Btari: Kejutan Hans
Aku dan Abang saling diam di dalam mobil. Aku atau pun dirinya belum mau membuka suara untuk membahas apa yang barusan terjadi. Aku menghela napas panjang, membuat laki-laki itu menolehkan kepalanya kepadaku, menatapku untuk beberapa saat.
Harusnya aku mendengarkan penjelasannya lebih dulu kemarin. Bukannya bersikap kekanakan dengan ngambek tidak jelas, dan menghindarinya setiap kali ingin mengajakku ngobrol atau sekadar menatapku selama beberapa detik saja.
Lagi-lagi aku menarik napas, lebih panjang dan terdengar lebih berat. Ah, aku sungguh-sungguh kekanakan. Rasa-rasanya aku terlalu malu untuk sekadar balas menatapnya sekarang.
Alasan Bang Hans membawaku pergi ke rumah sakit bukan hanya untuk menjenguk Chelsea. Siapa Chelsea? Gadis berambut panjang berwarna cokelat terang yang membuat Bang Hans berbohong kepadaku adalah adik kandung Kak Nora.
Lalu, apa hubungannya gadis itu dan Bang Hans?
Jadi, Chelsea menyukai Bang Hans. Gadis itu menaruh perasaan terhadap Abang bahkan sejak laki-laki itu masih berpacaran dengan Kak Nora. Aku hampir saja menyela penjelasan Bang Hans, ingin protes kepada gadis bernama Chelsea tersebut. Bagaimana bisa gadis itu menyukai laki-laki yang berpacaran dengan kakaknya sendiri? Baiklah. Aku akan mengakui sesuatu.
Aku juga menyukai Bang Hans sejak lama. Bahkan ketika usiaku masih sangat-sangat muda, atau lebih tepatnya masih anak-anak, mungkin?
Aku memang menyukai Bang Hans sejak dulu. Malah aku sempat tidak menyukai Kak Nora sebelumnya. Tetapi, aku masih memiliki pikiran waras untuk tidak merebut pacar orang. Tidak peduli seberapa banyak aku menyukainya, aku akan lebih memilih memendam perasaanku sendiri ketimbang harus merebut pasangan orang lain.
Dan, Chelsea?
Gadis itu sepertinya tidak waras. Bagaimana bisa dia mengakui perasaannya terhadap Bang Hans kepada Kak Nora secara langsung? Di mana otak gadis itu?! Tidak peduli dia sakit parah, kesempatan hidupnya kurang dari lima persen pun tidak bisa menjadikannya sebuah alasan.
Dari sana, aku baru mengetahui alasan Bang Hans dan Kak Nora putus.
Ya, karena perempuan berusia dua puluh sembilan tahun tersebut memilih mengalah untuk adiknya.
Dasar gila! Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat dalam hati.
Bang Hans dan Kak Nora mengajakku pergi ke sebuah kafe di dekat rumah sakit. Mungkin saja hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk berjalan menuju ke sana. Sebelum mereka menjelaskan permasalahan yang sebenarnya kepadaku, kami bertiga bertemu dengan seorang laki-laki di parkiran. Laki-laki itu terkejut mendapati sosok Bang Hans di sana, membuatku bertanya-tanya. Kenapa dia kelihatan tidak menyukai Bang Hans?
Laki-laki yang kuperkirakan berusia di awal dua puluhan tersebut memandangi kami bertiga. Setelahnya, dia menarik Kak Nora hingga membuat perempuan itu berdiri di belakang punggungnya. Tatapannya jelas sangat marah. Aku yang tidak sengaja melihat sebelah tangannya yang terkepal segera merapat pada Bang Hans dan merangkul lengan laki-laki di sampingku ini.
"Lo lagi. Lo mulu," katanya marah, sepasang mata hitamnya menyalang. "Gue bilang jangan deket-deket sama Nora, lagi! Belum cukup gue pukul lo waktu itu?"
Segera aku mendongakkan kepala dan memandangi Bang Hans yang terlihat tenang, tidak goyah sedikit pun. "Saya ke sini untuk meluruskan permasalahan."
"Permasalahan apa? Masalah lo yang masih deketin Nora?" Laki-laki itu mendengus.
Bang Hans menggeleng. "Saya dan Nora udah nggak ada apa-apa lagi," jawab Bang Hans, santai. "Kamu bisa tanya sama Nora langsung."
Kak Nora menarik laki-laki itu hingga menghadap ke arahnya. "Berapa kali harus aku jelasin kalau aku sama Hans nggak ada apa-apa! Berhenti cemburu nggak jelas, No!"
"Kalau kalian nggak ada apa-apa, kenapa masih lengket aja? Ini bukan pertama kalinya aku lihat kamu jalan sama dia, ya, Ra!" tunjuknya pada Bang Hans.
Kak Nora memijat keningnya pelan. "Aku sering pergi sama Hans cuma buat Chelsea," gumam Kak Nora.
"Sekarang Chelsea kamu jadiin alasan. Hebat kamu!"
Pertengkaran antara Kak Nora dan laki-laki itu membuatku bingung. Sebenarnya, dia siapanya Kak Nora, sih? Dari usianya saja terlihat lebih muda dari Kak Nora, tapi kenapa cara bicaranya seolah menunjukkan kalau mereka berdua memiliki hubungan spesial?
"Aku pacar kamu, ya, Ra!" pekik laki-laki itu menunjuk dadanya. "Harusnya aku yang kamu andalkan, bukan dia! Dia, tuh, cuma mantan pacar kamu!"
Sepasang mata dan bibirku membulat sempurna. Antara percaya tidak percaya kalau laki-laki di depanku adalah pacar Kak Nora. Dia terlalu muda untuk berpacaran dengan Kak Nora yang usianya sudah cukup matang.
Dua puluh sembilan tahun. Jadi, berapa usia laki-laki itu sebenarnya?
"Chelsea sukanya sama Hans, No! Bukan kamu!" Kak Nora balas menunjuk d**a laki-laki itu. "Harusnya sebagai pacar aku, kamu lebih mengerti. Aku udah terlalu capek. Kamu nggak akan tahu gimana sulitnya jadi aku!"
Laki-laki itu terdiam. Napasnya memburu. Sepasang matanya yang hitam menatap Kak Nora luluh, tapi setelah melihat Bang Hans tanpa sengaja, dia mendengus, dan kembali marah.
Bang Hans berdeham, berusaha mencairkan suasana tegang antara laki-laki itu dan Kak Nora. "Kalau kamu mengira saya dan Nora masih ada hubungan, kamu jelas salahpaham." kata Bang Hans, lalu mendorongku tepat di depan tubuhnya. "Perkenalkan, ini Btari, calon istri saya." Bang Hans mendekap bahuku dari belakang, caranya memperkenalkanku kepada laki-laki itu terdengar yakin dan tegas.
Bukan aku saja yang melongo, tetapi juga Kak Nora yang memandangi kami tidak percaya.
"Ya, Ra," gumam Bang Hans. "Tebakan kamu benar," Bang Hans merangkul pinggangku. "Gadis yang aku maksud adalah Btari. Ayudia Btari..."
Kak Nora membelalakan matanya. Mulutnya membulat sempurna. Aku menundukkan kepala menghindari tatapan Kak Nora dan pacarnya. Rasanya aku malu. Aku belum siap kalau harus diperkenalkan sebagai calon istrinya di depan orang lain.
Bang Hans, kenapa laki-laki itu selalu membuatku terkejut dengan apa yang dia lakukan!
"Kenapa?" tanya Bang Hans membuyarkan lamunanku.
Kami masih berada di dalam mobil yang masih terparkir di rumah sakit. Aku mendongakkan kepala, memandanginya selama lima detik penuh.
"Maaf," gumamku, pelan.
Kepala Bang Hans setengah menunduk, mungkin saja laki-laki itu tidak bisa mendengar suaraku.
"Aku minta maaf." Aku melanjutkan kalimatku susah payah. "Harusnya aku dengerin penjelasan Abang dulu, bukannya bersikap kekanakan kayak kemaren."
Bang Hans menyandarkan punggungnya ke pintu mobil yang tertutup, badannya menghadap tepat ke arahku. "Sekarang, udah boleh peluk belum?" tanyanya sembari melipat kedua tangannya di depan d**a.
Mataku mengerjap beberapa kali. Sambil menahan malu, aku menganggukkan kepala lalu menghambur kepada Bang Hans yang kini sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Kulingkarkan kedua tanganku menyentuh punggungnya yang hangat. Kubenamkan wajahku ke dadanya kemudian mengembuskan napas lega.
Bang Hans membalasnya, bisa kurasakan bibirnya mengecup puncak kepalaku berkali-kali. "Jangan menghindar lagi, bisa?" tanyanya begitu mengurai pelukannya.
Kedua tanganku masih melingkari punggungnya. Kepalaku mendongak agar bisa melihat wajahnya, lantas mengangguk-angguk patuh.
"Janji mau dengerin penjelasan aku lebih dulu kalau ada masalah lagi?" Bang Hans menangkup kedua pipiku, menggerakkannya naik-turun seolah gemas.
"Iya," jawabku, mirip seperti anak kecil yang sedang dinasihati ibunya.
"Lain kali kamu harus tanya aku dulu. Apa pun masalahnya, kamu nggak boleh ambil kesimpulan sendiri. Paham?"
Aku mengangguk lagi.
Bang Hans menarik wajahku mendekat hingga kening dan ujung hidung kami bersentuhan. Aku bisa merasakan napasnya dari jarak dekat, membuatku malu dan senang dalam bersamaan.
***
"Kenapa, Ri?" tanya Bang Hans begitu membuka pintu kamar dan mendapatiku ada di depannya.
"Aku mau tidur sama Abang."
Bang Hans melongo, "Hah? Gimana?"
Aku mencebikkan bibir lalu mendorong laki-laki itu hingga kembali ke dalam kamar dan menutup pintu dengan sebelah tangan.
Bang Hans hanya melihatku yang naik ke atas ranjang. Wajahnya bengong, gerak tubuhnya kelihatan begitu canggung ketika kutatap laki-laki itu dari tempat tidurnya.
Aish. Ini bukan pertama kalinya aku tidur di kamar Bang Hans. Dulu, sewaktu Bang Hans masih bertugas di Semarang, setiap kali laki-laki itu pulang ke rumah orangtua kami, aku dan Nao akan berlomba untuk masuk ke dalam kamar Bang Hans lebih dulu agar bisa tidur bersama laki-laki itu.
Jadi, kenapa sekarang Bang Hans kelihatan bingung?
"Aku nggak boleh tidur sama Abang, ya?" tanyaku.
Bang Hans menggaruk belakang lehernya. Laki-laki itu sudah mengganti pakaiannya dengan setelan piama berwarna cokelat. "Bukan gitu," kata Bang Hans, canggung.
Lagi-lagi aku mencebikkan bibir, bersiap turun dari ranjang Bang Hans dan kembali ke kamarku sendiri. "Aku balik ke kamar aja!"
Bang Hans segera menyusulku di ranjang lalu mendorongku hingga kembali duduk di sana. "Kamu... nggak takut emang?"
"Takut apa?" tanyaku kepada Bang Hans. "Aku nggak takut hantu. Lagi pula kamarnya terang, aku baru takut kalau mati lampu doang." cerocosku, membuat Bang Hans berdecak.
"Ri," Bang Hans memanggilku gemas. "Kamu paham sama maksud aku, nggak?"
"Paham soal apa?"
Bang Hans menghela napas panjang, kemudian menyandarkan kepalanya ke punggung ranjang. "Ya udah kalau kamu nggak takut," katanya, terdengar pasrah.
Aku menyunggingkan senyum lebar sampai membuat kedua mataku menyipit. Bang Hans tampak mengalah dan membiarkanku tidur di kamarnya. Kusandarkan kepalaku ke bahunya, lantas berusaha memejamkan mata.
Bang Hans membawa sebelah tanganku hingga melingkari pinggangnya. "Kemaren aja menghindar, sekarang malah nempel-nempel," sindir Bang Hans.
Mataku yang sempat terpejam segera kubuka, lantas menatapnya sengit. "Abis, Abang nyebelin banget!"
Bang Hans meraih tanganku di atas pahanya, menyelipkan jari-jarinya yang panjang ke jemariku. Mataku takjub, bahkan aku merasa gemas dengan perbedaan ukuran tangan kami.
Tanganku kelihatan sangat kecil ketika Bang Hans menggenggamnya.
"Makanya lain kali tanya dulu. Bukannya ambil kesimpulan sendiri," kata Bang Hans. "Yang capek siapa? Kamu juga, kan."
Aku mengangguk, mengiakan apa yang dibilang laki-laki di sampingku ini. Aku yang menghindarinya, tapi aku sendiri yang lelah karena terus berperang batin. Antara ingin menghindarinya, atau berusaha bersikap masa bodoh walaupun Bang Hans telah membohongiku.
"Kangen," bisikku di telinga Bang Hans dan membuat laki-laki itu terkekeh.
Bang Hans menolehkan kepalanya, lantas balas berbisik tepat di telingaku. "Aku juga."
Aku dan dia tertawa bersamaan. Aku memukul bahunya karena bibir laki-laki itu terlalu menempel di telingaku, membuatku merinding dan merasa geli.
"Bang Hans..." panggilku.
"Hm," dia merespons dengan gumaman.
"Soal Chelsea, gimana?"
Bang Hans menarik napas lebih dulu. Jari-jarinya meremas jariku, kemudian diangkatnya tinggi-tinggi dan diciuminya. "Aku sama Chelsea nggak ada apa-apa," kata Bang Hans memindahkan tanganku ke pipinya. "Nora memang sempat minta aku buat menerima perasaan Chelsea, tapi aku tolak."
"Terus, kenapa Abang sering pergi jenguk dia di rumah sakit?" tanyaku, cemberut.
"Ya sekadar jenguk aja, itu pun diajak sama Nora."
"Nggak salah sih, kenapa pacar Kak Nora sampe cemburu sama Abang."
"Tapi aku nggak ada apa-apa sama dia, Btari."
Iya, aku tahu Bang Hans dan Kak Nora sudah tidak memiliki hubungan apa pun kecuali berteman. Tapi, apa mereka tidak berpikir kalau kedekatan mereka bisa membuat orang lain salahpaham?
"Ri," Bang Hans menepuk punggung tanganku pelan.
"Apa?" aku melirinya sekilas, kemudian membuang pandangan ke arah jendela yang tertutup.
"Aku udah bilang sama Ayah dan Ibu," gumam Bang Hans.
"Bilang apa?" tanyaku, mengerutkan dahi.
"Soal kita."
"Hm?" kutarik badanku dari sandaran bahunya.
"Kemaren aku memang membatalkan kepulangan kita ke Surabaya buat minta izin Ayah dan Ibu," katanya, kemudian aku mengangguk. "Tapi aku sungguh-sungguh sama apa yang aku bilang waktu itu." Bang Hans menatap lurus ke arahku. "Ya walaupun baru bilang lewat telepon, tapi udah izin sama Ayah dan Ibu kalau aku mau menikahi anak gadisnya."
"Hah?"
"Minggu depan kamu harus ikut aku pulang ke Surabaya. Kamu nggak perlu ikut bicara, cukup dengar aku minta izin sama Ayah dan Ibu aja," katanya, terdengar sungguh-sungguh. "Kamu pernah bilang, kan, kamu siap menghadapi Ayah dan Ibu?" aku mengangguk. "Sekarang, dengerin aku." Bang Hans menghadapkan badannya tepat di depanku. "Aku cuma minta kamu percaya, dan tetap yakin sama pilihan kamu. Pokoknya kamu nggak boleh berubah pikiran. Kamu udah memilih aku, dan jangan berharap bisa berpaling ke laki-laki lain. Ngerti?"
To be continue---