Perlakuan yang Berbeda.

1152 Kata
"Dek, coba buka! Lihat apa yang ada dalam kotak itu." Mas Doni memintaku melihat isi suatu kotak yang kuyakini adalah tempat perhiasan. Wajah Mas Doni sangat berbinar-binar, seolah yakin aku pasti akan menyukai sesuatu yang ada didalamnya.. Secara perlahan aku bukan kotak persegi empat berwarna biru, yang sepertinya berukuran 20x20cm. Setelah terlihat isi didalamnya, sesuai dugaan, terdapat satu set perhiasan berupa kalung dengan design yang sangat cantik, juga terdapat sepasang anting, juga cincin dan gelang dengan design yang senada. Aku mengangkat bahu, juga kedua alisku secara bersamaan, sambil mengangkat kotak berwarna biru itu. Mengarahkan tatapan kepada Mas Doni. "Ini hadiah dari Mas untuk kamu." Mas Doni berkata, seolah mengetahui maksud dari reaksiku. Tak menampik apa yang aku rasakan, seperti kebanyakan wanita, pasti senang bila menerima hadiah, berupa benda yang menyilaukan Mata ini. "Ini sangat indah Mas! Jujur, aku sangat senang sekali. Tapi kenapa kamu memberikan aku hadiah sebagus ini?" Aku bertanya dengan senyum yang tak bisa aku tahan. "Kamu pantas untuk mendapatkannya, kamu istriku!" Sahut Mas Doni. "Ini hadiah buat kamu, bisnis tanah yang kemarin Mas pegang baru saja 'gol' dan hasilnya lumayan besar." Ucap Mas Doni yang terlihat sangat bahagia. "Terima kasih Mas." Jawabku dengan senyum yang tak bisa kututupi. Aku terlalu takut untuk ikut campur atau mengetahui terlalu banyak mengenai harta yang dimiliki Mas Doni. Selama ini aku tidak tahu dengan pasti, berapa gaji yang diterima Mas Doni setiap bulan dari pekerjaannya. Apalagi tentang uang sampingan, yang Mas Doni dapat dari bisnis-bisnisnya diluar pekerjaan. Sejauh ini aku hanya memegang uang dari yang Mas Doni berikan, yang tak tentu kapan ia ingin memberikannya atau berapa besarannya. "Besok, Mas ambil cuti dikantor. Rencananya Mas ingin ajak kamu dan mamih pergi liburan." Ucap mas Doni dengan sangat bersemangat. "Iya, mas. Aku ikut saja." "Besok bangun dari subuh ya! Kita jemput mamih pagi sekali, langsung kita berangkat." "Apa mamih sudah Mas kabari?" Tanyaku sekaligus mengingatkannya. "Sudah kok, tadi Mas sudah telepon Mamih." sahut Mas Doni. *** Mas Doni cukup royal terhadap keluarganya. Tidak hanya pada mamih, begitu juga pada saudara-saudara kandungan, yaitu kesepuluh kakak-kakaknya. Selain memberikan uang tunai dengan jumlah yang cukup besar, mas Doni juga memberikan mereka hadiah barang yang cukup mewah. Padahal mereka juga merupakan orang-orang yang cukup berada. Sejujurnya, itu tidak menjadi masalah bagiku. Aku malah merasa bangga, karena mas Doni bukanlah orang yang pelit. Aku sendiri istrinya merasa dia manjakan. Seluruh kebutuhan rumah pun Mas Doni penuhi. Hanya saja disaat seperti ini, ketika melihat Mas Doni yang begitu Royal untuk dapat menyenangkan saudara-saudaranya. Aku jadi teringat akan ayah. Aku ingin sekali dapat membantunya, memberinya kebahagian yang belum pernah bisa aku berikan. Mas Doni, untuk saudara yang terbilang berkecukupan saja, dia masih suka memberi, apalagi aku, yang tau bagaimana kondisi keluargaku. Sedih rasanya, aku yang saat ini merasakan hidup dengan nyaman