumah yang dibangun ayah untukku bukan untukmu dan selingkuhanmu!”
Setelah mengatakan itu Alina melangkah tegar menuju kamarnya, meninggalkan ibunya yang tercengang di ruang tamu.
Rose merenung sejenak, kemudian tertawa sinis dan berkata dengan keras, "Pergilah, Alina. Tapi ingat, hidupmu tidak akan semudah yang kau bayangkan," ucap Rose dengan nada merendahkan.
Alina tak menjawab, ia tetap memasukkan beberapa pakaian ke dalam tasnya di dalam kamar. Alina benar-benar kesal sekaligus kecewa.
Setelah mengambil beberapa baju Alina keluar dan kembali ke ruang tamu.
Alina bertemu ibunya lagi dan berkata, "Aku akan membuktikan bahwa aku bisa membangun hidupku sendiri, tanpa harus menyerahkan nasibku pada pernikahan yang tidak aku inginkan," seru Alina.
Alina memandang tajam ke arah ibunya.
Rose hanya tersenyum dingin, "Coba saja, Alina. Tetapi ingat, uanglah yang akan membuatmu bertahan di dunia ini."
Alina mengabaikan kata-kata ibunya, pergi dengan mantap sambil membawa tekad untuk membuktikan bahwa kebahagiaan tidak selalu tergantung pada kekayaan.
Dengan ransel di punggung, Alina ditemani oleh langit yang cerah mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah.
‘Aku pasti bisa melaluinya,’ bisik Alina dalam hati, mengatupkan gigi dan melangkah mantap menyusuri trotoar.
Langkahnya terhenti saat sebuah angkot berhenti di dekatnya, dan tanpa ragu, Alina naik.
Di dalam angkot, ia duduk di bangku belakang, memandang rumah yang pernah ia panggil "rumah" dengan perasaan bercampur aduk.
Dengan tekad yang semakin kuat, Alina memutuskan untuk menggunakan tabungannya dengan bijak.
Alina berkata dalam hati, ‘Aku akan menyewa rumah sementara dan mencari pekerjaan secepatnya,’ pikirnya, matanya masih terpaku pada rumah yang kini terasa jauh.
Angkot bergerak, membawa Alina menjauh dari rumah yang penuh kenangan. Hati Alina hancur, namun tekadnya berkobar. ‘Aku akan membuktikan bahwa aku bisa mandiri, dan suatu hari, rumah itu akan menjadi milikku lagi,’ ucap Alina dalam hati, menyusuri perjalanan baru yang akan menentukan nasibnya.
Alina turun dari angkot di pusat kota, menatap sekitarnya dengan tekad baru.
Setelah mencari dengan penuh semangat, akhirnya ia menemukan kostan yang sesuai di sebuah gang kostan khusus perempuan.
“Di jamin aman kostan saya ini Mbak, ada aturan tak boleh membawa laki-laki,” ujar ibu Kostan bernama Irma itu.
“iya bu,” ucap Alina.
Dengan mata yang lelah namun penuh harapan, Alina membayar sewa kamar untuk sebulan ke depan pada ibu kos.
“Baik, saya jadi kost di sini bu. Saya bayar satu bulan dulu ya,” ucap Alina. Irma pun mengangguk.
Setelah mendapatkan kunci kamar, Alina langsung memasuki ruangan yang akan menjadi tempatnya tinggal.
Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang, merasakan kenyamanan yang baru. Dalam keheningan kamarnya, Alina mengucapkan, "Aku akan bertahan dan mencapai tujuanku," sambil menatap langit-langit. Langkah awalnya menuju kemandirian dan kebahagiaan telah dimulai di kamar kost barunya.
Keesokan harinya Alina membuka matanya tepat setengah lima pagi, ia memandang jam di dinding kosannya.
Tanpa ragu, ia bangkit dan menuju lemari untuk mengambil handuk. Dengan langkah mantap, Alina bergegas ke kamar mandi.
“Hari pertama untuk menggapai mimpi,” ucap Alina penuh tekad.
Sementara itu, di rumah Alina yang dulu dihadiahkan ayahnya untuknya, Rose, ibu Alina masih tertidur di kamarnya. Damian, suaminya, bangun dan membangunkan Rose.
"Sayang, apa Alina tidak pulang?" tanyanya penasaran. Damian bertanya begitu sambil mengusap lengan istrinya.
Rose pun menjawab santai tanpa membuka matanya, "Alina tidak akan pulang lagi. Aku sudah mengusirnya."
Damian kaget bukan main. Ia tidak percaya dengan ucapan istrinya itu. "Kamu tidak bercanda, kan? Ini rumah Alina Sayang," ucap Damian.
Rose membuka matanya, ia menatap Damian lalu tersenyum, "rumah ini sudah jadi milikku. Alina ternyata sudah membuat sertifikatnya atas namaku. Aku rasa hidup kita tidak akan nyaman jika anak itu tetap di sini. Biarlah, aku tak peduli tentangnya."
Damian akhirnya mengerti dan tersenyum lega. "Oke, aku mengerti," ucapnya.
Damian merasa senang mendengar bahwa Alina, anak sambungnya, sudah tidak tinggal lagi di rumah itu.
Sementara di kosan Alina. Alina bersiap untuk melamar pekerjaan, ia sudah memakai kemeja putih, celana hitam, dan hijab yang rapi.
Selain cerdas dan cantik, Alina yang juga mahir berbahasa Inggris dan Jepang. Alina tersenyum melihat dirinya di cermin. "Aku akan sukses, aku harus yakin. Semoga hari ini aku langsung mendapatkan pekerjaan," ucapnya tegas.
Setelah memastikan semua dokumen untuk melamar pekerjaan siap, Alina mengambil map berisi dokumen itu dan mengambil tas selempangnya.
Alina keluar dari kosannya pada pukul enam pagi. Langit pagi masih bersih, dan Alina sengaja pergi sangat pagi untuk sarapan di luar sebelum memulai perjalanan menuju mencari pekerjaan.
Dengan langkah mantap dan tekad bulat, Alina bersiap untuk menghadapi tantangan baru di kehidupannya.
Alina melangkah keluar dari gang tempatnya kos, menyusuri trotoar dengan perut yang sudah keroncongan di pagi hari. Dalam hatinya, dia berkata, ‘Sudah terasa lapar.’
Tak lama kemudian, matanya tertuju pada gerobak Pedagang Bubur Ayam Cianjur. Alina tersenyum dan berkata pelan, "Ah, pas sekali. Makanan favoritku."
Dia berjalan menuju gerobak yang ramai dengan pembeli. Alina memesan satu porsi bubur ayam dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Tanpa disadarinya, sepasang mata tengah memperhatikannya. Tak butuh waktu lama, pesanan bubur ayam Cianjur untuk Alina pun disajikan.
Dengan senyum di wajahnya, Alina mulai menikmati bubur ayam tersebut. Alina lebih suka dengan buburnya yang diaduk dan sambalnya ditambah sedikit demi sedikit.
Beberapa saat kemudian Alina telah menghabiskan bubur ayamnya dan membayar pada pedagangnya. Setelah itu, dia melanjutkan langkahnya menyusuri trotoar.
Tak lama kemudian, Alina mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang, "Alina!" Ia menengok ke arah belakang.
‘Adi,’ ucap Alina dalam hati.
Seperti biasa Adi memakai kaos oblong dan celana jeans yang warnanya sudah pudar. Rambutnya juga masih acak-acakan.
Saat Alina mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Adi, driver jasa ekspedisi yang menyebabkan dirinya dipecat, Alina jadi menyesal melihat ke arahnya.
Adi berjalan mendekati Alina, tetapi tanpa memberikan kesempatan, Alina langsung berbalik dan pergi.
Adi mencoba memanggil Alina, tetapi gadis itu tak peduli dan terus berjalan cepat.
Alina tetap melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan kehadiran mantan rekan kerjanya yang telah menjadi penyebab masalah dalam pekerjaannya.
Hingga akhirnya Alina merasa tangan kanannya ditahan oleh seseorang dan Alina melihat itu adalah Adi.
“Lepaskan!” Seru Alina sambil melebarkan matanya. Namun Adi berkata, “aku mau kita bicara dulu.”