Ya, kami -- lebih tepatnya aku, tentu karena Haidar masih kecil, belum bisa membuat keputusan sendiri -- memutuskan untuk tinggal di Kediri, tidak ikut dengan ayah, ibu dan juga Tahta ke Bandung. Kami hidup mandiri di sini di dalam rumah dinas warisan Mas Hasbi yang sudah berganti menjadi sertifikasi hak milik.
Namun bukan berarti kami terpisah sama sekali dengan keluarga kami. Ayah dan Ibu memang jarang main ke sini, karena usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Tapi mereka kerap melakukan video call, sekadar melepas rindu.
Sementara yang sering main ke sini adalah Tahta. Oleh karena itu, Tahta sangat akrab dengan Haidar. Saat - saat kedatangan Tahta pun dihafalkan oleh Haidar. Saat - saat Tahta ada di sini adalah saat - saat yang paling ditunggu oleh Haidar.
Saking akrabnya hubungan Tahta dan Haidar sudah seperti sepasang Ayah dan Anak sungguhan. Banyak tetangga baru yang tidak tahu bahwa aku janda, menganggap bahwa Tahta memang ayah Haidar yang kerja merantau jauh, sehingga jarang pulang.
Terlebih Haidar memanggil Tahta dengan sebutan Ayah.
Sungguh, tidak ada yang mengajari Haidar memanggil Tahta dengan sebutan Ayah.
"Dek ... kamu minta Haidar buat panggil kamu Ayah?" Itu yang kutanyakan ketika mengetahui Haidar pertama kali memanggil Tahta dengan sebutan Ayah.
Tahta pun sama terkejutnya dengan aku kala itu. Ia segera menggeleng. "Demi Allah aku nggak pernah ngajarin Tahta buat manggil aku kayak gitu, Teh."
"Nggak apa - apa lho, Dek. Santai aja. Biar bagaimana pun kamu selama ini memang banyak menggantikan figur seorang ayah bagi Haidar. Nggak apa - apa, aku nggak bakal marah."
"Tapi masalahnya aku memang nggak ngajarin Haidar, Teh. Beneran demi Allah. Malah aku pikir tadi Teteh yang ngajarin, soalnya Teteh udah setuju buat nikah sama aku. Aku juga kaget banget tadi."
Aku pun terdiam. Merasa bersalah dengan Tahta, tapi juga masih keheranan karena putraku yang saat itu masih berusia 1 tahun, tapi sudah memiliki inisiatif sendiri untuk memanggil Tahta dengan sebutan Ayah, tanpa ada yang mengajari.
"Sayang, kenapa kamu panggil Om Tahta dengan sebutan ayah, hm?" Aku langsung bertanya pada Haidar kala itu. Meski aku tak berharap banyak tentang adanya jawaban yang memuaskan. Mengingat Haidar masih sangat kecil.
Seakan - akan mengerti dengan apa yang aku tanyakan, Haidar tersenyum mendengar pertanyaan yang aku lontarkan. Ia tersenyum malu - malu seakan tahu apa yang ia lakukan sudah membuat kami begitu terkejut.
"Ayah ...." Ia malah mengulangi memanggil Tahta dengan sebutan Ayah lagi. Ia juga menunjuk - nunjuk Tahta. Seakan ingin mempertegas bahwa yang ia panggil memang Tahta.
Aku dan Tahta benar - benar tidak habis pikir.
"Apa jangan - jangan Ayah atau Ibu yang ngajarin, Teh," celetuk Tahta.
"Wah, bisa jadi. Soalnya biasanya pas video call sering aku tinggal juga, aku sambi ngapa - ngapain."
"Tapi Haidar masih 1 tahun juga, Teh. Ya kali udah paham diajarin kayak begitu lewat video call."
"Iya juga sih, Teteh juga bingung."
Sejak saat itu Haidar terus memanggil Ayah ketika melihat Tahta. Binar - binar kebahagiaan di mata Haidar membuat aku sadar. Bahwa ... mungkin saja Haidar memanggil Tahta dengan sebutan Ayah, memang tidak ada yang mengajari.
Tapi ia melihat para anak tetangga dengan anggota keluarga utuh. Ada ibu, ayah, dan anak. Sementara keluarga kami sudah tidak utuh. Tentu karena Mas Hasbi sudah berpulang terlebih dahulu.
Sementara sosok laki - laki yang sering mengunjungi kami adalah Tahta. Haidar menyimpulkan sendiri bahwa yang datang itu adalah sosok ayah baginya.
Namun aku tidak pernah membicarakan hal itu dengan Tahta. Tahta pun sepertinya tidak mau membahas hal itu. Ia hanya menerima saja dipanggil Haidar seperti itu.
Hingga sudah dua tahun berlalu sejak saat itu. Sekarang.
Aku merasa hal ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Semakin banyak orang yang salah paham. Menganggap aku sudah menikah lagi. Menganggap Tahta adalah suamiku.
Belum lagi jika akan timbul fitnah karena masalah ini.
Sering aku merasa harus bicara serius dengan Tahta secepatnya. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya memulai. Aku benar - benar bingung.
Jujur aku sering berharap Tahta yang akan memulai. Tapi Tahta pun sepertinya sudah ... bosan mungkin untuk memulai. Karena khawatir jawabanku akan tetap sama.
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Aku menyiapkan makanan beku yang aku buat sendiri sendiri setelah Haidar tidur di malam hari. Makanan beku ini selalu aku buat tiap kali Tahta ke mari. Sebagian akan aku sisakan untuk persediaan jika sedang malas masak. Sebagian akan aku bawakan pada Tahta untuk dibawa pulang ke Bandung.
Ketika aku sibuk di dapur, Tahta biasanya menemani Haidar di kamar dengan memeriksa daftar pekerjaannya yang segunung.
Aku terkejut malam ini, karena Tahta tiba - tiba menghampiri aku masuk ke dapur.
"Teteh ngapain lagi, hm? Nggak capek apa seharian kerja terus?" Ia langsung nyerocos bertanya ketika masuk. Kemudian ia melihat adonan makanan beku yang sedang aku blender.
"Astaga ... Teh Dara ... dibilang udah nggak usah repot kalo aku Dateng. Kenapa selalu repot, sih? Aku Dateng cuman karena rindu, pengin main sama Haidar."
Entah kenapa aku merasa agak keberatan ketika Tahta bilang ia datang karena rindu ingin main dengan Haidar saja.
"Nggak repot dek. Hitung - hitung ini sebagai balasan atas kebaikan kamu selama ini, udah bantuin banyak biaya hidup kami yang tidak bisa aku lakukan sendiri hanya dari jualan kebab."
"Astaga teh Dara. Kayak sama siapa aja. Kan aku pamannya Haidar. Haidar udah jadi tanggung jawab aku juga."
"Udah deh, Dek ... terima aja oke. Dalam agama kita, membalas kebaikan itu kan hukumnya Sunnah. Setidaknya kamu hargai lah usaha aku buat membalas kebaikan kamu."
"Iya deh teh, iya. Tapi aku bantuin ya teh. Biar Teteh nggak kecapekan."
"Emang kamu bisa?"
"Ya bisa lah."
"Oke deh kalo gitu kamu yang nyetak baksonya ya. Terus masukin ke air kalau udah mendidih."
"Pake tangan teh?"
"Terserah kamu, Dek. Mau pake sendok juga boleh."
"Oke-oke."
"Aku mau bikin kulit siomay dulu."
Hening ketika aku dan Tahta sama - sama sibuk degan urusan kami masing - masing. Kemudian suara Tahta kembali memecah suasana.
"Teh, tadi aku belum selesai ngomong lho."
"Belum selesai ngomong? Yang mana omongan kamu yang belum selesai."
"Yang waktu aku bilang, kalau ke sini karena rindu mau main sama Haidar."
Aku pun terdiam. Seakan aku kehilangan kata - kata. Apa Tahta bisa membaca pikiranku?
"Aku sering ke sini bukan hanya rindu pengin main sama Haidar, tapi juga rindu sama Teteh. Teteh masib inget kan, kalau aku mencintai Teteh?"
Astaga ... untung Tahta tidak melihat ke sini. Sehingga tidak melihat wajahku yang memanas, yang pasti nampak begitu merah sekarang.
"Jadi gimana, Teh? Teteh jangan pura - pura lupa. Teteh masih hutang jawaban tentang lamaran yang aku lakukan pada Teteh. Mentang - mentang udah 3 tahun, terus Teteh pikir aku udah nggak nungguin jawaban, gitu?"
Astaga ... aku benar - benar hanya diam terpaku. Entah ke mana hilangnya semua kata - kataku. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Tahta itu? Aku ... tidak tahu.
~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Masya Allah Tabarakallah.
Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.
Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.
Mereka adalah:
1. LUA Lounge [ Komplit ]
2. Behind That Face [ Komplit ]
3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]
4. The Gone Twin [ Komplit ]
5. My Sick Partner [ Komplit ]
6. Tokyo Banana [ Komplit ]
7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]
8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]
9. Asmara Samara [ Komplit ]
10. Murmuring [ On - Going ]
11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]
12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]
13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]
14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]
Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.
Cukup 1 kali aja ya pencetnya.
Terima kasih. Selamat membaca.
-- T B C --