dan serba berkecukupan karena suamiku. Tapi tidak bisa membantu orang tuaku sendiri. Mas Doni sepertinya, tidak ingat akan keluarga yang ada dari pihak aku. Dia tidak pernah menyuruhku untuk memberi sesuatu kepada ibu ataupun ayah, saat dia mendapatkan rejeki besar seperti sekarang ini pun, kedua orang tuaku tidak termasuk kedalam list orang-orang yang akan dia beri. Aku ingin sekali memberanikan diri, bicara padanya meminta persetujuan untuk memberi sedikit yang aku punya kepada ayah dan ibu. Hari ini, Mas Doni merubah rencana awal yang semula bermaksud mengajak aku dan mamih liburan. Menjadi acara keluarga besarnya, diadakan disebuah villa, yang terdapat dikawasan puncak. Pada kesempatan kali ini, hampir seluruh keluarga besar berkumpul, dari nenek, anak sampai cucu-cucu. Mereka sungguh bersenang-senang, acaranya cukup menyenangkan dan seru. Apalagi saat malam hari, ketika semua keluarga berkumpul di satu ruangan yang sangat luas, suasana cukup riuh karena keseruan yang tercipta. Aku yang tidak terbiasa dengan acara seperti itu, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya banyak tersenyum atau tertawa melihat keseruan yang mereka lakukan. "Sini Tar! Ayo ikut games bareng yang lain!" Ajak Kak merry padaku yang sedari tadi hanya menonton duduk dibelakang. "Iya, kak. Kak Merry saja! Aku nggak bisa." Jawabku malu. "Ayo, ah buat seru-seruan saja." Kak Merry sedikit memaksa dengan menarik tanganku. "Ho..ho..! Sungguh kak aku tidak bisa." Aku kembali menolak dengan tetap mempertahankan posisiku. Akhirnya kak Merry pun menyerah akan usahanya. Tidak terlibat dalam games yang diadakan untuk meramaikan acara, aku dan kak Merry lebih memilih banyak mengobrol santai. Diantara semua kakak iparku, aku memiliki kedekatan dengan dua kakak ipar perempuan yang sama-sama menantu dikeluarga ini. Salah satunya kak Merry. malam yang sangat seru itu terus berlangsung sampai dini hari, aku yang merasa mengantuk lebih dulu pergi ke kamar dibanding yang lainnya. *** "Mas, aku boleh nggak memberi uang kepada ayah? Uang yang waktu itu kamu beri, aku masih simpan. Bahkan masih ada cukup banyak." Aku memberanikan diri bicara pada Mas Doni di suatu sore beberapa hari setelah kepulangan kami dari acara keluarga di Villa. Mas Doni yang sedang sibuk dengan ponselnya, sejenak memalingkan tatapan kearahku. Sempat diam sesaat. "Ya, beri saja." Jawabnya singkat. Yang kembali sibuk dengan ponselnya. "Terima kasih ya mas." aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku. "Kalau begitu besok aku boleh pergi kerumah ayah?" Aku kembali meminta persetujuannya. "Hemm.." terlihat Mas Doni mengangukan kepalanya, dengan mata yang masih tertuju pada layar ponselnya. Aku yang telah menerima persetujuan dari Mas Doni sangat merasa bahagia. "Mas, kamu mau aku buatkan sesuatu? Apa kamu mau makan atau nyemil?" Aku menawarkan sebagai bentuk terima kasihku padanya. "Boleh! tapi mas, ingin s**u hangat saja dek." Ucap Mas Doni. "Ya mas." Aku berdiri, berjalan menuju dapur. "Dek." mendengar panggilan Mas Doni aku lantas menghentikan langkah kakiku. "tapi uang yang kamu pegang tolong dipergunakan dengan baik ya! Beri secukupnya saja kepada ayah. