Bab 9. Pertemuan Pertama Geraldo - Cia

1286 Kata
3 Bulan sebelumnya ... Geraldo duduk menyandar dengan satu kaki berada di atas kaki yang lain. Kedua tangan pria itu memegang majalah yang sudah terbuka. Sepasang matanya sedang menekuri isi dalam majalah, ketika sebuah teriakan mengejutkan dirinya.  “Tolong, Mamaku pingsan!” Geraldo melipat majalah, kemudian menyelipkan ke belakang tempat duduk di depannya. Pria itu sudah akan mengangkat pant*tnya kala seseorang membuat gerakannya berhenti. “Awas … minggir! Aku seorang dokter. Permisi.” Geraldo memperhatikan sosok wanita dengan rambut pirang panjang yang kemudian bergegas menurunkan kursi hingga wanita tua yang pingsan tersebut bisa berbaring terlentang. Pria yang berada di first class sebuat pesawat penerbangan luar negeri tersebut tidak mengalihkan perhatian dari sosok yang mengaku sebagai seorang dokter. Melihat sekilas penampilan wanita itu, Geraldo ragu jika perempuan itu benar seorang dokter. Dia terlihat masih terlalu muda untuk memiliki gelar dokter. Mungkin Geraldo akan lebih percaya jika wanita muda itu seorang mahasiswi kedokteran. Sepasang mata Geraldo mengecil ketika melihat wanita yang mengaku dokter itu melepas sweater kebesaran berwarna merah yang membungkus tubuhnya, kemudian menggunakan untuk mengganjal tengkuk sang wanita tua. Kerutan di kening pria itu bertambah. Geraldo yang merasa tidak tenang, akhirnya beranjak dari tempat duduk. Pria itu melangkah meninggalkan kursinya. Geraldo berdiri tak jauh dari perempuan yang kini sedang melakukan CPR. Beberapa orang juga sudah berkerumun di sekitar kursi penumpang yang sedang pingsan. “Kalau kamu tidak bisa, biar aku yang melakukannya.” Geraldo menggeser bahu dua orang yang berdiri di depannya. Pria itu menarik langkah ke depan. “Minggir. Biar aku yang membantunya.” “Diamlah. Aku sedang bekerja.” Geraldo menatap tidak suka perempuan yang masih terus melakukan CPR. Perempuan yang menurut Geraldo terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Geraldo sudah akan kembali membuka mulut ketika wanita tua itu terbatuk. Bola mata pria itu bergulir—memperhatikan sosok perempuan yang masih terbaring. Beberapa detik berikutnya, Geraldo mengalihkan tatapan mata pada wanita muda yang kini sedang membantu sang wanita tua bangkit dari posisi berbaring. “Sudah kukatakan aku bisa melakukannya. Jangan meremehkan kemampuanku.” Geraldo tahu kalimat itu ditujukan untuknya, sekalipun orang yang mengatakannya tidak sama sekali memutar kepala ke arahnya. “Ini … minum dulu, Nyonya.” Menghembuskan napas pelan, Geraldo memutar tubuh kemudian berjalan kembali ke kursinya. Dari tempatnya duduk, Geraldo memperhatikan wanita itu. Satu sudut bibir pria itu terangkat tak lama kemudian. Sepasang matanya mengecil. Lima jam kemudian, pesawat yang Geraldo tumpangi akhirnya mendarat. Pria itu sengaja membiarkan para penumpang lain turun terlebih dahulu, sebelum akhirnya beranjak. Geraldo keluar dari celah antar kursi. Pria dengan tinggi nyaris 2 meter tersebut meraih koper yang ia letakkan di kabin pesawat. Geraldo berjalan keluar pesawat. Pria itu menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing di telinganya. “Tidak apa-apa. Biar saya bantu bawa. Saya masih muda, dan kuat.” Geraldo melanjutkan langkah kakinya. Tidak terlalu peduli setelah melihat siapa yang berjalan di belakangnya dengan membawa dua koper. Pria itu terus berjalan hingga tiba di tempat penjemputan. Geraldo mengangkat tangan kiri—memperhatikan benda yang melingkari pergelangannya. Geraldo berdecak ketika tidak menemukan seseorang yang seharusnya menjemput. Pria yang berdiri di satu sudut tersebut melepas gagang koper. Tangannya beralih masuk ke dalam saku bagian dalam jaket kemudian menarik keluar ponsel. Beberapa saat pria itu menunggu setelah menekan tombol power. Berdecak ketika mendapati satu pesan yang mengatakan jika jalanan macet, hingga Eric sedikit terlambat tiba di bandara. Geraldo memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Pria itu memperhatikan hiruk pikuk di tempat penjemputan penumpang pesawat. Entah berapa lama Geraldo berdiri ketika tiba-tiba suara seseorang mengalihkan perhatiannya. “Aduh, maaf … maaf. Aku sedang terburu-buru.” Lalu Geraldo dibuat tercengang begitu seseorang berjalan cepat ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Maaf, Sayang. Aku lama di toilet. Ayo, kita pulang sekarang.” Dengan kening yang sudah berlipat, Geraldo membuka sepasang bibirnya. “Jangan katakan apapun. Aku tidak tahu apa isi di dalam kopermu. Tapi, dua laki-laki tadi terlihat ingin mengambil alih kopermu. Ayo, jalan sekarang. Berpura-puralah menjadi suamiku.” Geraldo kehilangan kata-kata. Apalagi melihat sepasang mata wanita yang tak dikenalnya membesar—memberi ancaman agar dia melakukan apa yang wanita itu katakan. “Ini, dorong troli ku.” Dan Geraldo melakukan apa yang diperintahkah oleh sang dokter muda yang terlalu percaya diri tersebut. Ya, perempuan itu adalah perempuan yang sama yang dilihatnya di dalam pesawat. “Dengarkan aku baik-baik. Aku sedang membantumu. Kuharap aku tidak melakukan kesalahan dengan membantu orang yang salah. Kamu mengerti maksudku?” Geraldo menatap wanita yang memeluk lengannya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain menarik koper miliknya. “Kopermu tidak berisi barang-barang terlarang, bukan?” “Kenapa kamu ingin kita berpura-pura sebagai suami istri?” tanya Geraldo yang tidak berniat menjawab pertanyaan wanita di sampingnya. Dia lebih tertarik pada hal lain. “Ah, iya … kenapa, ya?” Bukannya menjawab, wanita yang ditanya oleh Geraldo justru bertanya balik. Namun, beberapa detik selanjutnya, wanita itu kembali bersuara. “Anggap saja kamu beruntung karena bisa menjadi suamiku. Meskipun hanya pura-pura.” Wanita yang bersama Geraldo menoleh ke belakang. “Sepertinya orang-orang itu sudah tidak mengikuti kita.” Lalu wanita itu melepas rengkuhan tangannya pada lengan Geraldo. “Ya sudah. Ini, kopermu. Berhati-hatilah. Aku pergi dulu.” Geraldo memutar kepala mengikuti pergerakan perempuan yang baru saja meninggalkannya, dengan mendorong troli berisi empat koper besar. Pria itu mengeluarkan kembali benda persegi pipih dari balik jaket, lalu menggulirnya beberapa saat. “Halo. Aku ingin informasi tentang perempuan yang baru saja bersamaku.” Geraldo memutar langkah ke belakang. Pria itu menatap dua pria dengan setelan jas berwarna hitam-hitam yang muncul dari balik kerumunan. “Tuan.” “Di mana Eric?” “Dia masing mengurus barang bawaan anda, Tuan.” Geraldo yang sudah menurunkan ponsel, menggerakkan kepala turun naik. “Kalian melihat perempuan tadi, bukan?” Melihat anggukan kepala dua pengawalnya, Geraldo mengerutkan sepasang bibirnya. “Dapatkan semua informasi tentangnya. Termasuk … nomor ponselnya.” *** “Bagaimana kamu bisa tahu nomor ponselku? Siapa kamu sebenarnya?” “Ternyata ingatanmu buruk, Dokter Cia.” “Apa kita pernah bertemu?” tanya Cia dengan kening yang sudah mengernyit. Cia memperhatikan dengan seksama wajah pria di depannya. Hembusan napas panjang wanita itu lakukan. Dia sungguh merasa belum pernah bertemu dengan Geraldo. “Tentu saja,” jawab misterius Geraldo sebelum kemudian memasukkan potongan roti ke dalam mulut, lalu mengunyah perlahan. Sepasang mata pria itu masih membalas tatap penuh pertanyaan wanita yang duduk berseberangan dengannya. Cia mendesah. “Aku tidak mengingatnya. Jika benar kita pernah bertemu sebelumnya—” Sepasang alis yang tertata rapi tersebut menukik. “Tapi aku tidak mengingat, itu berarti pertemuan kita bukan sesuatu yang penting.” “Uhuk … uhuk!” Geraldo buru-buru meraih gelas kemudian meneguk isinya. Sialan, batin kesal Geraldo sembari menatap tajam Cia yang sudah kembali mengunyah dengan santai. Geraldo meletakkan kembali gelas ke atas meja. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. D*da pria itu bergerak perlahan ke atas, kemudian tertahan sebelum beberapa detik selanjutnya bergerak turun. “Berpura-puralah menjadi suamiku—” Geraldo menahan lidah untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Pria yang masih memperhatikan sosok perempuan di depannya tersebut mengangkat sebelah alis ketika melihat sepasang mata Cia membesar. “Jadi, bagaimana istriku? Apa kamu sudah mengingatnya?” Geraldo mendorong punggung ke depan. Dua tangan pria itu terlipat di tepi meja. Sepasang matanya semakin mengecil ketika dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Melihat reaksi Cia, Geraldo yakin wanita itu sudah mengingat kejadian di bandara tiga bulan silam. “Kamu? Pria itu … kamu?” Cia menatap tak percaya sosok di depannya. Ekspresi wajah wanita itu berubah pias begitu melihat Geraldo mengangguk. Mulut Cia terbuka. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi. Sumpah .. dia tidak mengenali pria yang memiliki penampilan berbeda dari saat mereka bertemu di bandara. Jadi ... Geraldo adalah pria di bandara waktu itu? Cia masih tidak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN