Bayi yang Diragukan

1737 Kata
Tiga minggu berlalu. Seharian penuh diisi Laysa dengan merenung dalam kesendiriannya. Dunia di balik jendela rumah lantai tiga ini sangat luas, tatapi dia bertanya mengapa tidak seluas dunianya sekarang? Laysa menyadari sudah terjerat si tuan muda super posesif dengan segala keangkuhannya itu. Sekarang dia bersama kembali kepada Gavin. Sebenarnya itu bukan pilihan darinya sendiri. Semalam dia sudah berbicara dengan Xavier apa yang harus dilakukan ke depannya. “Apa aku bisa terbebas dari Gavin? Kalau ada caranya, aku mau,” ujar Laysa. Itu adalah ingatan percakapannya dengan Xavier. Lelaki jangkung tersebut tampak terdiam sejenak, kemudian berbicara. “Caranya ... hanya menikah denganku.” Kedua mata Laysa terbulat sempurna, tidak percaya bisa-bisanya Xavier mengatakan begitu di hadapannya langsung, padahal mereka baru saling mengenal. Apa Xavier juga sama saja seperti lelaki kebanyakan? Hanya memandang fisik tanpa peduli perasaan pasangan? Dua hal tersebut sempat melintas di pikiran Laysa. “Kenapa begitu?” tanya Laysa. “Karena tidak ada yang bisa melawannya kecuali aku. Kalau kau berada dalam perlindunganku, setidaknya pergerakannya terbatas. Aku menjamin keselamatanmu,” jawab Xavier sangat tenang dan yakin. Laysa berpikir banyak mendengar penawaran tersebut, apa itu terdengar bagus? Bagi kebanyakan orang, mungkin iya. Namun, baginya ... Xavier tidak pantas berkorban banyak hanya untuk gadis seperti dirinya yang tidak memiliki apa-apa kecuali kecantikan. “Bagaimana? Apa kau menerima tawaranku?” tanya Xavier karena Laysa tidak kunjung memberi respons lain kecuali terdiam dengan gerak tubuh gelisah. “Maaf ... aku tidak bisa.” Akhirnya Laysa menjawab, meskipun kelihatannya ini bukan sebuah jawaban yang tepat. Dia hanya berusaha untuk mengambil segala risiko yang ada daripada mengorbankan orang sebaik Xavier. “Kenapa? Yang kulihat sekarang kau tidak hanya tertekan, Gavin pasti selalu bersikap kasar padamu. Apa benar begitu?” Laysa tidak menjawab dan hanya meremas sudut roknya. Ada keinginan besar untuk terbebas dalam genggaman seorang Gavin Diamond Stewart, sungguh. Namun, kenapa seakan tidak ada pilihan terbaik baginya? “Percayalah padaku, Lays. Aku akan melindungimu dan akan membuatmu nyaman selama berada denganku. Selama apa pun itu, atau sampai Gavin melupakan hassratnya padamu.” Xavier berkata lagi. Penawaran semakin bagus saja bagi Laysa. Apalagi itu dikatakan langsung oleh orang seperti Xavier, lelaki baik yang pernah ditemuinya selama ini. “Aku tetap tidak bisa, aku memiliki perjanjian dengan Gavin. Itu akan menjeratku bagaimana pun keadaannya. Kau sangat baik, Xavier, tapi aku tidak ingin melibatkanmu lebih jauh dalam masalahku dengan Gavin. Dia sangat kejam, aku lebih mengkhawatirkanmu. Lagi pula kalian berdua bersaudara, aku tidak mau merusak tali persaudaraan kalian,” ujar Laysa. Gerakkan jemarinya sedikit pelan, sebab ada sebuah keraguan besar mengganjal dalam hatinya. Dia sangat ingin ... bahkan lebih dari ingin untuk bisa menghirup napas bebas, bisa mengepakkan sayap selebar-lebarnya demi melihat luasnya dunia ini. Namun, pemikiran dan hatinya bertolak belakang. Xavier menenggak minumannya sebentar sebelum berkata lagi. Bersama helaan tipisnya, dia menatap Laysa. “Hubunganku dengan Gavin sudah rusak sejak dulu. Tapi itu terserah padamu kalau memang masih ingin mempertahankannya. Aku hanya bisa menawarkan sebuah bantuan,” ujarnya. Laysa sedikit merasa tidak enak. Dalam hati terdalamnya, penyesalan itu ada. Hanya saja, dia merasa lebih baik menyesal sekarang daripada nanti saat dia melihat dua saudara itu saling menyakiti. Alasan terbesarnya menolak tawaran Xavier sebenarnya adalah ... ketika dia teringat dirinya sekarang sudah bukan seorang gadis yang suci dari sentuhan lelaki. Gavin telah merenggut miliknya, sesuatu yang sangat dijaganya seumur hidup. Ketika ingatan percakapan antara dirinya dan Xavier melintas, Laysa memeluk kedua lututnya, lalu melihat pemandangan kota dari balik jendela di sampingnya. Andai saja dia lebih dulu bertemu dengan lelaki itu, semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Begitulah khayalan kecil Laysa sekarang. “Apa aku harus mati saja? Ah ... tapi aku masih takut, kematian itu sangat menyakitkan.” Laysa bergumam sendiri. “Aku ingin di akhir hidupku, akan ada seseorang yang menangis karena kepergianku. Setidaknya itu membuatku bahagia karena masih ada orang yang peduli.” Setumpuk harapan Laysa berkumpul menjadi satu, di sebuah tempat yang jauh dalam relung hati. Bahkan sekarang, dia tidak berani memunculkan semua harapan itu ke permukaan. Klik! Suara pintu terbuka terdengar sampai ke telinga Laysa. Gadis itu lantas menoleh dan mendapati Gavin sudah pulang dengan wajahnya yang lelah. Gavin menanggalkan jas hitamnya, kemudian melonggarkan dasi di leher seraya menatap langkah Laysa yang menghampirinya. Laysa langsung mengambil tas dan jas Gavin yang dibuang ke sembarang tempat, kemudian menaruh di tempat seharusnya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, baru setengah jam dari waktu matahari terbenam dan lelaki itu tampaknya membawa sebuah kekesalan kecil ke rumah. “Kau baru pulang. Aku menunggumu sejak tadi, ada yang mau aku bicarakan denganmu.” Laysa menulis di bukunya, lalu memberikan itu kepada Gavin. Gavin memang sempat menerimanya, tapi tidak lama. Buku itu dilempar ke atas tempat tidur tanpa sempat terbaca isi tulisan Laysa di sana. “Aku tidak membutuhkan ocehanmu. Sekarang pergilah, ambilkan aku minum.” Sebuah perintah dari Gavin membuat Laysa sedih. Bukan hanya tentang bukunya yang dilempar begitu saja, melainkan ditambah perasaan tidak berharga. Ternyata memang seburuk ini derajatnya di mata orang lain setelah hidupnya ‘dibeli’. Laysa pun memenuhi perintah Gavin dan mengantarkan segelas minuman padanya. Dalam kamar besar ini, memang minuman menjadi sesuatu yang wajib tersedia. Walau segalanya bisa saja diurus oleh pelayan. Setelah meminum isinya, Gavin memberikan gelasnya dengan sedikit dilempar ke arah Laysa. Bersama tatapan datarnya, lelaki itu seakan ingin meluapkan kekesalan. Kenapa Gavin mendadak arah begini? Kesalahan apa lagi yang Laysa lakukan? “Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Laysa menggunakan bahasa isyaratnya karena dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. “Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin langsung pada intinya. Laysa menggelengkan kepala secepatnya. “Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras, membuat Laysa tertunduk takut. “Apa kau pikir aku tidak melihatnya? Di tempat parkir itu dia menggendongmu, lalu apa yang kau lakukan? Kau hanya diam dan menerima saja! Kenapa kau tidak menolak, lalu kembali padaku, hah? Apa benar kau menyukainya?” “Menyukainya?” Laysa kebingungan saat mendapat pertanyaan sensitif itu dari Gavin. Dari mana dia bisa menyimpulkan hal itu hanya karena sebuah video? Laysa menggelengkan kepala dengan cepat. Dia tidak ingin ada masalah lebih jauh dengan Gavin. “Kau berbohong padaku lagi, Lays. Kau mengatakan sudah menyerahkan seluruh hidupmu padaku, tapi nyatanya itu hanya sebatas dalam tulisan tidak bergunamu itu. Apa aku harus menekankan lagi konsekuensi yang akan kau terima kalau bertentangan denganku, Lays?” Laysa kembali menggelengkan kepalanya, dia ketakutan setengah mati saat Gavin muncul seperti ibblis kasar yang tidak berperasaan begini. Dia pun menangis seraya memundurkan langkah karena Gavin semakin menekannya dengan tatapan tajam. Laysa takut, sangat takut dengan Gavin sekarang. Apa memang kehidupannya sudah disetting seperti ini? Harus menerima segala ancaman, kekerasan dan ketidak-adilan dalam hal apa pun? Laysa ingin sekali dianggap berharga. Ingin sekali, walau itu hanya sebentar dan dia akan mati di hari berikutnya. “Hanya ada dua pilihan bagimu sekarang. Itu adalah tetap bersamaku, atau mati. Ap kau mengerti itu?” Laysa terdiam dan terus menangis. “Tidak, aku tidak menginginkan itu. Tidak pernah menginginkan itu.” Laysa membatin. Dia yang terus menangis di bawah tekanan Gavin, juga ketakutan itu merasa kepalanya seakan ditindih berbatuan besar. Pandangannya berputar-putar dengan cepat mengusik keseimbangannya hingga terjatuh ke lantai. Seluruh pandangan Laysa akhirnya gelap, kecuali sama-samar dia mendengar suara Gavin memanggil-manggil namanya. Dia tidak ingat lagi setelah itu. *** Ketika membuka kedua mata, Laysa berada di tempat tidur besarnya bersama dua orang di dekatnya. Dia melihat ada seorang wanita berpakaian putih yang mengenakan sebuah kaca mata. Wanita itu baru saja selesai memeriksa tubuh Laysa, lalu beranjak dari tempat tidur seraya merapikan alat medisnya. Gavin sendiri tidak terlalu terkejut melihat Laysa siuman, sikap lelaki itu sangat dingin. Membuat Laysa semakin bersedih dengan keadaannya. Ternyata Gavin tidak merasa cemas sama sekali. “Lalu bagaimana kesehatannya sekarang?” tanya Gavin. “Tekanan darahnya cukup rendah, Gav. Kau harus segera membawanya ke rumah sakit,” ujar wanita bernama Gracia yang berstatus sebagai dokter tersebut. “Kenapa tidak kau saja yang menuliskan resepnya. Beri dia obat, apa sekarang keahlianmu mendiagnosis penyakit sudah berkurang?” “Bukan itu masalahnya! Tapi dia sedang hamil, aku tidak bisa sembarangan memberikannya obat. Kau harus segera menanganinya, kalau tidak dia bisa keguguran.” Seketika hening. Baik Gavin atau Laysa sendiri, mereka terbungkam paksa oleh keterangan dokter tersebut. Laysa hamil? Kedua tangan Laysa sedikit gemetar saat memegang perut yang masih tampak rata itu. Dia tidak percaya, apa ini hanya sebuah mimpi? “Apa kau bisa memastikan kehamilannya itu?” tanya Gavin yang pada akhirnya menyadarkan Laysa bahwa mereka tidak sedang bermimpi. Justru, keinginan Gavin untuk memiliki seorang anak dari Laysa ternyata terwujud begitu cepat. Sebab setiap kali mereka berhubunggan, Laysa atau Gavin tidak pernah menggunakan pengaman apa pun. “Tentu saja. Kau bisa memastikan sendiri setelah datang ke rumah sakit,” jawab Dokter Gracia. Kemudian melihat ke arah Laysa sebentar sebelum terfokus kepada Gavin. “Apa kau yang melakukan ini? Jika memang iya, kau benar-benar sangat nekat, Gav. Aku tahu beberapa minggu lalu, ibumu sempat menyebarkan berita tentang pernikahanmu dengan Laura. Apa tanggapannya jika dia tahu kau akan memiliki anak dari gadis ini?” “Itu adalah urusanku, tidak seorang pun yang bisa mengaturku walau dia adalah ibuku sendiri.” Gavin pun beranjak dari kursinya, lalu menghampiri Gracia. “Rahasiakan kedatanganmu ke tempatku, aku tidak ingin banyak media mengetahui ini sekarang.” “Terserah padamu. Kalau begitu aku pergi dulu, jaga kesehatan mental dan fisiknya, Gav. Aku rasa kandungannya cukup lemah sekarang,” ujar Gracia sebelum pergi. Gavin tidak mengiyakan, tidak juga menepis perkataan Gracia. Setelah wanita itu pergi dan hanya menyisakan Laysa dan Gavin di sana, Laysa belum berani bergerak banyak. Hanya air matanya yang mengambil tindakkan lebih dulu, seakan mewakilkan perasaannya sekarang. Laysa benar-benar terjebak dalam jeratan Gavin dengan mengandung calon anaknya. “Bangunlah,” ujar Gavin seraya memegang tangan Laysa dan membantunya bangkit. Gadis itu masih menangis dalam diam meluapkan perasaan walau tidak seluruhnya. Gavin meraih pipi Laysa dengan telapak tangan besarnya. Menyeka sedikit ari mata itu dari wajah cantik gadisnya. Sementara Laysa masih ketakutan atas apa yang akan dilakukan Gavin selanjutnya setelah mengetahui hal ini. “Kali ini kau masih selamat, Lays. Aku memang membutuhkan istri dan seorang anak dari rahimmu. Tapi setelah anak itu lahir, aku menginginkan tes DNA, agar aku bisa mengetahui siapa ayah biologisnya,” ujar Gavin pelan, tapi sangat menohok. Plak! Laysa melayangkan sebuah tammparaan keras di pipi Gavin. Sangat ringan seperti kapas, tangannya spontan melakukan itu akibat rasa sakit yang tidak bisa diterimanya karena ujaran Gavin barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN