Mengusik

1485 Kata
Di kantor, Arthur di sibukkan dengan beberapa dokumen yang sudah tersusun rapi di atas mejanya, dua hari tak bekerja membuatnya harus memeriksa dan menandatangani dokumen itu satu persatu. Tentu bukan pekerjaan yang mudah walaupun hanya sekedar tanda tangan biasa. Ini menyangkut operasional perusahaan yang di jalankan banyak manajemen yang berkaitan. Sebagai pemimpin dan pemilik, Arthur harus benar-benar bisa membagi waktu pada perusahaan, karena ini berkaitan dengan masa depannya kelak. Arthur hanya ingin yang terbaik untuk perusahaannya, jadi ia benar-benar harus memeriksanya dengan teliti. Suara ketukan pintu terdengar, secara bersamaan Laura—sang sekretaris—masuk ke ruangan atasannya, lalu membungkukkan badan menghormati Arthur yang kini mengenakan kacamata bening dengan gagang berwarna hitam. "Tuan, Ny. Leandro ingin menemui anda," ucap Laura, berdiri satu meter dari atasannya. "Suruh masuk saja," ujar Arthur menutup dokumennya. Laura membungkukkan badannya, lalu keluar dari ruangan sang atasan. Di detik kemudian suara khas Ambrela—sang bibi terdengar, membuat Arthur bergegas untuk menyambut kedatangan saudara ibuny a itu. Bibi yang selalu ikut campur pada urusan pribadinya termaksud melarang berhubungan dengan Maureen, entah mengapa bagi keluarga Maureen, semua yang berkaitan dengan status dan derajat, di anggap penting. "Ada perlu apa Aunt kemari?" tanya Arthur duduk di hadapan sang Bibi. “Coba-lah untuk menghubungiku terlebih dahulu, sebelum Aunt kemari,” tambah Arthur. “Aunt sedang ada di sekitar sini, jadi Aunt kemari, sekalian jalan-jalan,” jawab Ambrella. “ “Sepertinya bukan hal itu yang Aunt inginkan,” kata Arthur, menebak saudara ibunya itu. "Baiklah, kamu memang tidak bisa di akali juga,” kekeh Ambrella. “Aunt kemari hanya mau bertanya. Jadi … kamu memilih tetap keras kepala dibandingkan meninggalkan wanita itu?" tanya Ambrela tanpa basa basi membuat ekspresi wajah Arthur berubah serius. Bukan pertemuan yang menyenangkan jika Ambrella selalu membahas dan menyuruh Arthur berpisah dengan wanita yang ia cintai "Yang di maksud Aunty dengan wanita itu adalah Maureen? Maureen adalah namanya, kenapa menyebutnya wanita itu?" tanya Arthur, tak suka. Setiap bertemu bibinya, pembahasan pertama adalah tentang hubungannya dengan Maureen dan itu membosankan. "Siapa lagi yang Aunt maksud kalau bukan dia? Dia tak pantas menjadi bagian dari keluarga kita, Arthur. Dia keluarga seorang p*****r, ibunya Kimberlight adalah seorang p*****r, Arthur, bukan hanya itu dia juga tak pantas masuk dalam keluarga kita karena lihat dia, apa yang di harapkan keluarga kita dari wanita seperti itu? keluarganya pun sudah hancur, tak satu pun yang tersisa dalam dirinya, apa kamu tak bisa memikirkan perkataan ibumu? Ibumu sedang sakit, Arthur, dia menginginkan menantunya adalah seseorang yang bisa dia banggakan. Apa yang harus kita banggakan dari wanita seperti itu?" tanya Ambrela, seraya menyeruput secangkir teh hangat yang di siapkan Laura. "Aku mencintai Maureen, Aunt. Aku sudah mengatakan itu berkali-kali dan aku tak pernah peduli siapa dia dan bagaimana latar belakangnya, karena sesuatu yang Aunt anggap itu salah, tapi itu yang membuatku bahagia sampai saat ini. Maureen yang setiap hari memberikan semangat untukku,” kata Arthur. “Siapa dia? Siapa keluarganya? Itu sama sekali tak aku perdulikan dan tak akan membuatku berpisah dengan Maureen. Jadi aku mohon untuk tidak ikut campur dengan masalah pribadiku. Aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus menuruti semua hal yang Aunt inginkan." "Apa yang bisa kita banggakan dalam keluarga yang hancur seperti itu Arthur? Tak ada, ‘kan? Kamu bisa bahagia dengan cara apapun, tapi tidak bersama wanita itu. Kamu tau jelas jika ibumu menginginkan menantu …." "Menantu yang patut di banggakan? Buat apa? Bangga buat kalian dan tak membahagiakan buatku? Jangan terlalu mengekangku dalam menentukan pilihanku, Aunty, aku sudah dewasa dan aku bukan anak kecil yang harus selalu bersikap sesuai keinginan kalian. Aku terus mengulang perkataan ini agar kalian semua mengerti." Arthur menghela napas panjang. Ia tak ingin terus membahas hubungannya dengan bibinya yang melarang keras.             "Bukankah itu sudah peraturan dalam keluarga kita? Aunty ingatkan, Arthur, keluarga kita tak satupun dari keluarga dengan latar belakang yang tak bisa di jelaskan, jadi tinggalkan wanita itu. Kamu masih memiliki keluarga, apa hebatnya perempuan itu?" "Aku yang paling tahu pasanganku seperti apa. Orang lain berhak memberikan penilaian termaksud keluargaku sendiri, tapi yang memutuskan lanjut atau tidak sepenuhnya menjadi hakku, Aunty. Orangtua sebatas memberi saran sebaiknya aku begini dan begitu. Aku sudah dewasa, sudah bisa menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas keputusanku. Jadi, tidak usah khawatir." Arthur beranjak dari duduknya, dan melangkah menghadap dinding kaca di depannya. ”Yang aku inginkan, hanya bahagia. Biarkan aku bahagia dengan pilihanku sendiri. Aku tidak ingin menjadi bayang-bayang keluarga, yang selalu bertolak belakang dengan keinginanku,” sambung Arthur. Ia hanya ingin bahagia. Apa itu salah? "Intinya kamu akan kehilangan segalanya jika kamu masih memilih wanita itu di bandingkan keluargamu sendiri," ujar Ambrela beranjak dari duduknya dan meninggalkan Arthur yang masih mencoba membela sang kekasih di depan sang bibi. Arthur memijat pelipis matanya. Sungguh perjuangan Ambrela tak sampai di situ saja, ia pun berusaha menemui Maureen, meski Maureen sering kali menolaknya dan tak ingin bertemu.             *** Di cafe, Maureen menunggu seseorang yang telah menelponnya sejam yang lalu, Maureen menikmati Latte buatan cafe ini. Perempuan itu tak menyadari sejak tadi ponselnya bergetar, tapi karena sibuk menunggu ia pun tak menyadarinya. "Nona Maureen Marins?" Suara seorang wanita membuat Maureen berbalik dan melihat sosok wanita setengah baya dengan pandangan yang penuh intimidasi, langkah kaki wanita itu pun terdengar sangar dan sangat tegas membuat Maureen menciut. Yang pasti perempuan itu perempuan berkelas, di lihat dari pakaian yang ia kenakan. "Iya?" "Oh. Jadi kamu Nona Marins?” tanya Ambrella. “Benar,” jawab Maureen, menautkan alisnya. “Anda siapa?” “Kenalkan nama saya Ambrella Hill Leandro, bibinya Arthur," ujar Ambrela membuat Maureen membulatkan matanya penuh. Bibi Arthur menemuinya? Pasti bukan untuk memberi selamat atas hubungannya dengan Arthur, namun untuk membuat Maureen menciut dan meninggalkan Arthur. "Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu? Sampai membuat anda menghubungiku?" gugup Maureen. Membuat Ambrela menyunggingkan senyum kesalnya. "Kamu jangan berlagak polos, karena kamu kesehatan ibunya Arthur menurun, semenjak Arthur meninggalkan mansion, ibunya tak pernah bangun dari tempat tidurnya. Apa kamu tak memiliki rasa kasihan sama sekali? Apa kamu tak bisa berpikir? Pantaskah kamu buat Arthur? Pantaskah kamu masuk kedalam keluarga Leandro? Tinggalkan Arthur nona Marins, ibunya membutuhkannya, ibunya Arthur sering kali mengatakan kepada Arthur, beliau menginginkan menantu yang patut di banggakan, apakah kamu patut di banggakan untuk menikah dengan ahli waris Leandro? Saya sangat tau bagaimana latar belakang keluargamu dan siapa ibumu nona Maureen Marins." Tangan Maureen gemetar, ia meremas celananya. Ia tak sanggup untuk melawan, rasanya mulutnya menjadi kakuh karena kebingungan melandanya. "Kamu pasti selalu berpikir, kenapa Keluarga Leandro tak merestui Kalian berdua? Seharusnya kamu tak boleh menjalani sebuah hubungan tanpa restu dari keluarga seorang pria, lebih baik Nona Marins tinggalkan ponakan saya, masih banyak wanita yang menginginkannya, saya akan sangat berterima kasih jika kamu berbesar hati meninggalkannya dan ada baiknya cintai lah orang yang sepadan." "Saya permisi, Nyonya," ucap Maureen berdiri dari duduknya, ia melangkah keluar dari cafe, ia tak habis pikir siapa yang telah menelponnya untuk bertemu. Tentu menyakiti harga dirinya. Maureen bersandar di sebuah tembok dekat cafe tadi, menarik ulur nafasnya dengan pelan, mencoba membuat hatinya kembali normal. Sungguh menyakitkan di suruh meninggalkan pria yang ia cintai yang membawa setiap separuh jiwanya kemanapun. Ya tuhan...ternyata masalah yang ia takutkan datang juga. Ia memang tak pantas buat Arthur, tapi mereka saling mencintai, mereka sudah menjalin hubungan selama 2 tahun, tinggal bersama seperti sepasang suami istri, tak ada pernikahan di dalam hubungan mereka, tapi keduanya bahagia menjalaninya seperti ini walaupun tanpa ikatan. Air mata Maureen menetes, titik demi titik, ia bingung, mau di bawa kemana hubungan ini? Apakah ia harus bahagia di atas penderitaan orang lain? Apalagi terkait sakitnya ibunya Arthur. Ia baru menyadari sejak tadi ponselnya bergetar. _ My Lovely _ Pria yang sangat ia cintai kini menelfonnya, Maureen sangat takut kehilangan pria ini. Maureen menyeka air matanya menghela nafas agar tak terdengar serak oleh Arthur. "Hallo, Sayang?" "Sejak tadi aku menelponmu. Ada apa, Sayang? Kamu sebelumnya tak pernah tak mengangkat telponmu jadi ini membuatku khawatir." "Aku tak mendengarnya, Sayang," jawab Maureen. "Baiklah, Aku akan Pulang sejam lagi, pekerjaan di kantor sudah aku kerjakan, hari ini aku ingin melihat wajahmu" "Hmm, aku akan menunggumu" ucap Maureen. Maureen mengakhiri telfon dan berjalan menuju Taksi. Sebenarnya Arthur menyuruhnya untuk membawa salah satu mobil yang berada di Mansion tapi Maureen tak menginginkannya, mencintai Arthur saja sudah cukup membuatnya bahagia, harta dan apapun itu tak Maureen butuhkan lagi. # Arthur sampai di Mansion, ia melihat sang pujaan hati sedang membantu Mabell menyiapkan makan siang, Arthur memeluk sang kekasih dari belakang membuat Mabell menggeleng. "Ada apa sayang? Jangan begini, ada Mabell tau" kekeh Maureen berusaha melepas pelukan Arthur. Mabell terkekeh pelan. "Saya akan meninggalkan kalian berdua" ucap Mabell yang sangat paham. Suara Ponsel Maureen terdengar, Pesan Teks baru. _Kamu tau Kan Nona Marins? Jika Arthur lebih memilih dirimu di bandingkan keluarganya, ia akan kehilangan semuanya_ Pesan Teks itu membuat Maureen  kebingungan, di satu sisi ia sangat bahagia melihat kebahagiaan Arthur, tapi di sisi lain ia takut jika karena dirinya Arthur kehilangan segalanya. Siapa dia yang mampu membuat Arthur kehilangan segalanya? "Ada apa sayang? Kamu tak mau makan?" Tanya Arthur membuat lamunan Maureen buyar. "Hmm? Makan kok, ayo makan" "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" "Ga ada sayang, ga ada sama sekali yang mengganggu pikiranku, ayo kita makan" Keheningan itu terjadi dimeja makan, Arthur menikmati makan malamnya, sedangkan Maureen tak menikmatinya sama sekali, ia benar-benar bimbang, apa yang akan ia lakukan dan apa yang harus ia perbuat. FlashBak Off
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN