Bab 10

1802 Kata
Riana duduk di meja belajarnya sibuk menonton video pembahasan materi yang diberikan dosen di laptopnya. Begitu video yang terputar tersebut selesai Riana segera merenggangkan badannya yang terasa kaku setelah duduk selama hampir dua jam lamanya. Riana melepaskan headset tali yang terpasang di kedua telinganya sambil melirik jam yang ada di layar ponselnya. Tidak terasa ternyata sekarang sudah pukul delapan malam, tandanya ia sudah berdiam diri di kamar selama lima jam lebih tanpa keluar sama sekali. Riana berusaha mendengar apakah ada suara dari luar atau tidak. Ia cukup yakin sama sekali tidak ada suara di luar yang menandakan tidak ada orang di area ruang tengah dan dapur. Ia berjalan perlahan mendekati pintu dan menempelkan telinganya ke daun pintu berusaha memastikan lagi apakah ada orang atau tidak di luar. "Apa nunggu jam sepuluh aja ya baru aku keluar?" gumam Riana. Ia kembali menjauh dari pintu dan berjalan menuju meja belajarnya kembali. "Lanjut belajar aja dulu. Toh juga belum terlalu lapar kok," ujar Riana pada dirinya sendiri. Ia kemudian kembali membuka buku yang ada di hadapannya dan menganalisa soal-soal dan materi yang ada pada buku yang dibacanya sekaligus dicocokkan dengan pembahasan materi dari video yang ia tonton tadi. Dua jam telah berlalu. Kali ini Riana sudah tidak bisa memaksakan dirinya lagi untuk belajar karena dalam perutnya sudah terdengar bunyi yang menandakan ia mulai merasa lapar. Riana menutup buku di hadapannya dan merapikan meja belajarnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia yakin sekarang pasti Rangga sudah masuk ke dalam kamarnya. Riana segera berjalan menuju pintu. Dengan yakin Riana membuka pintu kamarnya sambil tersenyum senang memikirkan akan memasak mie instan rebus dengan telur ceplok. Senyum Riana langsung luntur begitu pintu kamarnya terbuka sempurna. Rangga ternyata masih duduk di sofa ruang tengah sambil membuka laptopnya. Saat ini pria itu sedang menatap ke arah Riana. Merasa kesal dan belum mau bertemu dengan pria itu. Riana kembali menutup pintu kamarnya. Ia bersandar di belakang pintu sambil menunduk melihat perutnya. Riana mengusap perutnya dengan wajah sedih. "Kayanya malam ini kamu nggak bisa makan dulu," ujar Riana pada perutnya. "Makan pagi buta aja besok," lanjutnya. Riana memutuskan untuk tidak makan malam ini karena sepertinya Rangga akan cukup lama berada di luar. Ia memutuskan untuk langsung tidur saja, siapa tahu dengan tidur rasa laparnya akan hilang nanti. Gadis itu sudah akan berjalan menuju ranjang, namun langkahnya terhenti begitu dia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Riana memutuskan untuk mengabaikan ketukan itu. Namun ketukan terus saja terdengar. "Riana. Apa kamu masih marah?" Tanya Rangga dari balik pintu kamarnya. Riana mundur beberapa langkah agar tubuhnya kembali mendekati pintu kamarnya untuk mendengar lebih jelas suara Rangga. "Aku minta maaf, aku akui yang kulakukan tadi siang cukup keterlaluan dan tidak memikirkan situasi yang akan kamu hadapi," ucap Rangga. Riana tetap terdiam, membiarkan Rangga terus melanjutkan perkataannya. "Aku minta maaf karena aku nggak bisa merubah apa yang sudah aku lakukan. Yang bisa aku lakukan cuma berjanji akan melindungi kamu selama kuliah dan memastikan kamu tetap akan berkuliah dengan aman tanpa gangguan apapun." Riana rasa mendiamkan Rangga memang tidak ada gunanya. Setidaknya pria itu sudah meminta maaf, seharusnya tidak apa jika memaafkannya. Toh juga walau Riana marah tidak akan ada yang bisa diubah. Riana akhirnya membuka pintu kamarnya dan menemukan Rangga yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. "Udahlah aku mau marah juga percuma, udah terlanjur kan," ujar Riana. Rangga tersenyum pada Riana. Jujur Riana sedikit terpukau melihat senyuman Rangga yang begitu manis menurutnya. Selama dua Minggu mengenal Rangga, ini adalah pertama kalinya Riana melihat senyum tulus di wajah Rangga. Riana benar-benar merasa bodoh karena jantungnya ini malah berdegup kencang. "Aku belikan kamu makan malam sebagai permintaan maaf," ujar Rangga sambil menunjuk ke arah meja makan. Riana berjalan mengikuti Rangga menuju meja makan. Disana ada beberapa bungkus makanan Indonesia yang sudah lama tidak Riana makan. Ada soto ayam, ayam geprek, martabak telur dan tempe goreng. "Makanan sebanyak ini aku nggak bisa ngabisin sendiri," ujar Riana. "Sebenarnya aku juga belum makan," balas Rangga. Riana menatap terkejut mendengar perkataan Rangga. Apa jangan-jangan pria itu sedari tadi menunggu dirinya? "Biar aku panasin dulu semuanya," ucap Riana sambil membawa bungkusan makanan-makanan tersebut ke dapur. "Mau aku bantu?" Tanya Rangga. Riana menggeleng. "Kamu tunggu aja di meja makan." Rangga mengangguk menuruti perkataan Riana. Ia memilih duduk di meja makan memperhatikan Riana yang sibuk memanaskan makanan-makanan yang ia beli tadi. ponsel Riana yang ia letakkan di meja makan tadi tiba-tiba berdering. Rangga sempat melihat bahwa yang menelpon adalah Ibunya. "Ibu kamu menelpon," ujar Rangga memberitahukan. Riana segera berjalan menuju meja makan dan mengambil ponselnya. "Aku terima telpon dulu ya," pamit Riana. Gadis itu segera berjalan menuju kamarnya untuk menerima telpon dari Ibunya. "Halo Bu," jawab Riana begitu sudah menekan tombol terima dan menempelkan ponselnya di telinga. "Halo nak, maaf ibu ganggu malam-malam." "Nggak pa pa Bu. Ada apa Ibu nelpon Nana?" Tanya Riana "Gini nak, ibu sebenarnya nggak mau ngerepotin kamu. Tapi kira-kira ibu bisa nggak minjem uang beasiswa kamu nanti. Penjualan di warung Ibu kemarin rugi jadi nggak bisa bayar utang buat bulan depan. Ibu janji bulan depan langsung Ibu ganti nak." Riana memejamkan matanya sambil menarik nafasnya pelan. "Ibu jujur aja, pasti uang penjualan bulan ini di ambil dia lagi kan." Dia yang dimaksud Riana adalah Ayahnya. Pria yang hanya tahu berjudi dan mabuk-mabukan tidak jelas. Ibunya terdiam tidak menjawab pertanyaan Riana. Membuat dirinya semakin yakin dengan dugaannya ini. "Ya udah Bu. Ibu pake aja dulu uang beasiswa aku bulan depan nanti. Kalau udah keterima langsung kukirim ke Ibu ya," ujar Riana. "Maaf ya Nana harus ngerepotin kamu. Ibu janji nanti kalau dapat uang lagi bakal Ibu ganti." Riana menggeleng, namun kemudian menyadari bahwa Ibunya tidak bisa melihatnya. "Nggak usah Bu, ibu pake aja uangku. Aku masih ada sisa tabungan kok," bohong Riana agar Ibunya tidak khawatir. "Bener nggak pa pa?" Tanya Ibunya dengan nada ragu. "Nggak pa pa Bu beneran," ujar Riana berusaha meyakinkan Ibunya. "Udah dulu ya Bu, aku masih ada urusan. Nanti baru telponan lagi." "Ya udah kalau gitu. Ibu tutup ya nak. Selamat malam." "Malam Bu." Riana menutup sambungan telpon dengan Ibunya sambil menghembuskan nafas pasrah. Bulan depan dia benar-benar harus menghemat karena tidak akan menerima uang beasiswa sama sekali. Syukurnya kemarin dia membeli cukup banyak mie instan, sepertinya ia bisa bertahan dulu dengan memakan itu. Riana meletakkan ponselnya di meja belajar lalu berjalan keluar dari kamarnya. Sampai di meja makan terlihat semua makanan sudah selesai dihangatkan oleh Rangga dan di tata pria itu di meja makan. "Kok malah jadi kamu sih yang nyiapin semuanya," ujar Riana. "Nggak pa pa. Ayo makan." Rangga sudah duduk di salah satu kursi di meja makan dan memberi kode pada Riana untuk segera duduk. Riana kemudian duduk berhadapan dengan Rangga dan mulai mengikuti pria itu yang sudah menyendokkan nasi ke piringnya siap menikmati makanan yang ada di atas meja. Keduanya memakan makanan di atas meja dengan tenang. Hanya ada suara dentingan sendok yang bertubrukan dengan piring selama mereka makan. "Besok kamu ngapain?" Tanya Rangga memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Riana terdiam sambil memikirkan apa besok ada hal yang akan ia lakukan. Besok adalah hari Minggu dan merupakan hari libur tapi mengingat bahwa ia tidak memiliki uang sepertinya dia akan diam di apartemen saja. "Aku nggak kemana-mana besok," jawab Riana. "Besok aku ada keperluan di Universal studio. Kamu mau ikut?" Tanya Rangga. Riana terdiam memikirkan ajakan Rangga. Ia sebenarnya mau ikut, tapi pergi ke sana tentu memerlukan uang transportasi. "Aku besok bawa mobil ke