"Ra," panggil seorang lelaki dari kejauhan.
Maura memberhentikan langkahnya, tapi dia sama sekali tidak membalikan badannya.
"Gue minta maaf."
Mendengar lelaki itu mengucapkan 3 kalimat, Maura hanya bisa menyunggingkan senyumnya.
"Gue udah maafin lu. Tapi say no, kita ngga bisa sedeket dulu." Maura melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Attar tidak menyerah, dia mengejar langkah Maura.
"Kenapa? Apa segitu besarnya kesalahan gue?" tanya Attar yang sudah menahan pergelangan tangan Maura.
Diam-diam Maura menahan emosinya, apa tadi dia bilang? Segitu besarnya? Ya jelas sangat besar bagi Maura. Bayangkan saja dirinya mengesampingkan ego, menyatakan apa yang dia rasakan. Dan dengan mudahnya Attar mentertawakan perasaannya. Sungguh, hati Maura sudah terlalu sakit.
Maura berusaha melepaskan cengraman di tangannya, "Lepasin." desisnya.
"Ngga. Sebelum lu jawab pertanyaan gue."
Maura membalikan badannya, "Apa tadi lu tanya, segitu besarnya? Lu mikir ngga sih? Lu udah nyakitin perasaan orang! Apa susahnya lu hargain apa yang gue bilang, gue ngga berharap lu ngebales perasaan gue! Cukup hargain, udah itu aja kok." bentak Maura. Dia tidak perduli jika saat ini dirinya menjadi tontonan. Setelah mengatakan hal tersebut, Maura berbalik badan dan meninggalkan Attar dengan rasa bersalahnya.
"Yok, bro." ajak Yogi -sahabat Attar-
"Ngga ada kesempatan buat gue ya Goy?" gumam Attar ketika mereka berdua berjalan di koridor kampus.
"Perjuangin kalo emang lu ngga mau kehilangan dia. Lepasin kalo lu ngga ada rasa apa-apa. Cewe itu butuh dihargain bro perasaannya. Secara tidak langsung lu udah banyak ngasih harapan sama dia." ujar Yogi memberi nasihat.
Perjuangkan atau lepaskan? Attar sendiri masih meragukan apa yang dirasakannya.