Lima

1346 Kata
Yoga mematung begitu pintu kamar Aya terbuka. Dia meneguk salivanya berkali-kali saat melihat penampilan Aya yang sedang tengkurap di atas kasur dengan sebuah laptop yang berada di hadapannya. She looks... sexy? Otak Yoga jadi travelling ke mana-mana. Padahal tadi yang ada di kepalanya saat membuka pintu kamar Aya adalah perempuan itu yang memakai piyama doraemon layaknya bocah. Namun, yang dilihatnya sekarang malah Aya yang memakai setelah baju kaos dan celana pendek berwarna biru di atas paha dengan motif serupa. Dari arah pintu juga terlihat kaki jenjang Aya hingga sebagian paha perempuan itu yang terekspos, ditambah lagi bagian pinggangnya karena baju kaos yang dikenakan perempuan itu kependekan. Damn! Aya benar-benar tampak hot di mata Yoga sehingga mata lelaki itu sampai tak berkedip melihatnya. Dia Aya, Ga! Seksi dari mana, sih? Di saat sadar akan pikiran kotornya, Yoga berdehem membuat Aya menoleh seketika. Aya terkejut akan kemunculan Yoga di pintu kamarnya. Dia pikir, mamanya lah yang membuka pintu kamarnya untuk mengantar makan siang untuknya. Ternyata Yoga, sahabat sekaligus orang yang sering mencari ribut dengannya. "Elo?" Aya melotot. "Ngapain lo ke sini?" Aya merubah posisinya menjadi duduk dengan kaki bersila. "Mau nganterin makan, disuruh nyokap lo," sahut Yoga berusaha tampak santai. "Maksud gue, ngapain lo ada di rumah gue?" tanya Aya sambil bersidekap. Yoga berjalan mendekat. Dia meletakkan nampan berisi nasi beserta laluk dan air minum di atas nakas sebelah tempat tidur Aya. "Ada perlu sama lo." Yoga mengumpat dalam hati ketika matanya yang tak bisa dicegah untuk tidak melihat penampilan Aya. Dari jarak dekat, Aya benar-benar terlihat hot. Bagian perut perempuan itu yang rata sedikit terlihat dan pahanya yang putih dan mulus. Serta rambut acak-acakan Aya seperti orang bangun tidur. Yoga kembali meneguk salivanya. Buru-buru Yoga mengalihkan pandangan ke arah lain agar Aya tak curiga dengannya yang menatap perempuan itu dengan tatapan m***m. Astaga, kenapa dia bisa berpikiran m***m dengan sahabat sekaligus teman ributnya itu? "Apaan?" "Lo makan dulu aja, gue tunggu di bawah." Yoga langsung pergi dari sana. Sungguh dia merasa gerah jika kelamaan di sana. "Itu Aya, Ga! Sadar... sadar!!!" Dari kamar Aya, Yoga menuju toilet di lantai bawah. Begitu keluar dari sana, tampak Wulan yang sedang menata makanan di meja makan. Perempuan paruh baya itu tersenyum kepada Yoga. "Nasinya udah dimakan sama Aya, Ga?" "Udah, Tan," sahut Yoga cepat. Yoga tadi memang melihat Aya yang meraih makanan di atas nakas tersebut sebelum dia beranjak keluar. "Terus kamu mau ke mana sekarang? Nggak pulang, 'kan? Jangan buru-buru banget." "Belum mau pulang kok, Tan. Aku mau ke belakang dulu, ngerokok." "Oh, kirain." Wulan tersenyum. "Pulangnya maleman aja, Ga. Sekalian makan malam di sini entar sama papanya Aya. Udah lama nggak makan bareng papanya Aya, 'kan?" Yoga berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Boleh deh, Tan." Tak ada salahnya Yoga makan bersama dengan keluarga Aya, sudah biasa. Lagi pula, dia sudah lama juga tak mengobrol banyak dengan papa dari sahabatnya itu. Sekalian, Yoga bisa makan enak malam ini tanpa harus beli dan makan sendirian di indekosnya. Sudah menghabiskan 2 batang rokok, pikiran Yoga tak juga tenang. Bukannya memikirkan Nadiya yang menjadi tujuannya ke sini lagi, tapi otaknya sekarang dipenuhi oleh penampilan Aya hari ini yang tak bisa dipungkiri lagi keseksiannya. Bagaimana bisa sahabat yang dia anggap masih bocah itu terlihat begitu menggoda hari ini? Tak terhitung kali Yoga mengumpat hari ini. Yoga rasanya ingin pergi saja untuk menyegarkan otak mesumnya tentang Aya, tapi tidak enak karena telah berjanji pada Wulan, mamanya Aya. Di sisi lain, dia juga membutuhkan informasi segera dari Aya tentang pujaan hatinya, Nadiya. Satu jam kemudian, Aya muncul menghampirinya di gazebo belakang rumah perempuan itu. Yoga menghela napas lega karena Aya tak lagi mengenakan baju kurang bahan seperti yang dilihatnya tadi. Dilihat dari penampilannya, Aya sepertinya baru saja mandi. Pikiran Yoga kembali bisa normal ketika Aya sudah mendekat dan Yoga bisa melihat dengan jelas kalau Aya menggunakan piyama doraemon. Yoga sontak tertawa. Hal yang tadinya dia bayangkan saat akan memasuki kamar Aya, malah baru dikenakan perempuan itu sekarang di saat pikiran Yoga sempat travelling. "Napa lo ngeliatin gue ketawa-tawa gitu? Ada yang aneh sama gue?" "Nggak... nggak ada," jawab Yoga di sela tawanya. "Aneh lo!" Aya duduk di samping Yoga. Yoga tahu Aya itu tak suka bau asap rokok, dengang cepat dia mematikan api rokok di tangannya dan mengibaskan tangannya seolah mengusir asapnya untuk menjauh dari mereka. Lelaki itu kemudian menatap Aya lekat. "Lo jelek," ucap Yoga tiba-tiba saja. Aya mencubit lengan lelaki itu. "Mata lo kudu diperiksa kayaknya. Selama ini nggak ada yang bilang gue jelek. Lo doyan banget bikin gue kesel, sih? Mancing-mancing keributan mulu." "Gue ngomong fakta, weh! Buktinya, mana ada cowok yang suka sama lo?" "Jangan sok tahu! Emangnya gue harus bilang sama lo kalau ada cowok yang suka sama gue? Nggak... nggak guna. Cukup Maudy aja yang tahu." "Bisa aja lo ngeles. Gue yakin nggak ada cowok yang suka sama lo." "Terserah lo mau percaya atau enggak." Aya mengibaskan tangannya. Yoga tertawa. Seperti biasa, senang melihat perempuan itu kesal. "Gue mau tanya sesuatu, Ay," ujarnya kemudian setelah tawanya reda. "Mau nanya apa?" tanya Aya tak sabar. "Nggak pake lama, gue kudu lanjut nonton lagi soalnya." "Lo kenal dekat sama Nadiya?" tanya Yoga to the point. "Nadiya mana?" "Puteri kampus angkatan kita." "Gue kenal." "Temanan dekat?" "Ya, lumayan. Satu SMA soalnya dulu, satu geng juga." "Kenapa lo nggak bilang-bilang?" "Ngapa emangnya?" tanya Aya dengan mata menyipit. "Lo suka sama dia?" tebaknya tepat sasaran. Yoga menyengir. "Comblangin gue sama dia dong, Ay! Kasih tahu juga tentang apa aja kesukaan dia. Terus, cowok idamannya kayak apa?" "Malesin." "Ya elah. Pelit amat sama sahabat sendiri." Aya memutar bola matanya. "Nggak akan gue nyodorin teman gue sendiri ke dalam lubang buaya." "Gue bakalan insyaf, nggak plaboy lagi deh, kalau bisa dapetin Nadiya." Aya tertawa meledek. "Kok nggak meyakinkan banget, ya?" "Terus gue harus gimana supaya lo percaya?" "Susah buat percaya modelan kayak lo gini, Ga. Soalnya gue tahu persis sepak terjang lo. Ya kali gue mau jerumusin teman geu sendiri. Nggak mau, ah!" "Ay, tolongin gue lah." Aya menggeleng, tetap pada pendiriannya. "Usaha sendiri sana! Katanya mantan top five most wanted di kampus, masa iya butuh bantuan seorang mak comblang buat dapetin cewek dia suka?" Aya puas meledek, apa lagi saat melihat muka Yoga yang tampak memelas padanya. Ya kali Aya percaya begitu saja dengan seorang Yoga. *** "Jadi, Yoga mau kerja di mana rencananya?" tanya Rudi, papanya Aya. Saat ini mereka tengah menyantap makan malam bersama, minus kakaknya Aya. Karena kakak laki-laki perempuan itu sedang mengunjungi rumah tunangannya. "Nggak di mana-mana, Om. Pengennya buka usaha aja." "Oh, bagus itu. Usaha apa yang pengen kamu rintis?" "Wedding Organizer, Om. Aku ngajak temanku juga buat gabung." "Wah, bagus itu! Mulai kapan?" "Secepatnya, Om. Kemarin, aku baru dapet rukonyo." Rudi manggut-manggut. "Boleh lah kakaknya Aya yang jadi klien pertama kamu di awal tahun beberapa bulan lagi." Yoga langsung berbinar. "Yang benar, Om?" Rudi mengangguk, lalu menoleh pada istrinya. "Javier belum ngomongin soal rencana pernikahannya 5 bulan lagi 'kan, Ma?" "Belum. Dia baru booking hotel tempat resepsinya aja. Kalau yang lainnya, kayaknya belum ada," jawab Wulan. "Oke, kita pake jasa WO Yoga aja." "Tapi nggak apa-apa, Om? Kan aku belum pengalaman." "Nggak masalah. Anggap aja ini persiapan kamu untuk melangkah ke depannya. Nanti kita kasih rate bagus. Om percaya sama kamu." Mendengar itu, Aya mendengkus. Kurang setuju dengan ide papanya. "Kalau berantakan gimana, Pa? Lagian, Kak Javier belum tentu mau juga pake WO-nya Yoga." "Pasti mau," jawab Rudi yakin. Aya mencibir. "Senang banget pasti lo, ya?" ujarnya pada Yoga yang dibalas lelaki itu dengan tersenyum. Ah, coba saja bukan sedang tak ada mama dan papanya Aya. Yoga sudah pasti akan mencari ribut dengan Aya. "Kamu juga nanti kalau menikah, pake WO Yoga juga dong, Ay! Hitung-hitung bantuin usaha teman sendiri buat portofolio WO-nya." Aya tersedak. Menikah? Hal yang sama sekali belum terpikir oleh Aya saat ini. Masih jauh. Dan dengan cepat, Yoga memberikan minum kepada Aya sambil mengusap pelan punggung perempuan itu. Hal itu tak luput dari perhatian Wulan dan Rudi. Mereka berdua saling menatap dan tersenyum penuh arti. Wulan tahu jika suaminya mempunyai pemikiran yang sama dengannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN