Gibran turun dari mobil, di apit oleh ayah dan ibunya. Di pintu masuk rumah Silmi, yang akan menjadi tempat melangsungkan pernikahannya, sudah ada orang tua dan keluarga Silmi lainnya yang menunggu. Fairel dan Adli berjalan tepat di belakang Gibran.
Gibran mendekat, menyalami orangtua Silmi yang sebentar lagi juga akan menjadi orangtuanya, lalu di giring masuk ke dalam.
Sebuah bingkai besar yang merupakan foto prewedding Gibran dan Silmi bertengger di samping pintu masuk. Tidak ada adegan pedagang tangan atau yang lainnya, mereka hanya berdiri sembari tersenyum dan tentunya berjarak.
Gibran duduk di tempat ijab qobul, petugas dari KUA sudah menunggunya. Fairel dan Adli duduk di samping temannya yang anak menanggung tanggung jawab sebagai seorang suami. Meski Gibran tak berhenti untuk tersenyum, tapi kegugupan cowok itu tetap saja terlihat.
Fairel menepuk pelan pundak Gibran. "Jangan lupa sholawat, Ran," bisiknya. Gibran menoleh, tersenyum sembari mengangguk.
Adli merangkul pundak Fairel dan Fairel pun sedikit menolehkan kepalanya. "Siap-siap, Rel, giliran lo yang bakal ngalamin gugupnya momen sakral ini."
Fairel tersenyum. "Aamiin. Semoga gue cepet nyusul ya, Bro."
Pak Lukman yang merupakan ayah dari Silmi, mengambil posisi di depan Gibran, sebagai wali nikah putrinya. Sebelum ijab qobul berlangsung, mereka mengobrol sejenak untuk menghilangkan ketegangan, dan kegugupan yang tengah Gibran rasakan saat ini.
"Kita mulai?" tanya penghulu dari KUA. Pak Lukman melirik terlebih dahulu pada Gibran, begitu mendapatkan anggukan mantap dari calon menantunya, Pak Lukman tersenyum dan mengangguk pada penghulu.
"Kita mulai," ucap Pak Lukman.
"Bismillahirrahmanirrahim." Terlebih dahulu, penghulu membaca doa sebelum melakukan prosesi ijab qobul.
Fairel deg-degan sendiri melihat kegugupan Gibran. Ia jadi membayangkan kalau saat-saat seperti ini dirasakan olehnya suatu hari nanti. Dimana ia akan mulai bertanggung jawab pada hidup orang lain selain dirinya sendiri.
Begitu doa selesai di bacakan, Pak Lukman mengulurkan tangan, dan Gibran langsung menjabatnya dengan erat.
"Bismillahirrahmanirrahim, ananda Gibran Altamis bin Wirawan Altamis, saya nikahkan engkau dengan putri saya Silmi Mutia Azzahra dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai."
"Saya terima nikahnya Silmi Mutia Azzahra binti Lukman dengan mas kawin tersebut di bayar tunai." Dalam satu tarikan napas Gibran mampu menjawab dengan mantap.
"Sah?" tanya penghulu kepada para pihak saksi dari keluarga Gibran dan Silmi.
"Sah!" Keduanya menjawab serentak, membuat kedua mempelai tersenyum lebar, begitupun yang lainnnya.
"Alhamdulillah." Selanjutnya penghulu kembali membacakan doa dan semua orang yang ada di sana mengamininya.
Setelah melewati berbagai rancangan acara. Tiba saatnya sesi foto-foto. Adli datang bersama sang istri -- Ayudia, sedangkan Fairel mengajak sang adik untuk menemaninya.
"Aduh, Rel. Ngenes gue sama lo, lihat yang lain datang sama pasangannya, lah lo datang ditemenin sama Adik," ledek Gibran dengan tangan yang tak lepas menggenggam tangan Silmi.
Fairel mendorong pelan pipi Gibran sembari terkekeh. "Sombong lo ya. Mentang-mentang udah nikah," ucapnya membuat semua orang di situ tertawa.
Setelah melakukan sesi foto bersama. Rayna memeluk tubuh Silmi tanpa melepas senyum. "Abang kalau di tagih calon istri sana Ummi selalu bilang tenang, padahal nggak tahu aja Ummi udah kebelet pengen punya menantu. Kasian ya, Mbak. Rayna juga udah pengen punya Kakak ipar yang cantik dan sholehah kayak Mbak Silmi dan Mbak Ayu," ucapnya dan Silmi membalasnya dengan mengusap sayang punggung Rayna.
"Sabar ya, nanti Abang kamu juga akan bawain calon kakak ipar yang cantik dan juga sholehah buat Rayna," jawab Silmi.
"Tuh, Rel, denger Adiknya udah nagih calon kakak ipar," sindir Adli membuat Fairel menghela napas panjang.
*****
Zhaira melangkah keluar dari dalam supermarket dengan satu tangan yang membawa kantong plastik berisi cemilan dan minuman kaleng.
Zhaira memelankan langkah kakinya saat merasa ada yang kurang. Lalu ia mengintip dua kantong plastik itu. "Udah semua kok."
Tiba-tiba seseorang menubruknya hingga membuat semua belanjaannya jatuh berserakan. Orang tersebut berjongkok untuk membantu Zhaira.
"Yah," keluh Zhaira seraya berjongkok.
"Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja," ucap orang tersebut dengan penuh rasa bersalah.
"Iya, Mas. Nggak apa-apa."
Saat Zhaira hendak mengambil kantong plastik, tiba-tiba sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi sehingga merindas kantong plastiknya.
Zhaira mengangkat kantong plastik itu. "Yah, kotor lagi."
"Biar saya bantu bawakan, Mbak," ucap orang tersebut.
"Eh, nggak usah, Mas. Nggak apa-apa deh kotor juga."
"Tapi itu kotor banget loh, Mbak. Nggak apa-apa biar saya bantu bawakan, Mbak. Sebagai pertanggungjawaban dari saya juga," ucap pria tersebut.
Zhaira terdiam sejenak sembari menatap orang asing tersebut. Ia takut, kalau orang itu mengenali dirinya. Khawatir kalau nanti ia akan diejek karena anak seorang koruptor.
"Nggak usah, Mas. Biar saya aja," tolak Zhaira.
"Nggak apa-apa, Mbak. Ini salah saya juga. Biar saya yang bantu bawa."
Zhaira menghela napas panjang. "Iya udah deh, Mas. Makasih ya."
Kemudian, Zhaira dan pria tersebut berjalan sembari membawa barang belanjaan Zhaira dengan memeluknya. Zhaira berjalan terlebih dahulu. Sampai di depan pintu apartemen, Zhaira segera membuka pintu dan melangkah menuju dapur.
"Simpan di sini aja, Mas," ucap Zhaira menunjuk pada meja bar. Pria tersebut mengangguk dan meletakan semuanya di atas meja.
"Kalau begitu saya permisi, Mbak. Maaf atas kejadian tadi."
Zhaira mengangguk sembari tersenyum. Meski ia mengenakan masker, tapi pria tersebut dapat mengetahui kalau Zhaira tengah tersenyum dari matanya.
Zhaira mengantarkan pria tersebut sampai ke depan. Saat semakin mendekati pintu keluar, tak sengaja pria itu menangkap sebuah foto jelas Zhaira. Ia terdiam sejenak, memicingkan mata ke arah foto yang menggantung di dinding. Tak ingin membuat Zhaira curiga, pria itu buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Makasih ya, Mas," ucap Zhaira setelah pria tersebut keluar dari apartemennya.
Zhaira kembali mengunci pintu lalu melangkah ke dapur untuk membereskan belanjaannya.
Sedangkan di luar sana, pria yang tadi membantu Zhaira, terdiam sejenak seolah berpikir. Tangannya sudah menggenggam ponsel dan bersiap untuk menghubungi seseorang.
"Apa sebaiknya saya pastikan lebih lanjut, kalau cewek tadi itu orang yang benar-benar Tuan Fairel cari ya? Saya khawatir kalau di foto tadi hanya mirip dengan foto yang di kirim Tuan Fairel. Biar besok saya datang kembali ke sini untuk memata-matai cewek itu."