Bab 7. Perkenalan Geraldo

1403 Kata
Cia tidak tahu siapa pria yang tiba-tiba muncul. Tanpa jas dokter. Namun, pria itu tampak begitu tenang dan berpengalaman ketika membedah perut pasien. Operasi itu terpaksa dilakukan di ruang IGD lantaran tidak ada ruang operasi kosong. Pria itu paham apa yang dilakukannya. Cia tidak mengalihkan fokus mata dari gerakan terampil pria itu ketika menyayat lapis demi lapis kulit pasien. “Apa kamu sudah bisa melihat pelurunya?” Cia refleks mengangkat kepala. Tidak lebih dari dua detik tatapannya terpaut pada manik hitam lekam pria asing di depannya. Setelah itu, Cia buru-buru menurunkan pandangan mata untuk mencari timah panas yang bersarang di dalam perut pasien. Sepasang mata dokter itu memicing, sebelum detik berikutnya kepalanya mengangguk. Dia melihatnya. “Tarik keluar.” Cia mengangkat kepala. Lagi, tatapan mereka bertemu. Melihat guliran bola mata bermanik hitam pekat tersebut, Cia mengalihkan tatapan pada benda yang bisa dia pakai untuk menjepit. Cia fokus pada benda mematikan yang menembus perut sang pasien. Menarik lalu menghembuskan napas, Cia menggerakkan penjepit di tangannya. Kening wanita itu berkerut saat tangannya mulai menjangkau peluru--menjepit ujung yang terlihat, kemudian menariknya keluar. Cia refleks memutar kepala sambil memejamkan mata ketika darah menyembur dari bekas lubang peluru. “Tidak apa-apa. Ini normal.” Cia mendengarnya. “Berapa tekanan darahnya?” Cia meletakkan peluru, kemudian meraih tisu. Mengusap darah yang mengenai sebagian wajahnya. Untuk sesaat, dia tidak fokus dengan pembicaraan di sekitarnya. Cia menelan ludah melihat banyaknya darah yang sudah menempel pada tisu. “Dokter Cia. Masih ada satu peluru lagi.” Cia mengerjap. Dengan cepat wanita itu memberikan fokus pada pasien kembali. Sepasang mata wanita itu mengedip ketika melihat pria di seberang meja sedang menjahit luka sumber darah keluar. “Gunting.” Cia buru-buru meraih gunting lalu memotong benang jahit. Sepasang mata wanita itu memperhatikan tangan terampil yang kini sudah beralih pada bagian lain. Membuka cukup lebar belahan perut pasien hingga dia bisa melihat satu lagi peluru. Tanpa menunggu perintah, Cia meraih penjepit lalu menarik pelan timah tersebut. Cia menghembuskan napas lega ketika kali ini darah tidak sampai menyembur. Hanya keluar membasahi sekitar luka. Pria yang tidak Cia kenal, membersihkan darah yang keluar kemudian kembali menjahit luka pasien dengan cepat. Cia memperhatikan hingga nyaris selesai, sebelum pekerjaan lain memanggilnya. "Dokter Cia, pasien baru masuk lagi." "Pergilah. Pasien ini, biar aku yang menyelesaikannya." Cia menatap sesaat pria yang masih fokus dengan jahitannya. Wanita itu mengangguk sebelum kemudian memutar tubuh lalu melangkah cepat meninggalkan meja operasi darurat. "Dimana pasiennya?" *** Cia benar-benar tidak beristirahat entah untuk berapa lama, hingga akhirnya suasana di dalam ruang IGD mulai terkendali. Dokter senior yang bertanggung jawab, akhirnya kembali dan Cia akhirnya bisa beristirahat. Dokter muda itu keluar dari ruang IGD dengan tubuh yang lunglai. Tidak hanya lelah, dia juga haus dan lapar. Cia duduk di kursi depan ruang IGD sambil meneguk cairan bening dari dalam botol. Nyaris setengah isi botol 600 ml Cia pindahkan ke dalam perut ketika otaknya membisikkan sesuatu. Rion. Tubuh yang belum lama menyandar itu refleks menegak. Ya, ampun. Anak orang. Apa yang terjadi dengan anak itu? Jangan-jangan Rion sudah pingsan karena lapar, atau malah mengompol karena tidak tahu dimana toilet. Cia mulai panik. Sepasang mata Cia membesar. Buru-buru wanita itu menutup mulut botol lalu beranjak. Cia melangkah cepat menjauh dari ruang IGD. Pikirannya berkecamuk. Meskipun kesal karena anak manja itu membuat kantongnya terkuras, tapi, dia tetap saja tidak tega membayangkan wajah memelas anak itu. “Nona Cia.” Dengan kening yang seketika berkerut, Cia berhenti melangkah lalu menoleh. “Kamu?” “Mari, ikut dengan saya.” “Aku tidak mengenalmu.” “Tuan Geraldo menunggu anda.” “Geraldo? Siapa Geraldo? Aku tidak mengenal nama itu.” Lalu Cia memutar kembali langkahnya, berniat untuk kembali berjalan ke tempat dia meninggalkan Rion. “Jam kerja anda sudah selesai. Tuan Geraldo menunggu anda untuk makan malam bersama.” Cia menghentak karbondioksida keluar dari mulut yang ia bulatkan. Wanita itu kembali berputar hingga berdiri berhadapan dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal. Entah ada apa dengan orang-orang asing yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. “Dengarkan aku baik-baik, Orang Asing.” Cia menarik napas. “Aku sungguh tidak mengenal dan tidak punya urusan dengan pria bernama Geraldo.” Cia berhenti sesaat. Sepasang mata wanita itu memicing. “Benar, bukan? Geraldo itu … pria, kan? Atau ... aku salah?” Pria yang berdiri di depan Cia berdehem, sebelum menjawab. “Tentu saja tuan Geraldo itu pria. Kalau perempuan dia tidak akan saya panggil tuan.” Cia mengedip. Benar juga. Wanita itu meneleng--memperhatikan lebih detail penampilan pria di depannya. “Ya … pokoknya itu, Aku tidak kenal dia dan aku tidak punya urusan dengannya. Jangan menggangguku. Aku punya urusan sendiri yang lebih penting.” Cia menggeram ketika pria di depannya bergerak cepat menghalangi pergerakannya yang sudah akan mengayun langkah. “Jangan membuat masalah di rumah sakit. Aku bisa berteriak dan kamu akan diusir dengan cara memalukan. Apa kamu mau?” “Maafkan pengawalku kalau dia membuatmu marah.” Cia refleks memutar kepala. Sepasang mata wanita itu mengerjap ketika melihat siapa yang sedang berjalan menghampirinya. “Kamu--” Pria yang baru saja berhenti melangkah setelah tiba di depan Cia itu tersenyum tipis. “Tadi aku belum sempat memperkenalkan diri.” Lalu pria dengan rahang dan janggut yang ditumbuhi bulu-bulu cukup tebal itu mengulurkan tangan kanannya. “Namaku Geraldo Theodor Jaquine. Aku … Papa Rion.” Bola mata Cia sontak membesar. “Kamu … Papa Rion?” Lalu kelopak mata dengan bulu-bulu lentik itu bergerak beberapa kali. Lipatan muncul di kening sang dokter. “Jangan mencoba menipuku. Aku tidak akan percaya begitu saja padamu.” Cia mengingat dua orang bertubuh besar yang mengejar dirinya dan Rion. Bagaimana kalau ternyata dua pria ini dari kelompok mereka? Dia tidak akan begitu saja menyerahkan Rion. Tidak apa-apa dia diporoti Rion satu hari lagi. Ya, satu hari saja. Jangan banyak-banyak atau dia benar-benar akan kehabisan uang. “Jangan bicara sembarangan. Tuan Geraldo tidak—” “Diam, Ric.” Eric langsung terdiam. Pria itu menurunkan pandangan mata ketika melihat sorot tajam sang tuan. Geraldo meraih dompet dari saku dalam jas yang sudah kembali membungkus tubuh bagian atasnya. Pria itu membuka kemudian menarik keluar selembar foto. “Ini. Bukti jika benar aku papa Rion.” Geraldo mengulurkan selembar foto tersebut pada Cia. Cia sempat menggulir bola mata ke atas—menatap sesaat Geraldo sebelum meraih foto yang terulur di depannya. Cia memperhatikan foto yang memperlihatkan gambar Rion dan juga pria di depannya. Wanita itu mengerjap. “Kenapa kalian tidak mirip?” tanya Cia sambil mengangkat kepala. “Dia mirip mommy nya.” “Oh … pantas saja,” sahut Cia sebelum mengerutkan sepasang bibir. Wanita itu mengembalikan foto pada sang pemilik. Cia kembali mengedip ketika mengingat Rion. Wanita itu berdehem. “Um … sebentar.” Tangan kanan Cia terangkat—menggaruk pelan pipi yang sebenarnya tidak gatal. “Jangan salahkan aku. Aku benar-benar sibuk sampai tidak bisa mengurus Rion. Dia ada di—” “Putraku sudah berada di mansion.” “A-apa?” Cia menatap tak percaya dua pria di depannya. “Ayo, ikut denganku.” Cia masih menatap pria yang ternyata adalah papa Rion. Siapa sebenarnya pria di depannya ini? “Dokter Cia, mari. Putraku juga berpesan agar aku membelikanmu mobil.” Mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Geraldo, tidak ada lagi keraguan jika pria di depannya ini benar papa Rion. Sepasang mata Cia mengedip ketika melihat satu sudut bibir pria itu terangkat. Cia memutar kepala—mengedarkan mata hanya untuk mendapati berpasang-pasang mata sedang tertuju ke arahnya. “Ayo. Aku akan mengajakmu memilih mobil besok. Sekarang, aku ingin mentraktirmu makan. Aku tahu kamu pasti lapar setelah bekerja tanpa henti.” Cia mengembalikan pandangan mata ke arah pria di depannya. Mulutnya terbuka hanya untuk kembali tertutup, lalu sepasang matanya membesar ketika mendengar suara perutnya sendiri. Sementara Eric dan Geraldo mengulum kuat sepasang bibir mereka. “Tidak perlu malu. Perutku juga akan bunyi jika berjam-jam tidak terisi. Ayo, aku akan mentraktirmu makanan enak.” “Aku bisa beli sendiri.” Cia menolak. “Maaf, tapi aku memaksa.” “A-apa maksudmu?” Bola mata Cia nyaris menggelinding keluar dari kelopaknya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Cia berusaha menahan ketika tiba-tiba Geraldo mendekat lalu mengangkat tubuhnya dengan begitu mudah. Memperlakukannya seperti sekarung beras yang dipanggul di bahu kiri. "Hei ... turunkan aku." Cia memukul punggung yang ternyata keras hingga membuat tangannya sendiri sakit. "Berhenti ... turunkan aku, atau aku akan berteriak memanggil satpam." "Mereka tidak akan menghalangiku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN