Fairel melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah ia tempati selama dua puluh enam tahun itu.
"Assalamu'alaikum...." Fairel mengucapkan salam dengan sedikit mengencangkan suaranya.
"Cieee yang habis jalan-jalan." Rayna - Adik Fairel, berlari memeluk kakaknya dengan erat. Sedangkan Fairel menyerang Rayna dengan menciumi puncak kepala adiknya itu yang tertutup hijab berwarna merah muda.
"Asik. Berangkatnya bawa satu koper baliknya dua koper," ucap Rayna yang tersenyum sumringah menatap koper yang berada di belakang Fairel. Lantas melepaskan pelukannya dan berjalan mendekati koper.
"Gimana liburannya, Bang? Seru?" tanya bidadari tak bersayap Fairel, Ummi Karimah.
Fairel melangkah ke arah umminya lantas mencium punggung tangannya dan memeluknya dengan erat. "Alhamdulillah, Mi. Seru banget. Rasanya Fairel nggak mau pulang saking betahnya. Pokoknya nanti, Ummi, Abi, sama Rayna harus ke sana."
Karimah terkekeh pelan sembari mengusap puncak kepala putranya. "Insyaallah, Sayang."
"Kita ke sana kalau Abang nikah aja, Mi." Rayna menyahut, membuat Fairel menoleh ke arah adiknya.
"Nikah-nikah mulu ini anak. Kamu aja dulu gih. Abang rela kok dilangkahi," ucap Fairel.
"Ck, dasar. Nanti jadi perjaka tua mampus," ledek Rayna seraya menjulurkan lidahnya.
Karimah terkekeh pelan sembari menggelengkan kepalanya. "Udah, udah, ayo duduk. Kasian Abang, pasti kecapean."
Fairel duduk bersandar pada penyangga sofa. Pandangannya mengedar ke segala penjuru arah. "Abi nggak ada di rumah, Mi?"
"Oh, Abi lagi ke rumah temannya dulu, waktu masih SMA. Katanya lagi terkena musibah keluarganya," ucap Karimah yang duduk di sebelah Fairel.
Fairel hanya mengangguk mendengar jawaban umminya. "Fairel ke kamar ya, Mi. Mau istirahat."
"Ya sudah. Abang ke kamar aja, Ummi juga mau bantuin Mbok Yem di dapur." Karimah beranjak bangun dari duduknya, melangkah pergi ke arah dapur.
Fairel pun segera melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua sembari menyeret koper yang berisi pakaian serta barang-barangnya. Meninggalkan Rayna yang tengah asik dengan oleh-oleh yang di bawa Fairel dari Maluku.
*****
Angin dan terik matahari siang itu menghempaskan debu. Fairel duduk di kursi yang berada di balkon kamarnya sembari bersholawat kepada nabi Muhammad SAW.
Sekilas bayangan saat di Pantai Ora dengan gadis pemilik nama Zhaira melintas di pikirannya. Membuat bacaan sholawatnya terhenti sejenak.
Gadis hobi mengenakan pakaian minim, mengekspos kulitnya yang putih mulus tanpa rasa malu. Gadis yang berani menatapnya tajam dan mengatakan secara terang-terangan kalau ia tidak suka dengan cara Fairel yang menceramahinya karena penampilannya.
Fairel memejamkan mata ketika mengingatnya. Namun ia buru-buru kembali bersholawat, mencoba menepis bayang-bayang Zhaira.
"Abanggg!" teriakan suara Rayna terdengar memekikkan telinga. Fairel menghentikan sholawatannya, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Rayna tengah berjalan ke arahnya.
"Apa sih, Dek? Nggak usah pakai teriak-teriak segala kan bisa. Kayak di hutan aja," ucap Fairel.
"Maaf, Bang." Rayna menyengir lebar. "Abi udah pulang tuh, selain makan siang."
Fairel mengangguk dan bergegas berjalan menuju ruang makan. Ternyata benar, di sana sudah ada abinya.
"Bi," panggil Fairel tersenyum sembari melangkah ke arah Abi Ghanim.
"Gimana liburannya? Puas nggak?" tanya Ghanim saat Fairel mencium punggung tangannya.
"Alhamdulillah," ucap Fairel seraya mendudukan tubuhnya di atas kursi. "Abi dari mana?"
"Dari rumah teman lamanya Abi. Kasihan. Keluarga terkena musibah yang bertubi-tubi," ujar Ghanim.
"Musibah apa, Bi?" tanya Karimah.
Ghanim mengusap wajahnya berkali-kali. "Dia terbukti korupsi di perusahaan tempatnya bekerja. Semua hartanya disita, termasuk rumah. Beliau harus menjalani hukuman berupa penjara. Dan yang paling parah, istrinya meninggal karena terkena serangan jantung."
"Astaghfirullah, kasihan sekali, Bi." Karimah mengusap dadanya.
Ghanim mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya. Tapi ini semua sudah suratan takdir dari sang maha kuasa. Semuanya hanya titipan."
"Iya, Bi. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa berserah diri dan selalu mensyukuri apa yang telah Allah beri kepada kita," ucap Fairel membuat semua anggota keluarga mengangguk.
"Ya sudah, sekarang lebih baik kita makan," ucap Karimah.
*****
"Bro, insyaallah dua hari lagi gue mau ke rumah Silmi sama keluarga. Mau mengajaknya ta'aruf," ucap Gibran pada Fairel.
Fairel tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk pundak Gibran. "Alhamdulillah.... semoga lancar ya semuanya. Dan semoga Silmi mau menerima niat baik lo."
Saat ini Fairel dan Gibran tengah di Grand Indonesia, nongkrong di Social House sambil menikmati kopi. Adli tidak ikut, ia punya tanggung jawab sebagai seorang suami. Tidak bisa seenaknya pergi seperti masih lajang dulu.
"Aamiin. Lo sendiri kapan nih, Rel?"
Fairel menyisir rambutnya ke belakang sembari tersenyum. "Tunggu aja tanggal mainnya."
Gibran tertawa. "Ustadzah Aisyah, nih?"
"Haduh, jangan bahas masa lalu lha, Bro. Agak suram gitu," ucap Fairel membuat Gibran semakin mengencangkan tawanya.
"Besok lo udah mulai kerja lagi?" tanya Fairel.
Gibran mengangguk. "Yoi. Lo sendiri?"
"Sama. Banyak proyek baru yang masuk. Otak gue mulai muter lagi."
Gibran menepuk-nepuk pundak Fairel. "Otak lo kan encer, paling dalam satu kejapan mata langsung beres semua itu kerjaan."
"Enteng banget ngomongnya," kekeh Fairel. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 22.25 malam. "Balik, yuk."
Gibran mengangguk. Kedua laki-laki tampan itu pun bergegas pulang dari GI.
*****
Suasana kafe Romansa didesain seakan khusus untuk para pasangan yang ingin makan malam atau hanya sekadar mengobrol. Beberapa lilin putih yang tersusun rapi pada tempatnya berada diatas meja, ditambah kelopak bunga mawar merah bertaburan di antara dua orang itu.
Dua orang laki-laki berdiri disamping meja sembari memainkan alat musik biola.
Fairel tersenyum manis menatap gadis yang duduk di depannya. Dia terlihat sangat cantik dengan balutan hijab berwarna biru dongker. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung jatuh hati. Dialah Zhaira, gadis rupawan idaman setiap pemuda.
Zhaira mengunyah pelan makanan yang ada di mulutnya saat menangkap Fairel tengah menatapnya lekat. Bibirnya menyunggingkan senyum manis yang membuat hati Zhaira berdebar hebat. Ketampanan Fairel mampu membuat Zhaira kagum.
"F-Fairel," ucap Zhaira dengan terbata. Rasanya bibir Zhaira sulit sekali untuk mengucapkan nama cowok di depannya dengan lancar.
"Iya. Kenapa?" tanya Fairel semakin mengembangkan senyumnya.
Zhaira tertunduk malu, ia tidak tahan beradu pandang lebih lama dengan Fairel. "Kamu kok lihatin aku sampai sebegitunya sih?"
Fairel tersentak. Ia cengengesan bodoh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf, Zha. Soalnya kamu terlihat semakin cantik dengan mengenakan hijab," ucap Fairel sembari menatap Zhaira yang sangat menggemaskan saat pipinya bersemu merah.
"Zha...."
"Ya?"
"Eum, aduh, gimana cara ngomongnya ya?" Fairel meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Zhaira mendongak untuk menatap wajah Fairel. Kalau dilihat dari gelagatnya, Fairel seolah akan mengungkapkan sesuatu yang penting.
"Ngomong aja, Rel."
Fairel menarik napas dalam-dalam. Tangannya mengeluarkan sebuah kotak beludru merah berukuran kecil.
"Kamu mau nggak, nikah sama aku?" Fairel menyodorkan kotak tersebut yang sudah terbuka dan menampilkan sebuah cincin berlian.
Tubuh Zhaira mendadak kaku. Jantungnya berdebar diujung kewarasan yang sudah hilang sebagian. Apa baru saja Fairel melamarnya?
"Rel...."
"Kamu mau kan, aku jadi imam penyempurna agamamu?"
"F-Fairel maaf, tapi aku nggak bisa." Zhaira menatap sendu pada Fairel dengan mata yang sudah berlinang.
Kedua alis Fairel menaut, tak percaya dengan apa yang Zhaira katakan. "Tapi kenapa, Zha?"
Zhaira menghapus air mata di pipinya. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya kembali berucap. "Karena kamu terlambat. Sudah ada yang melamarku lebih dulu."
Fairel merasa hatinya dihujam dengan benda tajam seiring dengan tangan Zhaira yang terangkat menunjukkan sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
"Tapi aku cinta sama kamu, Zha. Sejak awal kita jumpa, kamu sudah menarik perhatianku," lirih Fairel menahan rasa sakit.
Zhaira menggelengkan kepala. "Tapi aku nggak bisa. Kamu terlambat. Dan bulan depan adalah pernikahanku dengan calon imam penyempurna agamaku," ucap Zhaira seraya bangun dari duduknya dan hendak melangkah pergi.
Fairel pun ikut bangun. "Zha, jangan pergi! Jangan tinggalin aku, Zha!" serunya.
Zhaira menoleh kebelakang. Wajah cantiknya penuh dengan air mata. "Maaf...."
"Zhaira jangan pergi!" teriak Fairel, lalu ia merasa seakan ditarik menuju lorong waktu dengan penuh kecepatan.
"Zhaira!"
Kedua bola mata Fairel terbuka lebar. Napasnya memburu. Menatap langit-langit sebuah ruangan, kemudian mengedarkan pandangannya menatap tempat yang tak asing, karena ia berada di dalam kamarnya.
Fairel membuang napas kasar, mengusap wajahnya berkali-kali. "Astaghfirullah, ternyata mimpi."
"Kenapa cewek itu yang ada dalam mimpi gue? Zhaira."
Fairel menoleh ke arah jam dinding. Pukul 03.00 pagi. Sudah waktunya untuk menjalankan sholat malam.