sana. Barang bawaanku cukup banyak, jadi sebenarnya aku ngajak kamu buat bantuin pegangin beberapa barang bawaanku," ujar Rangga. Riana akhirnya mengangguk karena kekhawatirannya sudah terjawab oleh Rangga. Tidak apa jika harus membantu pria itu mengangkat barang, yang penting dirinya tidak merasa suntuk hanya berdiam diri di apartemen. Rangga tersenyum senang melihat Riana menyetujui ajakannya besok. Keduanya kembali menikmati makanan yang ada di hadapan mereka, membuat ketenangan dan kesunyian kembali masuk diantara mereka. Setelah lima belas menit semua makanan sudah habis mereka santap. Riana segera berdiri dan membereskan piring di atas meja. "Biar aku yang cuci piring," ujar Riana. Rangga mengangguk membiarkan Riana membawa piring-piring dia atas meja menuju wastafel cuci piring. Melihat sudah tidak ada yang bisa ia bantu, Rangga memutuskan kembali ke ruang tengah. Ia duduk di sofa dan membuka laptopnya untuk lanjut mengerjakan skripsinya. Saat Rangga sedang sibuk dengan laptopnya listrik di apartemen tiba-tiba padam sehingga suasana apartemen gelap gulita. Ia begitu kaget begitu mendengar suara pecahan beling dan teriakan Riana dari arah dapur. "Riana," panggil Rangga panik. Sampai di area dapur Rangga melihat Riana berdiri tegang di depan wastafel sambil menunduk. Rangga berjalan perlahan mendekati Riana dan menyentuh bahunya. Merasakan sentuhan di bahunya, Riana segera berbalik dan secara tiba-tiba ia memeluk erat tubuh Rangga. Rangga tentu saja terkejut karena pelukan Riana yang tiba-tiba ini, namun ia kemudian menyadari bahwa tubuh gadis ini bergetar hebat sekarang. "Riana," bisik Rangga pelan. Riana semakin erat memeluk tubuh Rangga, tubuhnya bahkan bergetar lebih kencang dibanding sebelumnya. Rangga berusaha melonggarkan sedikit pelukan gadis itu untuk memperhatikan wajahnya. Tangan Rangga naik menyentuh pipi Riana dan menyadari keringat dingin mengalir di dahi dan wajah gadis itu. "Kamu baik-baik aja?" Tanya Rangga dengan nada lembut. Riana menggeleng kencang, wajahnya seperti hampir menangis. "Plissss nyalain lampunya," pinta Riana dengan suara bergetar penuh ketakutan. "aku minta maaf sebelumnya." Setelah mengucapkan maaf Rangga segera menggendong tubuh Riana yang saat ini memeluknya. Ia membawa tubuh gadis itu ke ruang tengah dan mendudukkannya perlahan di sofa mendekati cahaya laptopnya. "Udah nggak terlalu gelap, ada cahaya dari laptopku," bisik Rangga pada Riana yang masih memeluknya erat. Riana sedikit melonggarkan pelukannya dari Rangga sambil menatap cahaya di laptop tersebut. Gadis itu sedikit lebih tenang dibanding tadi, namun tubuhnya masih bergetar hebat dan raut wajahnya masih begitu ketakutan. Rangga meraih ponselnya yang berada di atas meja untuk menelpon petugas apartemen. Ia menanyakan alasan lampu apartemen padam, yang ternyata karena sedang terjadi korslet dan saat ini sedang diperbaiki oleh petugas. Begitu selesai menelpon Rangga meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Sebentar lagi lampu akan kembali nyala," ujar Rangga berusaha menenangkan Riana yang masih tetap terlihat ketakutan. Lampu apartemen akhirnya kembali menyala. Membuat Rangga dan Riana bernafas lega. Begitu merasa dirinya sudah baik-baik saja dan bisa bernafas dengan lega Riana segera melepaskan pelukannya dari Rangga dan langsung berdiri. "Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak bermaksud buat meluk kamu sembarangan," ucap Riana merasa tidak enak pada Rangga. "Santai aja. Aku rasa kamu sepertinya nggak baik-baik aja tadi. Apa kamu takut kegelapan?" Tanya Rangga hati-hati. Riana mengangguk. "Aku emang nggak suka kegelapan dari kecil." "Jadi kalau kamu tidur lampu kamar tetap menyala?" Tanya Rangga penasaran. Riana menggeleng. "Aku biasanya matiin lampu utama dan nyalain lampu tidur. Aku cuma nggak suka keadaan gelap gulita," jelas Riana. Ia kemudian menatap ke area dapur. "Aku selesaiin cucian dulu," ujar Riana yang kemudian berjalan kembali menuju dapur untuk melanjutkan kegiatan mencuci piring yang sempat terpotong karena pemadaman listrik tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN