Bab 4. Julukan Cia Untuk Papa Rion

1564 Kata
Cia menahan umpatan berkali-kali. Entah sudah berapa kali dia coba menghubungi nomor yang sama. Nomor yang sudah dia simpan dengan nama kontak ‘Papa Gila Rion’ Gila! Bagaimana Cia tidak memberi nama pria itu dengan embel-embel gila? Bisa-bisanya pria tidak bertanggung jawab itu membiarkan anak sekecil Rion. Bagaimana jika tadi hatinya tidak tersentuh dan dia tidak mendatangi sekolah Rion? Mungkin saat ini Rion sudah diikat di suatu tempat dan disumpal mulutnya. Cia mendesah. Bola mata wanita itu bergerak ke atas ranjang. Dan dia juga ikut gila sekarang. Karena tidak tahu harus membawa Rion ke mana, lantaran anak itu bahkan tidak tahu dimana rumahnya—akhirnya Cia menyewa satu kamar hotel. Padahal dia memilih tinggal di mess karena berusaha hidup sederhana. Tapi, lihat hari ini. Dia menghabiskan banyak uang dalam sehari karena orang gila tidak bertanggung jawab itu. “Awas saja kalau nanti ketemu. Akan ku maki-maki orang itu. Tidak usah punya anak kalau tidak mau tanggung jawab. Sialan.” Cia menarik dalam oksigen masuk ke dalam paru-paru dari mulut yang ia bulatkan, lalu menghentaknya cukup keras. Cia mengalihkan tatapan ketika ponsel di tangannya bergetar. Buru-buru mengangkat ponsel saat berpikir mungkin saja papa Rion yang menghubungi. Begitu melihat nama siapa yang ada di layar, wanita itu mendesah. Bukan! Bukan orang gila itu yang menghubungi, tapi, si kakak protektif yang menyebalkan namun sangat dia sayang. Cia dengan malas menekan tombol terima, lalu membawa benda persegi itu ke telinga kanan. Wanita itu mendorong punggung ke belakang hingga menyandar. “Ya, El ku sayang.” Sepasang bibir Cia berkerut ketika mendengar suara decakan sang kakak. “Kamu tidak menjawab teleponku, juga tidak membalas pesanku. Apa kamu sakit?” Nah, kan? Si protektif Ellio yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Padahal dia bukan lagi anak kecil. Dia sudah dewasa dan dia bisa menjaga diri sendiri. “Aku baik-baik saja, El. Jangan khawatir. Kalau aku sakit, aku akan minum obat.” Cia mendengar suara desah berat sang kakak. “Kamu pasti lelah. Istirahatlah.” “Perasaanku tidak enak. Aku takut terjadi sesuatu denganmu di sana.” Cia mengerjap. Wanita itu mengatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Berusaha untuk tidak memperdengarkan kecemasan dari tarikan napasnya, ataupun dari suaranya. Cia berdehem. “Kamu terlalu mencemaskanku.” Lalu Cia terkekeh ringan. “Kalau terjadi sesuatu denganku di sini, aku pasti sudah akan menghubungimu atau mommy.” “Aku akan mencari orang untuk menemanimu di sana.” “Tidak perlu, El. Ayolah ….” Cia merengek. “Aku di sini sedang menikmati hidup selayaknya manusia lain. Yang harus bekerja keras untuk bisa makan. Yang harus melakukan semua sendirian. Aku ingin punya pengalaman itu, El. Apa jadinya kalau ada orang yang akan selalu melayaniku di sini?” “Bagaimana hubunganmu dengan Aleia? Sudah beberapa hari ini dia tidak memberiku kabar.” Cia mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengulum sepasang bibir saat membayangkan wajah tegang sang kakak. “Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa beri kabar setiap hari, atau aku akan benar-benar menyuruh orang untuk mengikutimu di sana.” Cia tersedak ludahnya sendiri ketika tawanya nyaris meledak, namun berusaha ia tahan. Muka kakaknya sekarang pasti sedang merah padam. Begitu lah cara membuat sang kakak menyudahi interogasinya. “Siap, kakakku El tersayang.” Cia akhirnya tidak bisa menahan tawa ketika mendengar gerutuan sang kakak dari ujung telepon. “Bye, Ellio Sayang. Sampaikan salamku untuk calon kakak iparku.” Dan Cia kembali tertawa. Kali ini lebih keras ketika mendengar sambungan langsung terputus. “Dia pasti sedang mengumpat,” kata Cia sambil menatap ponsel yang sudah ia turunkan. Satu tangan wanita itu terangkat—menyibak sebagian helai rambut yang jatuh ke wajahnya. Cia kembali tertawa membayangkan sang kakak di belahan bumi lain. “Nanny ….” Oh …. Cia refleks menoleh. Tawa wanita itu perlahan pudar ketika sadar apa yang sedang dia hadapi saat ini. Sepasang mata wanita itu memperhatikan Rion yang berguling hingga di tepi ranjang. Kening Cia mengerut. Apa yang dilakukan anak itu? batin Cia ketika melihat Rion kembali berguling ke sisi lain ranjang. Cia menggaruk kepalanya. Wanita itu akhirnya beranjak, lalu mengayun langkah menghampiri ranjang. Berdiri di sisi ranjang, Cia masih memperhatikan kelakuan si anak manja Rion. “Rion,” panggil Cia hingga membuat Rion berhenti berguling. Cia menjatuhkan pant*t ke tepi ranjang. Menunggu anak manja itu bangkit, lalu duduk bersila menghadap ke arahnya. Cia memperhatikan anak 8 tahun tersebut. Rambutnya berantakan dan matanya masih terlihat mengantuk. “Coba Rion ingat-ingat lagi. Di mana rumah Rion? Nanti aku antar Rion pulang.” Yang Cia tanya mengedip pelan. Dari gerakan kedua alis anak itu, Cia tahu Rion sedang berusaha berpikir. Cia menggerakkan kepala turun naik ketika tatapan Rion terarah padanya. Seolah dengan tatapannya, Cia mengatakan pada anak itu, ‘Ayo, diingat. Kamu pasti bisa.’ Dan melihat bagaimana Rion membalas tatapannya, kedua sudut bibir Cia terangkat. Sepasang mata sang dokter terbuka lebih lebar. “Dimana?” tanya Cia antusias. Sorot mata Rion memberinya harapan. “Tidak tahu.” “Hah?” Mulut Cia terbuka. Harapannya dihempas begitu saja oleh anak kecil di depannya. Cia menatap geregetan Rion. Apa dia harus ke sekolah Rion untuk mencari tahu alamatnya? “Ayolah, anak pintar.” Cia memaksa kedua sudut bibirnya untuk melengkung ke atas. “Rion pasti bisa mengingatnya. Di jalan apa? Atau ... di dekat apa? Coba Rion ingat.” “Aku tidak tahu, Nanny. Kenapa Nanny memaksaku?” Rion menatap Cia dengan sepasang mata memicing. Dua tangan anak itu sudah terlipat di depan d**a. Astaga … Cia menggelengkan kepala melihat sikap Rion. “Sepertinya orang tuamu terlalu memanjakanmu, anak kecil.” Cia kemudian berdecak. “Kamu bertingkah seperti tuan muda. Manja.” Sepasang mata Rion semakin mengecil. Kedua alis anak itu menukik. Rion menatap tidak suka wanita yang dia anggap sebagai pengasuhnya. “Baiklah.” Cia mengangkat tangan kiri—memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangan. “Aku harus tidur sebentar. Kamu jangan keluar dari kamar ini, okey?” Cia memutar kepala, sebelum beranjak. Cia melangkah menghampiri meja. Mengambil remot lalu menyalakan televisi. Beberapa saat wanita itu menekan-nekan remot sampai menemukan chanel yang sedang menyiarkan tontonan untuk anak kecil. Cia memutar langkah kembali ke arah ranjang. “Rion nonton tivi dulu, okey? Aku harus tidur.” “Nanny mengantuk?” Cia naik ke atas ranjang sembari mengangguk menjawab pertanyaan Rion. Wanita itu kemudian berbaring miring menghadap Rion. Cia menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Sepasang mata wanita itu memperhatikan Rion yang sudah fokus dengan tayangan televisi. Beberapa detik selanjutnya, kedua kelopak mata dokter tersebut tertutup. *** Geraldo berjalan mondar-mandir dengan ponsel melekat di telinga kanan. Memutar kepala dengan satu tangan berada di pinggang, Geraldo menggeram. “Apa maksudmu kamu kehilangan jejak Rion?” “Alat pelacak di tubuh tuan muda tidak terdeteksi, Tuan.” “Apa kamu sudah mencari di tempat wanita itu?” tanya Geraldo yang detik selanjutnya nyaris tidak dapat menahan amarahnya, lantaran diamnya Eric berarti jawaban dari pertanyaannya adalah, ‘Belum.’ “Pakai otakmu, Eric!” kesal Geraldo. Pria itu menghentak keras karbondioksida keluar dari celah mulut yang terbuka. “Cepat cari sekarang. Kamu akan kehilangan kepalamu jika sampai terjadi sesuatu pada Rion. Apa kamu mengerti?!” Suara Geraldo meninggi di ujung kalimat. “Arghhh! Sialan!” umpat Geraldo setelah mematikan sambungan telepon. D*da pria itu bergerak ke atas, lalu turun setelah beberapa detik tertahan. Memutar tubuh, pria itu melangkah menghampiri meja panjang dengan seseorang yang masih mendiami salah satu kursi yang melingkari. Geraldo meletakkan ponsel di depan pria itu, lalu menarik kursi di sebelahnya. Melangkah ke depan, kemudian menghempas tubuh ke atas kursi. Pria itu memutar kepala ke samping. “Berapa jam lagi?” tanya tak sabar Geraldo. Orang yang ditanya menggulir bola mara ke bawah. Meskipun dalam hati kesal karena pria di sebelahnya terus saja bertanya dengan pertanyaan yang sama, namun pria itu tetap saja menjawab. “Tujuh jam lagi, Tuan.” Geraldo berdecak. “Kenapa masih lama?” Sang pengacara yang terpaksa menemani Geraldo di tempat itu—melirik ke samping. Sepasang bibir pria itu tertutup rapat. Menjawab pun tidak akan ada gunanya. Dan Geraldo memang tidak membutuhkan jawaban dari sang pengacara. Pria itu mengumpat dengan beberapa bahasa berbeda yang membuat pengacaranya mengernyit. “Aku benar-benar akan membuat perhitungan dengan mereka setelah keluar dari sini. Sialan. Siapa yang sedang bermain-main denganku? Tidak mungkin Darius melakukan perbuatan menjijikkan hanya untuk membuatku mendekam di sini selama satu hari satu malam.” “Apa anda punya musuh lain?” Akhirnya sang pengacara bertanya. Sudah lebih dari lima tahun dia mengenal dan bekerja pada Geraldo. Geraldo tampak berpikir. “Mereka menggunakan nona Melisha untuk menjebak anda. Mereka sepertinya mengenal anda dengan baik. Jika bukan Darius, siapa lagi?” “Aku tidak percaya Darius yang menjebakku. Kami memang bermusuhan, tapi aku yakin dia masih punya sedikit martabat untuk tidak menggunakan cara-cara licik dengan menggunakan perempuan.” “Apa mungkin mereka musuh tuan Alfonso?” Kepala Geraldo bergerak turun naik. “Sepertinya begitu. Itu sebabnya Rion saat ini dalam bahaya. Mereka tidak boleh menemukan Rion.” “Eric kehilangan jejak tuan muda Rion. Bukankah itu kabar bagus, Tuan? Berarti wanita itu berhasil menyembunyikan tuan muda Rion dengan baik.” “Atau justru mereka sudah mendapatkan Rion. Itu yang aku takutkan.” Geraldo mengepalkan kedua telapak tangan. “Kenapa Tuan menghubungi perempuan yang tidak tuan kenal? Kenapa tidak menghubungi Eric? Eric pasti akan bisa melindungi tuan muda Rion.” Geraldo menggulir bola mata hingga bertamu tatap dengan sang pengacara. “Karena hanya nomor ponsel itu yang aku ingat.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN