Setelah beberapa jam terbang dan dilanjutkan dengan perjalanan darat akhirnya mereka tiba di sebuah hotel yang menjadi tempat menginap selama di Jepang.
Gween menghempaskan tubuh di atas kasur yang menarik seluruh minatnya untuk merebahkan diri di sana. Wanita itu merasa tubuhnya begitu lengket karena ulah pria yang sekarang tidak ia ketahui keberadaannya.
Ia memejamkan mata, tapi yang terlintas malah kejadian sesaat sebelum ia pergi ke rumah sang mama.
Jero dan Salia. Apa mereka punya sebuah hubungan khusus? Atau wanita itu juga sama seperti dirinya yang hanya dijadikan pelampiasan?
Gween masih begitu ingat kalimat yang terakhir kali diucapkan oleh pria itu ketika mereka masih berada di pesawat dan melakukan percintaan panas di ketinggian ribuan kaki.
Pernyataan itu menyadarkannya pada kenyataan yang hampir saja dilupakan oleh Gween karena beberapa hari ini terbuai oleh sikap Jero yang sedikit melunak.
Wanita itu membuka ponsel dan melihat kalender. Satu bulan lagi, dia harus bertahan sebulan lagi sesuai perjanjiannya dengan Jero waktu itu. Sampai pada waktu yang mereka sepakati, maka Gween akan bebas melangkah pergi.
Pintu kamar dibuka dan Gween bisa melihat kemunculan Jero yang sibuk berbicara dengan bahasa asing di ponselnya. Kemeja pria itu tampak kusut, dan Gween langsung memalingkan muka saat menyadari bahwa itu adalah ulahnya.
"Red akan mengurus perlengkapanmu selama di sini." Pria itu meletakkan ponselnya di atas nakas dan menarik sebuah koper hitam yang tadi dibawakan oleh sang bodyguard.
"Aku akan pulang larut malam. Jangan kemana-mana," ucapnya memberi peringatan.
Gween hanya diam karena tahu bahwa pria itu tak perlu jawaban.
Setelah Jero pergi, Gween beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia ingin menikmati suasana sore hari dengan tubuh yang segar meski hanya lewat balkon kamarnya.
Selesai mandi, wanita itu tak kesulitan untuk mendapatkan pakaian ganti karena ternyata sesuai perkataan Jero, Red sudah membelikan beberapa untuknya dan meletakkannya di atas sofa.
Bertepatan dengan itu terdengar suara notifikasi ponsel yang begitu nyaring dan membuat Gween mengernyitkan dahi karena itu bukan suara ponselnya.
Ternyata itu adalah ponsel Jero yang kemungkinan besar lupa ia ambil kembali setelah tadi meletakkannya di sana.
Dan nama Salia tertera amat sangat jelas di sana. Wanita itu mengirim sebuah email yang membuat jari Gween gatal untuk membukanya. Tapi sayangnya itu bukan urusan Gween kan? Lagipula, mana ia tahu sandi untuk membuka ponsel pria itu.
Kejadian itu membuat semangat Gween menikmati pemandangan kota Tokyo di sore hari menjadi padam. Wanita itu merasa marah pada dirinya sendiri yang terlalu bodoh menghadapi seorang Jero Axford.
Sejak awal mereka memiliki perjanjian, dan sudah seharusnya Gween tahu dia tidak boleh melibatkan perasaan, bukannya malah menjadi lemah dan membiarkan dirinya jatuh pada pesona pria itu yang sudah pasti akan menyakitinya bertubi-tubi.
Di lain tempat, Geisya sedang sibuk dengan laptop di hadapannya yang sejak tadi ia gunakan untuk mencari tahu pemilik plat kendaraan yang tadi datang menjemput Gween.
"Sialan! Mobil seharga miliaran itu tidak mungkin dimiliki oleh sembarang orang!" gumam Geisya dengan jengkel.
"Lagian kamu ngapain sih penasaran sekali dengan orang itu? Yang penting kan uang belanja kita tetap dikirimin sama Gween." Talia mengaduk teh yang ada di pangkuannya.
Geisya mendelik tajam sebelum mendengkus dongkol. "Anak Mama itu mau motong jatah belanja aku. Lagian, kalau aku bisa tahu siapa orang ini, aku bisa minta sendiri ke dia seberapapun aku mau, Ma," ujarnya menggebu.
"Dia nggak akan berani memotong uang belanja kamu, nanti Mama yang bicara sama Gween."
Geisya berdecak kesal. "Lagian Mama sih, bawa mobilnya kurang ngebut. Seharusnya kita bisa ngikutin mobil itu sampai tujuannya."
"Mama kan lagi kurang enak badan, Gei," ucap wanita itu.
"Ck. Mama baru demam gitu aja, aku nih hampir mati karena kecelakaan aja masih lebih kuat daripada Mama."
"Geisya! Kamu yang sopan ya ngomong sama Mama! Lagian kan ini juga ide kamu buat Mama seolah jatuh dari kamar mandi dan nge-drop supaya Gween datang ke rumah dan kamu bisa cari tahu tentang pria g***n-nya itu."
"Bohong dikit nggak ngaruh lah, Ma," gerutu Geisya kesal.
Benar, Geisya dan sang Mama memang hanya pura-pura agar memancing Gween pulang dan Geisya bisa mendapatkan informasi tentang siapa pria yang menjadi donatur utama wanita itu sehingga bisa memiliki uang yang banyak meski dirinya hanya kerja sebagai pelayan restoran biasa.
Namun nyatanya tak ada yang bisa didapat wanita itu meski mereka sempat berusaha mengikuti mobil yang menjemput Gween tadi.
Jujur saja, Geisya amat sangat tidak terima jika Gween bisa dengan mudahnya mendapatkan banyak uang dari pria kaya yang sejak dulu selalu menjadi standar Geisya untuk mencari pasangan.
"Besok Mama harus telepon lagi Gween. Suruh dia datang, aku mau sadap handphone-nya."
Talia menggelengkan kepala pelan. "Nggak usah terlalu jauh, Gei. Yang utama adalah kesembuhan kamu dulu."
"Aku udah sembuh, Ma," tukas wanita itu keras kepala. "Yang saat ini harus aku pikirkan adalah gimana caranya balas dendam ke Dandi, dan untuk melakukan hal itu aku harus punya uang yang banyak dan salah satu caranya adalah dari pria yang saat ini dekat dengan Gween."
Bohong. Dia bahkan tidak punya minat lagi untuk membalas Dandi karena atensinya kini tertuju penuh pada pria yang menjadi donatur Gween saat ini.
"Gween baru aja ngepost story," gumam sang Mama yang sangat didengar jelas oleh Geisya. Wanita itu pun dengan gesit langsung mencari seluruh akun media sosial kakaknya.
"What the?!" Geisya mendelik tajam untuk mengamati dengan seksama pemandangan kota yang Gween bagikan.
"Kamu tahu ini di mana?" tanya Talia mengerutkan dahi.
"Tokyo," sahut Geisya tajam. Wanita itu pun langsung mengomentari kiriman itu.
Bagus ya. Mama lagi sakit, lo malah enak-enakan liburan sama g***n lo!
Tak lama, Gween mengirim balasan yang membuat Geisya mengamuk dan melemparkan ponselnya dengan geram.
Gue punya g***n juga buat ngebiayain hidup lo.
Geisya merasa Gween sudah kelewatan, dia tak akan membiarkan perempuan itu merasa di atas awan dan merendahkan dirinya. Sejak dulu Gween selalu berada di bawahnya, dan akan selalu seperti itu untuk selamanya.
Sekali lagi, Gween membagikan pemandangan kota yang kali ini dilengkapi dengan punggung tegap seorang pria. Jelas saja, hal itu membuat Geisya semakin mengamuk seperti orang gila.
Ternyata pria itu bukan tua bangka yang perutnya buncit dan berkepala botak. Tubuh tegap yang membelakangi kamera itu cukup membuat Geisya panas dingin dan bertekad akan memiliki pria ini.
To be continue