Aku dan Mbak Hasna akhirnya sampai di rumah sakit. Mas Hasbi masih ditangani Dokter di UGD. Mas Khoirul dan beberapa teman kantor Mas Hasbi yang lain juga ada di sini. Mereka menyambut kedatanganku dengan tatapan prihatin, dan juga mengucapkan beberapa patah kata sebagai dukungan moril.
"Hasbi sejak pagi emang udah kelihatan kurang sehat, Dara," jelas Mbak Hasna akhirnya. Ia menjelaskan sepelan mungkin, takut membuatku terguncang. "Makin siang, makin parah. Dia nggak ngeluh, sih. Tapi kayaknya perutnya sakit. Kita beberapa kali bilang ke dia buat istirahat. Tapi katanya nanggung, mau selesaiin kerjaan dia dulu. Sebelum jam makan siang ternyata dia udah nggak kuat. Tiba-tiba lemes, mau jatuh. Untung dipegangin sama si Khoirul. Kita bawa dia ke klinik kantor. Kita coba ngasih dia bubur. Tapi nggak masuk, dia malah muntah-muntah. Tambah lemes deh dia, sampai hampir nggak sadar gitu. Terus langsung kita bawa ke sini."
Aku hanya bergeming, memegangi dadaku erat, berusaha menguatkan diri atas cerita Mbak Hasna. Wanita itu sudah menjelaskan dengan perlahan, namun hatiku tetap tak dapat menerima begitu saja. Siapa yang tidak takut saat mendengar kronologi menyesakkan dari seseorang yang sangat berarti?
"Iya, Mbak. Mas Hasbi memang sudah sakit sejak semalam. Aku udah ngasih tahu dia buat istirahat di rumah aja hari ini. Tapi katanya lagi akhir bulan. Kantor lagi repot. Apalagi kemarin Mas Hasbi nggak masuk lama banget sehabis operasi," jelasku pada mereka.
"Astaghfirullahaladzim, si Hasbi!" ucap Mbak Hasna. Disusul oleh ucapan serupa dari mereka semua. "Kalo emang lagi sakit, ya mau gimana lagi? Astaghfirullah!"
"Dara, nanti kalo si Hasbi batu banget kayak gitu lagi, kamu kasih tahu kita aja, ya!" Mas Khoirul kali ini. "Biar kita yang ngasih tahu dia. Kalo bandel terus, tinggal ngasih obat bius. Atau diiket paket simpul pramuka yang paling susah. Biar nggak bisa lepas!" Celotehan Mas Khoirul disambut tawa kecil dan ejekan dari rekan-rekan yang lain. Termasuk Mbak Hasna.
Aku tersenyum kecil sebagai bentuk pernghargaan atas usaha mereka menghiburku. Ya, aku berucap dalam hati. Kelak jika Mas Hasbi kembali keras kepala, aku akan memanggil mereka semua untuk mencegahnya pergi. Aku benar-benar tak ingin terjadi apa pun lagi pada suamiku. Aku ingin Mas Hasbi selalu sehat.
Aku menunggu dalam diam. Kecemasan menguasai diriku. Aku senantiasa memanjatkan doa dalam hati. Berusaha berpikir positif. Aku bersikeras tak ingin menganggap bahwa apa yang menimpa Mas Hasbi saat ini ada hubungannya dengan tumor yang waktu itu. Meski hati kecilku menganggap demikian.
~~~~~IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Mbak Hasna dan yang lain sebelumnya masih sanggup bercanda untuk menghiburku dan menghibur hati mereka sendiri agar tak terlalu khawatir. Tapi saat Dokter dan para suster akhirnya membawa Mas Hasbi keluar dari UGD, kami seketika terdiam.
Pikiran positif yang sedari tadi coba kami bangun, sirna begitu saja. Suamiku terlihat begitu pucat, terlihat begitu sakit, terlihat begitu tak berdaya. Ia terbaring lemah di atas brankar dorong, dengan mata terpejam rapat.
Kamu bersama-sama membuntut, mengikuti ke mana pun tim medis akan membawa Mas Hasbi. Pikiranku benar-benar kacau sekarang. Ditambah dengan raut wajah dokter dan para suster yang terlihat suram. Aku benar-benar takut. Amat sangat takut.
Suster lanjut membawa Mas Hasbi ke dalam salah satu kamar. Sementara Dokter berhenti di depan pintu, bersiap bicara dengan kami tentang keadaan Mas Hasbi.
Aku berdiri dalam diam, menyiapkan diri mendengar apa pun yang akan ia katakan. Ya, aku tak siap mendengar berita buruk.
"Kami perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hasilnya akan keluar beberapa hari lagi. Untuk sementara, kami menduga ini berhubungan dengan tumor yang waktu itu. Tapi semua masih belum pasti, sampai hasil pemeriksaan keluar," jelasnya.
Aku mengangguk mengerti, berusaha menahan tangisku. Mbak Hasna merangkulku, mencoba menguatkanku. Pemikirkanku dan Dokter tentang tumor ternyata sama. Aku semakin gencar mengucap doa dalam hati, supaya dugaan kami salah. Semoga saja.
"Apa Mas Hasbi sudah boleh dijenguk, Dok?" tanyaku akhirnya.
"Ya, silakan. Tapi usahakan jangan ribut! Biarkan dia istirahat!"
"Baik, Dok. Terima kasih."
Dokter yang bernama Hanan itu mempersilakan kami untuk masuk dengan gesturnya, sebelum ia berpamitan pergi. Perawat satu per satu keluar dari kamar. Kami akhirnya masuk setelah semuanya pergi.
Aku kembali tertegun menatap Mas Hasbi. Hatiku rasanya mencelos menatap rautnya yang pasi, seakan tanpa nyawa. Aku tak dapat menahan diri untuk menggenggam jemarinya, lalu terisak. Aku benar-benar tak bisa menahan diri untuk tak menangis.
Mbak Hasna kembali berusaha menguatkanku. Tadi Dokter Hanan meminta kami untuk tidak ribut. Ya, memang sudah tak ada lagi gurauan seperti yang Mas Khoirul, dkk. lakukan seperti saat masih di depan ruang UGD. Kami semuanya diam. Siapa yang akan sampai hati bicara, sementara Mas Hasbi di sini seperti ini? Tak akan ada yang sampai hati melakukannya.
Setelah aku cukup tenang, Mbak Hasna mewakili yang lain undur diri. "Dara, kami masih pengin di sini. Tapi kantor belum beres. Nanti kalau udah beres, kami gantian ke sini, nemenin kamu jaga Hasbi."
"Iya, Mbak. Terima kasih semuanya. Maaf sudah banyak merepotkan."
"Nggak, Dara. Yaudah. Kami pamit. Semoga Hasbi cepat pulih. Assalamulaikum!"
"Aamiin, Ya Allah. Waalaikumsalam!"
~~~~~IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Aku meletakkan bubur ransum--yang masih sisa banyak--di atas nakas. Mas Hasbi masih saja seperti ini setelah beberapa hari. Hanya dua sampai tiga sendok berhasil ia telan. Selebihnya ia akan muntah jika dipaksa terus.
Kata Dokter Hanan, tak apa makan sedikit-sedikit asal sering. Asal lambungnya sudah terisi sesuatu, tidak kosong, yang akan membuat perutnya semakin sakit.
Aku menyeka keringat di dahi dan pelipis Mas Hasbi. Bahkan ia hanya makan bubur, tapi keringatnya keluar banyak, seakan ia habis lari maraton. Ia diam bukan berarti tak merasakan apa pun. Ia diam karena fokus menahan sakit. Perutnya selalu sakit tiap kali habis makan. Tapi akan lebih sakit juga tak makan.
"Sayang," gumamnya.
"Hm?"
"Maaf," lirihnya.
"Untuk?"
Ia tak menjawab pertanyaanku. hanya menatapku dalam diam, dengan mata berkaca-kaca. Sebelum akhirnya bulir itu menetes dari sudut matanya, menuruni pelipisnya. Ia seakan tak sanggup mengucapkan apa yang membuatnya minta maaf. Aku seakan telah mengerti apa yang membuatnya menangis seperti ini. Ia menyesal karena kembali sakit. Menyesal karena membuatku kembali harus merawatnya selama 24/7.
Aku bisa merasakan hatinya saat ini. Penyakit overdosis pemikiran postifnya sampai tak berfungsi, lantaran ia senantiasa merasakan sakit. Sakit fisik, dan juga lelah.
"Nggak apa-apa, Mas. Sst ... Mas bakal segera sembuh. Yang penting habis ini Mas nggak boleh keras kepala lagi. Kalo tubuh udah ngode minta diistirahatkan, ya buruan istirahat!" godaku.
Berhasil menciptakan lengkungan kecil di bibirnya. "Tapi gimana kalau ...."
"Ah, infusnya udah mau habis," gumamku. Sebenarnya aku sengaja menghentikan kata-katanya. Aku tak mau mendengar tentang tumor atau apa pun lagi itu.
Sampai sekarang aku bahkan belum memberi tahu Ayah dan Ibu tentang sakitnya Mas Hasbi. Aku berusaha menganggap suamiku itu hanya sakit biasa, dan sebentar lagi akan sembuh. Tak perlu laporan pada orangtua, apalagi mereka jauh. Aku ingin senantiasa berpikir positif sampai hasil pemeriksaan benar-benar keluar.
Mas Hasbi diam, tak lagi meneruskan bicara, seakan tahu aku memang menghindari pembicaraan ini. Aku beranjak keluar untuk memberi tahu suster bahwa infus sudah akan habis, sekalian mencari angin segar. Tak ingin kembali menangis hanya karena takut tumor itu kembali.
~~~~~IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
--tbc--