4. Reinkarnasi

1017 Kata
DAMIAN berada di kolam renang sendirian. Hari ini pria itu sedang menunggu Andrew yang katanya akan mengajak dia membicarakan sebuah bisnis yang menguntungkan di Las Vegas. Ya ... meskipun Damian tidak yakin dia akan menyetujuinya dan pergi ke Las Vegas untuk melanjutkan misi itu. "Tuan, minuman jeruknya," ucap Alice membuat Damian tersentak dari lamunannya. Pria itu beralih menatap Alice dari bawah ke atas, lalu tersenyum. "Aku menyukai penampilanmu. Setidaknya itu terlihat lebih sopan," puji Damian menyadari jika Alice telah mengganti roknya dengan ukuran yang lebih longgar. Menanggapi itu Alice hanya tersenyum tipis. Damian bangkit dari dalam kolam renang. Dia menerima handuk yang dibawakan Alice lalu berjalan menuju bangku di pinggir kolam sembari meminum minumannya. "Aku harus membersihkan ruang tamu. Permisi, Tuan," ujar Alice sopan. Damian hanya mengangguk saja. Ketika di ruang tamu Alice mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Dia hanya mengintip sebentar lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sapu dan kemoceng. 'Mungkin itulah tamu tuan Damian,' batin Alice tersenyum simpul. Sementara itu di lain sisi Andrew yang baru saja keluar dari mobilnya langsung melenggang memasuki rumah bosnya tanpa sungkan. Dia menenteng tas laptop seperti ketika berangkat bekerja. Namun, sesuatu mendadak menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. Andrew menatap tidak percaya. Bibir pria itu gemetar, pun dengan matanya yang terbuka lebar. "G-Grisa? Itukah kau?" Suara Andrew melemah. Lututnya seketika lemas saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. "Grisa ...." Andrew mendekat, dia memegang lengan Alice membuat gadis itu tersentak dan membalikkan tubuhnya dengan gerakan refleks. "Maaf, anda salah orang. Aku pelayan baru di rumah ini, dan ... tuan Damian sudah menunggu anda di belakang," ucap Alice tersenyum kaku. Andrew masih menatap Alice tidak percaya. Ini benar-benar sulit dipercaya. Gadis itu mirip sekali dengan Grisa, hanya saja terlihat sedikit lebih muda. "Ah, okay. Maaf sudah salah memanggil namamu." Alice hanya mengangguk mengiringi langkah Andrew yang semakin menjauh. Setelah memastikan Andrew jauh, gadis itu menatap heran. "Grisa? Siapa lagi itu? Ck. Aneh sekali." *** Andrew membanting tas laptopnya di sofa besar yang menghadap langsung ke arah kolam renang, lalu pria itu berjalan cepat dan menepuk kencang bahu Damian. "Astaga, kau mengagetkanku saja!" seru Damian merasa tekejut. "Setidaknya jaga sikapmu meskipun kita berada di luar kantor, biar bagaimana pun aku tetap atasanmu, bodoh!" Andrew tidak menggubris, dia masih saja melirik ke belakang dengan resah, seakan masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. "Katakan ... katakan apa aku sudah tidak waras, huh? Aku baru saja melihat Grisa di depan, dia sedang bergelut dengan sapu dan kemoceng. Aku ... aku benar-benar melihatnya, aku yakin jika dia itu Grisa. Mereka sangat mirip!" Andrew langsung bercerita panjang lebar, napasnya bahkan masih tersegal-segal. Damian terkekeh. "Sebaiknya kau duduk dulu, jangan berbicara cepat begitu. Cobalah berbicara dengan tenang dan aku akan mendengarkannya," ujar Damian menarik kawannya itu untuk duduk di sebelahnya. "Tidak bisa tenang! Bagaimana aku bisa tenang jika baru saja melihat orang yang sudah mati terbunuh hidup kembali, hah?" seru Andrew mengusap wajahnya yang mendadak berkeringat. Damian menghela napas. "Dia bukan Grisa, kau hanya baru saja melihat Alice, pelayan baruku," balas Damian. "Tidak mungkin. Mereka sangat mirip!" "Ya, kau benar. Mereka memang sangat mirip." Damian tersenyum tipis. "Itulah alasannya kenapa aku langsung memilih Alice begitu melihat wajahnya. Dia mengingatkanku kepada Grisa, gadis manis yang selalu kusayangi itu." Mendadak, ekspresi Damian berubah sendu. Pria itu menatap kolam renang dengan sedih. "Apa kau sudah tidak waras? Kau membawa gadis itu ke mari hanya untuk mengobati rasa rindumu, kawan? Oh, ayolah! Aku yakin pasti tidak hanya itu, kau juga akan menyakitinya. Sama seperti Alexis yang hanya kau jadikan pelarian," ucap Andrew dengan nada meremehkan. Damian mendecak. "Jangan membawa Alexis dalam hal ini. Grisa tetaplah Grisa, dan Alice adalah orang lain. Aku tidak akan membuatnya tersakiti, itulah alasannya aku membawanya untuk bekerja di sini ... Untuk mengubah hidupnya yang berantakan dalam hal keuangan. Aku ingin Alice menjadi seperti Grisa, baik dan penyayang," gumam Damian tersenyum licik. "Sudah kuduga. Biar bagaimana pun kau tetap akan menganggap Alice sebagai Grisa, cepat atau lambat ...." Andrew menyandarkan tubuhnya pada bahu bangku. Lalu, menghela napas pelan. "Tuhan tidak mengirimkan sesuatu tanpa arti. Alice adalah pengganti Grisa, tapi mereka tetaplah berbeda, Damian." *** Alice mengantarkan satu nampan berisi kopi kepada kedua pria dewasa yang duduk di balkon dengan perhatian yang terpusat pada laptop itu. Dia berusaha meletakkan dua cangkir kopi dengan sopan. Tetapi, rasanya sedikit risih saat tamu Damian terus saja memperhatikannya tanpa jeda. Apalagi matanya terus tertuju pada bagian tubuhnya. Alice merasa tidak nyaman. "Silakan dinikmati, Tuan," kata Alice mempersilakan. "Tentu saja akan kunikmati." Andrew membalas tanpa sadar. Matanya masih mengamati garis wajah Alice yang memang hampir sempurna itu. Dengan tubuh yang mungil tapi berisi, penampilannya yang seperti itu akan mudah saja menarik perhatian lawan jenis. Damian menyadari Andrew terus saja memperhatikan Alice, dan sikap Alice yang merasa tidak nyaman. Pria itu menghela napas. "Alice, sebaiknya kau kembali saja. Sudah tidak ada yang perlu kau kerjakan lagi. Jika kau ingin menggunakan laptop atau fasilitas apa pun, semuanya tersedia di ruang kerjaku, dengan catatan tidak mengutak-atik file atau pun berkas milikku." Alice menundukkan badannya. "Terima kasih, Tuan. Permisi." Saat Alice berjalan menjauh, Andrew memukul pelan paha atasannya itu. Dia menatap tidak terima jika Damian dengan tiba-tiba menyuruh Alice pergi begitu saja. "Kau ini. Apa kau tidak lihat jika aku sedang menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna itu, hum?" dengkus Andrew merasa kesal. "Kau terlalu lepas kontrol. Sikapmu membuatnya tidak nyaman, Andrew," ujar Damian memperingatkan. "Aku merasa bersalah saat melihat Alice, dia seakan-akan menjadi reinkarnasi Grisa yang meminta pertanggungjawaban karena aku telah membunuhnya dulu," lirih Andrew mengusap wajahnya frustrasi. Saat melihat senyum tipis dari Alice, Andrew seperti melihat bayang-bayang Grisa yang sedang tergeletak bersimbah darah beberapa tahun silam, ketika dia menabrak perempuan tidak bersalah itu. Dan semuanya karena dia yang egois. Dulu Andrew dan Damian selalu saja memperebutkan hati Grisa, dan Andrew marah ketika perempuan itu ternyata lebih memilih Damian daripada dia. Itulah alasannya Andrew menabrak Grisa, dia hanya ingin perempuan itu kehilangan ingatannya, tapi takdir berkata lain. Kesalahan itu membuat rasa sesal terus bersarang dalam hatinya. "Sudah lah. Grisa sudah damai di surga," ucap Damian menenangkan. TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN