"Lio ... "
Terdengar seseorang memanggilnya dengan pelan. Pria berkaos putih dengan setelan jas berwarna hitam itu menoleh, bibirnya mengembang. Ia tersenyum pada wanita lanjut usia yang sedang berdiri di belakangnya.
"Sudah siang. Kita bisa datang ke sini lagi nanti. Ayo, kita pulang," ajaknya dengan suara lembut.
"Tunggu sebentar," pinta Lionello lalu meluruskan pandangannya ke depan. Tepat pada sebuah nisan bertuliskan nama yang masih melekat kuat di dalam hatinya.
Ia terpaku. Meski tubuhnya berada di depan sebuah makam, tetapi lamunannya melayang jauh. Ia belum bisa melupakan satu pun kenangan yang dilalui bersama seorang wanita yang kini namanya tertulis abadi di dalam nisan itu. Setiap detik bayang wanita itu selalu muncul di dalam kepalanya, seolah ingin membalas dendam atas perbuatan buruk yang pernah diterima dari dirinya dulu.
Lionello tertegun ketika merasakan sentuhan lembut pada pundaknya. Ia kembali menoleh dan melihat ibunya menatap sendu. Tangan kanan Lionello terangkat meraih telapak tangan yang sudah mengeriput. Ia menggenggamnya dengan lembut seolah takut akan menyakiti tangan rapuh tersebut.
"Sayang .... " Nieve memanggil dengan nada memohon.
"Ayo, Ma," balas Lionello seraya merangkul ibunya.
Langkah mereka menjauh dari makam tersebut. Lionello menuntun Nieve menuju mobil yang terparkir di depan pintu masuk pemakaman. Ketika berada di depan mobil, ia membukakan pintu untuk ibunya lalu memutari kap depan dan menyusul masuk ke dalam.
Meski jarak pemakaman tidak jauh dari gedung apartemen tempat tinggalnya, Lionello selalu pergi menggunakan mobil setiap kali datang ke makam bersama Nieve. Ia tidak tega jika harus membuat ibunya yang kini sudah tidak berusia muda itu berjalan kaki sejauh tiga ratus meter.
Lionello Giovinco, sebuah nama yang dia dapatkan dari mendiang ayahnya. Ya, setelah Enzo meninggal satu tahun yang lalu, Lionello membawa ibunya pergi dari Italia. Mereka memilih tinggal di Spanyol bersama Teofilo, kakak ipar Lionello.
Tiga tahun Lionello hidup dalam lubang penyesalan yang semakin menenggelamkan dirinya. Membuatnya meninggalkan sebuah kehidupan yang dilakoni sejak lama. Serta berubah menjadi sosok pria yang memiliki kehidupan normal layaknya orang biasa.
Sebuah kafe yang berada di 4 Carrer de Sant Pere Més Alt dengan nama Letta Café adalah miliknya. Ia menghabiskan sepanjang hari di kafe tersebut bersama Nieve. Bahkan tak jarang Teofilo datang sekedar membantu.
Lionello memarkirkan mobilnya di depan kafe. Kafe miliknya hanya terletak berseberangan dengan gedung apartemen tempat dirinya dan Nieve tinggal. Lionello sengaja memilih lokasi yang dekat dengan tempat tinggal. Tentu saja alasannya adalah Nieve.
"Selamat siang, Señor," sapa Renata ketika melihat kedatangan Lionello bersama Nieve.
"Ya," balas Lionello sedangkan Nieve langsung memilih kursi yang kosong dan duduk di sana. "Apa Teo datang ke sini?" tanya Lionello.
"Saya belum melihat Señor Teofilo datang," jawab Renata.
"Baiklah. Tolong siapkan minuman untuk kami," pinta Lionello.
"Anda ingin minum apa, Señor?"
"Espresso dan teh," jawab Lionello dan menyusul duduk di depan ibunya ketika pelayan kafenya pergi.
"Lio," panggil Nieve tiba-tiba membuat Lionello menatapnya. "Bagaimana kalau kita pulang ke Milan dan tinggal di sana selama beberapa hari? Madre sangat merindukan Padre-mu."
Lionello terdiam. Bukan tidak ingin mengunjungi ayahnya. Milan adalah tempat yang menyimpan banyak sekali kenangan hingga membuat Lionello kerap kali tidak tenang berada di sana. Ia pun merasakan hal yang sama seperti ibunya dan merindukan Enzo. Ia juga merindukan Rery.
"Jangan sekarang, Ma. Mungkin nanti," jawab Lionello.
Perbincangan mereka terjeda oleh kedatangan Renata. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu menghampiri meja Lionello dan Nieve dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan kopi serta kudapan ringan yang biasa disajikan di meja kerja Lionello.
"Ini kopi Anda, Señor. Dan ini tehnya," ucap Renata pada Lionello dan Nieve sembari tersenyum.
"Terima kasih, Renata," ucap Lionello membuat karyawannya itu tersenyum semakin lebar.
Nieve tersenyum tipis memperhatikan putranya. Lionello sudah banyak berubah. Pria itu sudah bukan lagi putranya yang senang memasang wajah datar dengan sorot mata yang tajam. Melainkan wajah yang selalu tersenyum ramah pada siapa pun. Entah Nieve harus merasa senang atau sedih melihat perubahan putranya setelah memilih tinggal di Barcelona. Nieve berpikir jika senyum itu hanyalah sebuah topeng untuk menutupi hatinya yang merasa kesepian.
Setelah Violetta pergi meninggalkan mereka untuk selamanya, Nieve masih saja merasa sedih. Violetta adalah wanita yang baik yang dirinya pilih untuk mendampingi hidup putranya. Tetapi mungkin wanita itu memilih pergi karena alasan lain. Dan sampai sekarang Nieve belum mengerti masalah apa yang sebenarnya terjadi di antara putranya dengan Violetta hingga membuat Lionello belum bisa membuka hati pada wanita lain manapun.
Apakah Nieve tidak pernah membujuk Lionello untuk memulai kehidupan yang baru? Tentu saja ia pernah melakukan hal itu. Bahkan Nieve pernah meminta bantuan Natása untuk mengenalkan salah satu temannya pada Lionello. Nieve hanya tidak ingin melihat putranya terus melamun setiap kali berada di mansion. Terlebih Gustavo sudah pergi meninggalkan Lionello setelah kematian Violetta.
"Ada apa, Ma?" tanya Lionello dengan kening yang berkerut menyadari kalau ibunya tengah memperhatikan dirinya.
"Tidak ada apa-apa, Sayang," jawab Nieve sembari tersenyum. Dia mengangkat cangkir teh yang ada di atas meja lalu meminumnya perlahan.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Sampai akhirnya derap langkah kaki yang menghampiri membuat Lionello dan Nieve menjatuhkan pandangan ke arah yang sama. Dalam sekejap mereka tampak terkejut menatap sosok pria yang sudah tidak asing. Bukan kehadirannya yang membuat mereka membelalakkan kedua matanya dan mematung, melainkan seorang anak kecil yang berusia sekitar dua atau tiga tahunan yang berada dalam gendongan pria dewasa tersebut.
Nieve dan Lionello langsung bangkit dari duduknya ketika Teofilo berhenti di depan mereka. Nieve tampak memperhatikan anak perempuan yang berada dalam gendongan Teofilo dengan seksama. Ada bercak luka di sekitar wajahnya. Salah satu siku tangannya pun terbalut perban dengan noda darah di sekitar perban tersebut.
"Teo, siapa dia?" tanya Nieve merasa penasaran sekaligus iba melihat kondisi anak tersebut.
"Namanya Estefanía. Dia salah satu korban kecelakaan yang terjadi di jalan tol," jawab Teofilo.
"Astaga." Nieve menutup mulutnya tak percaya. "Boleh aku menggendongnya?"
"Tentu," jawab Teofilo dan menyerahkan Estefanía pada Nieve.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lionello merasa penasaran setelah ibunya menggendong Estefanía dan duduk di kursi sebelumnya. Lionello pun kembali duduk di kursi yang sama lalu Teofilo menyusul di kursi samping tempat duduk Nieve.
"Ada truk besar yang kehilangan kendali dan menabrak mobil di depannya. Lalu dua mobil lain termasuk mobil yang ditumpangi Estefanía menabrak truk itu. Mobilku berada tepat di belakang mereka," jelas Teofilo.
"Lalu di mana kedua orangtua anak ini?" tanya Lionello semakin merasa penasaran.
Teofilo diam sejenak. Ia justru menatap lekat wajah Estefanía yang tampak murung di dalam pangkuan Nieve. Helaan napas panjang Teofilo membuat kening adik iparnya mengernyit.
"Mereka sudah meninggal," jawab Teofilo pelan.
"Ya Tuhan .... " desah Nieve dengan mata berkaca-kaca saat memperhatikan Estefanía yang tampak tenang berada dalam pangkuannya.
Sedang Lionello tampak diam tidak merespon. Ia mematung menatap wajah Estefanía. Entah mengapa hal tersebut memukul hatinya dengan keras, membuatnya kembali ingat dengan Violetta.
"Lalu ... Bagaimana dengan selanjutnya?" tanya Lionello pelan dengan suara serak untuk menahan emosinya yang berkecamuk. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan kesedihannya setiap kali merindukan sosok Violetta di hadapan orang-orang sekitarnya.
"Biarkan kita merawatnya, Teo." Ucapan Nieve menyela Teofilo untuk menjawab pertanyaan Lionello. Wanita berusia lanjut itu mencium kening Estefanía dengan penuh rasa kasih sayang sedang salah satu tangannya tidak berhenti mengelus puncak kepala anak itu. "Boleh kan Lio?" tanya Nieve seraya menatap putranya.
Tidak ada jawaban dari Teofilo dan Lionello. Dua pria tampan itu justru diam satu sama lain. Sampai akhirnya sikap mereka menarik Nieve untuk melanjutkan ucapannya.
"Tidak mungkin jika harus kau yang merawatnya. Kau tidak pernah tinggal bersama anak kecil," ucap Nieve menatap Teofilo. "Sedangkan aku bisa merawatnya. Aku jamin aku akan merawatnya dengan baik. Aku akan merawat Estefanía seperti cucuku sendiri."
"Ma ..., " panggil Lionello dengan nada memohon agar Nieve mengerti situasi saat ini. Karena mungkin saja Estefanía harus tinggal bersama dengan saudaranya yang lain.
"Lio ... Madre mohon padamu. Biarkan Estefanía tinggal di sini bersama kita," ucap Nieve memohon.
"Tía." Panggilan Teofilo menarik Nieve untuk menoleh ke arahnya. "Polisi sedang menyelidiki identitas Estefanía. Sebelumnya aku sudah mendapat ijin dari kepolisian untuk sementara waktu merawat Estefanía sampai pihak kepolisian datang membawa hasil pemeriksaan. Aku sama sekali tidak keberatan jika kau ingin merawatnya sampai mereka datang," jawab Teofilo membuat Nieve langsung menghela napas lega.
"Lio, kau dengar itu? Teo tidak masalah dengan hal itu. Jadi tidak apa kan kalau Estefanía tinggal bersama kita?" Nieve tampak gigih merayu putranya agar menuruti permintaannya itu.
Lionello masih diam. Ia memikirkan ibunya. Lionello sangat paham dengan watak Nieve. Ia hanya cemas jika sewaktu-waktu pihak kepolisian datang untuk membawa Estefanía dan mengembalikannya ke keluarganya, Nieve tidak bersedia menyerahkan Estefanía. Sudah dipastikan jika hal itu terjadi, Nieve pasti tidak akan berhenti menangis serta merayunya agar bersedia membawa Estefanía kembali. Dan walau bagaimana pun juga, memang seperti itulah watak ibunya dan dirinya harus mampu memaklumi hal tersebut.
"Lio ... Madre mohon padamu. Kasihan Estefanía ... Madre .... " Nieve memberikan jeda pada ucapannya. Ia menatap lekat wajah Estefanía. "Melihatnya membuatku ingat dengan Violetta," gumamnya pelan lalu kembali menoleh pada Lionello, "Ini pasti takdir dari Tuhan untuk mengisi kekosongan keluarga kita, Lio .... "
Violetta. Ya, nama indah itu membuat Lionello tidak mampu menolak keinginan ibunya. Ucapan Nieve memang benar. Keluarga mereka sudah kosong sejak Violetta pergi meninggalkan mereka, lalu Enzo pun menyusul kepergian Violetta.
"Kau bisa merawatnya sampai polisi datang menjemputnya, Ma."
Jawaban Lionello membuat Nieve tersenyum bahagia. Sontak wanita lanjut usia itu langsung memeluk Estefanía.