"Demi apa pun, kalau aku jadi kamu, mana sudi buang-buang waktuku yang berharga buat balikan atau kasih kesempatan sama cowok yang nyata-nyatanya selingkuh!"
Kalimat panjang lebar bernada sindiran seperti ini hampir tiap hari menyapa indra pendengaran Airin. Kupingnya terasa kebal. Bahkan, terkadang ia sampai hapal karena sebulan belakangan selalu saja diucapkan berulang oleh Vennia ketika ada kesempatan.
Sahabat Airin itu terlihat gemas. Sedikit kesal juga sebenarnya. Katakanlah tidak terima juga melihat Airin yang mau saja memberikan Athar kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan rumah tangganya bersama Airin.
Bagi Vennia, Airin hanya buang-buang waktu. Ia juga beranggapan yang namanya tukang selingkuh, tobatnya mirip tobat orang kepedesan. Berhentinya sebentar. Nanti, begitu rasa pedasnya hilang, bakal dicicipi kembali.
Padahal, sudah beberapa waktu belakangan Athar menunjukkan perubahan yang terbilang signifikan. Tapi, namanya sudah pernah cacat. Ya, tetap saja minus di mata Vennia.
"Berani taruhan, Rin. Ada saatnya, Athar pasti kumat dan kembali melakukan hal yang sama," ungkap Vennia sungguh-sungguh. Penuh penekanan dan juga terlihat begitu yakin. Masa bodoh kalau Airin menganggapnya terlalu memprovokasi atau su-udzon.
"Cowok, kalau udah sekali di kasih maaf dan kesempatan setelah melakukan kesalahan besar, ada kemungkinan akan menyepelekan kita di kemudian hari. Anggapannya begini, nggak apa-apa buat salah. Tinggal bersujud, nangis terus minta maaf, pasti bakal dimaafkan. Dasar Tuman!"
Airin yang sedang sibuk menulis di meja kerjanya tanpak menggapi dengan senyum. Sangking bosan dan hapalnya dengan pembahasan yang Vennia lontarkan, ia hanya bisa menyahut dengan kata-kata yang sama seperti sebelumnya.
"Udah lah, Ven. Nggak usah terlalu overthinking."
"Nggak, bisa, Rin. Masalahnya ini berurusan dengan yang namanya perselingkuhan. Walaupun kamu nggak cerita secara detail, tapi memergoki suami sendiri yang hampir ML dengan selingkuhannya dan bahkan dengan berani melakukan hal menjijikkan tersebut di atas tempat tidur kita, apa nggak gila namanya? Dan kamu? Dengan legowonya masih kasih kesempatan? Aku nggak habis pikir! Kamu malaikat apa gimana, sih?"
Airin tertawa kecil.
"Tiap orang berhak untuk menerima kesempatan kedua, kan?"
Vennia mengangguk setuju untuk kalimat yang satu ini. Hanya saja, Vennia tidak mentoleransi sama sekali dengan apa yang sudah Athar lakukan.
"Aku tau. Setiap orang memang berhak dapat kesempatan kedua. Tapi, nggak untuk yang namanya perselingkuhan, Rin. Ini udah macam penyakit ganas yang bisa kambuh kapan aja. Lagian, kamu nggak jijik tinggal serumah, bahkan masih tidur seranjang sama laki-laki yang udah jelas-jelas tidur sama perempuan lain? Astaga! Aku bayanginnya aja mau muntah."
Vennia kemudian melempar tatapan penuh tanya. Memincingkan mata, seolah tengah menebak apa yang tengah Airin pikirkan.
"Atau... jangan-jangan kamu punya rencana terselubung."
"Anggap saja begitu," sahut Airin santai. "Lagi pula, aku nggak mau melepas Mas Athar begitu aja di depan Nonie."
"Astaga! Terus, apa yang mau kamu lakukan setelah ini?"
Sekali lagi Airin tersenyum. Alih-alih menjawab pertanyaan Vennia, dirinya malah kembali fokus dengan pekerjaan yang sedang ia selesaikan. Kalau ditelisik, Airin seolah enggan berbagi atau bercerita lebih jauh soal masalah rumah tangga apalagi masalah ranjang antara dirinya dan Athar saat ini.
"Udah, ah. Nggak usah dibahas terus-terusan. Kamu nggak bosan tiap hari bahas hal yang sama?"
Vennia menggeleng.
"Nggak bakal bosan sampai kamu sadar kalau keputusan yang kamu buat itu benar-benar buang waktu. Tapi, serius banget aku tanya kamu deh, Rin. Misal, ini Athar udah dikasih kesempatan kedua, terus tau-tau kembali selingkuh, kamu nggak niat buat maafkan dan kasih dia kesempatan lagi, kan?"
Airin mengedikkan kedua bahunya. Belum sempat memberi jawaban pasti, pintu ruangannya terdengar diketuk. Setelahnya, Airin mendapati sosok Rayhan yang tiba-tiba saja bertamu dan singgah untuk menjenguk dirinya.
"Aku pergi dulu, Rin," kata Vennia sebelum meninggalkan ruangan Airin. "Nanti, jam pulang siang, aku bakal samperin kamu lagi."
Airin mengangguk. Sepeninggalan Vennia, ia pun mempersilakan Rayhan untuk duduk di kursi tamu, lalu setelahnya ikut menyusul.
"Tumben kamu ke sini. Dalam rangka apa?"
Rayhan mengulas senyum. Dalam posisi santai dan nyaman, pria keturunan Arab tersebut memulai perbincangan.
"Tadi, emang ada urusan sekaligus makan siang bareng sama Ashraf. Karena dia harus buru-buru ke ruang operasi, ya aku sekalian aja singgah dulu ke sini. Kak Airin gimana kabarnya? Sehat-sehat aja, kan?"
Airin mengangguk. Kalau diperhatikan dengan seksama, kondisinya saat ini memang jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
"Sejauh ini baik."
"Syukurlah, Kak. Terus, gimana Kak Athar? Aman?" tanya Rayhan sambil mengulum senyum. Ada arti yang dalam dari senyuman yang ia sunggingkan saat ini.
Tahu bagaimana kelakuan kakak sepupu iparnya tersebut, sempat membuat Rayhan khawatir. Terlebih setelah perselingkuhan yang terjadi, Airin masih saja mau memberi maaf dan juga kesempatan kedua.
"Athar? Sejauh ini aman, sih."
"Nggak ada kelakuannya yang perlu diantisipasi, kan?"
Airin menggeleng.
"Dari dulu, kelakuannya emang baik, Ray. Jadi, mau dulu atau sekarang, ya perlakuan Athar nggak ada yang berubah. Tapi, kakak yakin aja saat ini dia udah nggak macam-macam seperti sebelumnya."
"Syukurlah kalau begitu, Kak. Aku harap nggak ada lagi drama setelah ini. Lagi pula, kalau aku jadi Kak Athar, mana mungkin sia-siakan kesempatan yang udah Kak Airin kasih. Bayangkan aja, udah di khianati segitunya, tapi masih dimaafkan terus dikasih kesempatan."
Airin berdecak, lalu tersenyum. Dari wajahnya, menyiratkan sesuatu.
"Nggak mudah ambil keputusan seperti itu, Ray. Asal kamu tau, kakak berusaha bertahan karena nggak mau adanya perceraian. Kalau ikutin kata hati, ngapain juga mempertahankan rumah tangga yang nyata-nyatanya sudah cacat."
"Terus, atas dasar apa kak Airin bertahan? Maaf, Kak, kalau aku lancang. Kak Airin itu mandiri. Terlebih, apa yang kak Athar punya pun sebagian besar pemberian Abi. Kalau mau, bisa aja kakak ambil semuanya tanpa sisa."
Airin mengangguk. Kalau mengikuti nafsu jahat. Atau barangkali ingin membalas dendam, bukan perkara sulit juga bagi Airin untuk melakukannya. Toh, benar kata Rayhan, apa yang Athar miliki saat ini ada andil besar dari sang ayah.
"Kakak nggak mau aja buat Abi dan Amma sedih, Ray. Kakak nggak mau lihat mereka kecewa lihat putrinya gagal membina rumah tangga. Lagi pula, kalau cerai, ke enakan Nonie, dong. Itu sama artinya dia yang menang karena berhasil menghancurkan rumah tangga yang sudah kakak bangun susah payah."
Rayhan tanpa sadar tertawa. Bukan maksud menertawakan penjelasan Airin yang memang masuk akal. Tapi, lebih ke perasaan lucu melihat ekspresi Airin saat menyebutkan nama Nonie.
Ternyata, sosok Airin yang penyabar dan bahkan saat ini sudah berdamai dengan keadaan, tetap saja gemas ketika menyebutkan atau menceritakan sosok wanita yang sudah mengganggu rumah tangganya.
"Tulus dari hati yang paling dalam, aku doakan rumah tangga kak Airin kali ini bakal lebih baik dari pada sebelumnya. Semoga nggak ada lagi kerikil tajam yang mengganggu. Kalau pun di kemudian hari ada masalah dan Kak Airin butuh bantuan, nggak usah sungkan buat minta pertolongan, Kak. Aku bakal selalu siap membantu."
***
"Sayang, pulang nanti aku jemput ke rumah sakit, ya?"
"Nggak usah, Mas. Kan aku bawa mobil sendiri," sahut Airin di seberang sana.
"Atau gimana kalau nanti malam kita pergi dinner bareng? Kan udah lama kita nggak keluar buat makan malam romantis berdua."
"Maaf, Mas. Malam ini nggak bisa. Ada pasien yang baru aja melahirkan. Terus, bayinya dalam kondisi kritis dan butuh pengawasan. Jadi, aku dan dokter spesialis kandungan harus standby. Sepertinya malam ini aku pulang agak terlambat. Lain kali aja, ya."
"Ya sudah kalau gitu. Yang penting pulangnya hati-hati. Kabarin aja kalau udah selesai. Aku bakal tungguin di rumah."
Selesai mengakhiri panggilan telponnya dengan sang istri, Athar nampak menarik napas panjang berulang kali. Ada rasa sesak tiba-tiba menghimpit rongga dadanya kala menyikapi perilaku dingin yang Airin tunjukkan.
Setelah kepergok membawa wanita lain naik ke atas tempat tidur mereka, sikap Airin berubah drastis. Walau memberi maaf dan juga kesematan kedua, istrinya itu seolah enggan untuk didekati apalagi disentuh.
Athar paham, mungkin Airin terlalu sakit hati. Atau mungkin juga sudah terlanjur jijik dengan pengkhianatan yang telah ia lakukan.
Sudah banyak usaha yang Athar lakukan untuk meluluhkan hati Airin. Namun, nampaknya sia-sia. Airin seolah memberi jarak. Bahkan, boleh dikata sikapnya kalau diperhatikan menjadi amat sangat dingin. Jauh berbeda seperti sebelumnya yang begitu hangat dan periang.Padahal, sudah sebulan lewat juga skandal rumah tangga mereka berlalu.
Sekali lagi, Athar mencoba untuk memahami kondisi ini. Salahnya juga sudah meninggalkan rasa trauma yang mendalam pada diri Airin atas apa yang sudah ia perbuat.
Kalau diingat-ingat kembali, awalnya Athar sama sekali tidak berniat untuk selingkuh. Sama sekali tidak. Lagi pula, Airin adalah sosok yang mendekati sempurna. Karirnya yang bagus, hidup sudah sangat mapan. Cantik. Mandiri. Berakhlak bagus. Terlahir dari keluarga kaya raya. Dan yang pasti, mau menerima Athar apa adanya.
Rumah tangga yang mereka bina bahkan awalnya sangat harmonis. Hampir tidak ada celah. Bahkan, sampai dijuluki para sahabat, keluarga, dan sanak saudara sebagai pasangan serasi.
Namun, semua pandangan itu berubah kala Athar mengenal sosok Nonie. Beberapa bulan yang lalu, Airin datang ke kantornya dengan membawa seorang perempuan cantik yang ia kenalkan bernama Nonie dan berstatus sebagai adik sepupu.
Karena kebetulan sekretaris lama Athar mengajukan resign atas alasan pribadi, maka Nonie lah yang menggantikan dan menempati posisi tersebut.
"Nama saya Aisya Nonie Farasya, Pak. Boleh panggil Aisya. Tapi, panggilan akrab saya Nonie. Karena saya masih baru, jadi mohon bimbingannya."
Sungguh, di awal-awal perkenalan dan pada saat hari-hari menjalani peran sebagai atasan dan bawahan, tidak sedikit pun dalam benak Athar tergoda apalagi kepikiran untuk berbuat macam-macam.
Sampai pada akhirnya, ada satu momen di mana Nonie memuji pencapaian dan hasil kerja yang Athar lakukan terhadap perusahaan. Membuat ego Athar tersentil. Sebagai pria, ia merasa sangat dihargai dan juga diapresiasi.
Pun Nonie sendiri secara terang-terangan berani menunjukkan ketertarikannya pada Athar. Sering pula bersikap manja dan membuat Athar merasa sangat diperlukan. Jauh berbeda dengan sikap Airin yang begitu mandiri dan terkesan mampu menyelesaikan semua permasalahan tanpa sedikit pun meminta bantuan Athar.
"Dari 10 orang pimpinan, Mas Athar termasuk yang paling keren," ungkap Nonie memuji. "Bayangkan aja, tender sebesar itu bisa Mas Athar dapatkan dengan mudah. Mana saingannya senior semua. Nonie jadi kagum banget sama pencapaian yang sudah Mas Athar dapat."
"Nggak usah berlebihan, Non. Saya rasa, apa yang saya dapat hal yang biasa."
"Kata siapa?" tanya Nonie membantah. "Serius Mas Athar keren banget. Sayang sih udah punya istri. Kalau nggak, udah dari awal masuk kerja bakal saya pacarin."
Dan dari sana lah, keduanya mulai akrab. Berawal dari seringnya makan siang bersama. Pergi melakukan pertemuan bisnis berdua. Lalu berlanjut pada hal-hal yang tidak terduga.
Pertemuan demi pertemuan terus berlanjut. Dari yang awalnya hanya makan siang atau sekedar mengantarkan Nonie pulang kerja, berlanjut pada ciuman pertama. Dari sana, Athar berpikir tidak apa sepertinya kalau ia sedikit bersenang-senang asalkan Airin tidak tahu.
"Nggak usah khawatir, Mas. Kak Airin atau orang lain sekali pun nggak bakal ada yang tau hubungan kita. Toh di luar sana, kita berdua bisa jaga sikap. Kalau lagi berdua-duan aja, baru deh saling mesra."
"Tapi, Non. Kamu nggak masalah berhubungan sama aku yang udah punya istri?"
"Nggak masalah, Mas. Namanya juga udah terlanjur sayang. Lagi pula, Mas juga sayang sama aku, kan?"
"Tentu. Kalau nggak sayang banget, ngapain aku bela-belain jalin hubungan beresiko begini sama kamu."
"Kalau gitu. Kita teruskan aja hubungan ini. Toh, sama sama suka dan nggak merugikan siapa-siapa juga. Lagi pula, aku nggak masalah jalin hubungan diam-diam begini. Yang penting saat jam kerja Mas Athar jadi milik aku sepenuhnya."
Pikir Athar selagi kewajibannya sebagai suami tetap ia lakukan, san hak Airin sebagai istri tetap Athar berikan. Tidak masalah dirinya berselingkuh. Toh, ia juga masih memberi nafkah penuh. Pulang kerja masih dalam tahap wajar. Masih sering b******u mesra dengan Airin. Dan yang terpenting masih memberikan kasih sayang serta perhatiannya kepada Airin.
Lagi pula, Nonie sangat cantik. Makin ke sini, Athar bahkan berani membandingkan Nonie yang jauh lebih seksi dari pada Airin. Terlebih, Athar juga suka dengan sikap sekretarisnya itu yang begitu manja.
Puncaknya, saat melakukan perjalanan dinas keluar kota, yang mana Airin tidak tahu kalau Nonie juga ikut serta, Athar memutuskan untuk tidur sekamar dengan Nonie. Melakukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka berdua lakukan. Bukannya berhenti, menyesali perbuatannya, Athar malah ketagihan.
Gayung bersambut, Nonie pun meyakinkan Athar bahwa dirinya tidak sedikit pun masalah menjadi kekasih bayangan atau hanya menjadi peneman yang mampu memuaskan Athar. Karena sedari awal menjalin hubungan, yang dicari hanya kesenangan semata. Tanpa Athar sadari, dirinya baru saja menandatangani surat kehancuran dalam rumah tangga dan juga hidupnya.
Sekarang? Apa dirinya menyesal atas apa yang sudah terjadi? Tentu saja. Apalagi tidak mudah meyakinkan serta mengembalikan kepercayaan Airin yang sudah ia ciderai.
Terus saja bergulat batin sambil memikirkan bagaimana lagi cara untuk meluluhkan serta menakhlukkan hati Airin yang membeku, konsentrasi Athar terganggu. Ketukan pintu yang terdengar nyaring, langsung membuyarkan lamunannya.
"Iya, Vivi. Masuk aja."
Athar pikir, Vivi sekretaris barunya yang datang dan ingin menghadap. Namun saat mendongak dan melempar tatapan, malah sosok lain yang ia temui.
"Mas Athar, aku kangen kamu!"
"Nonie?"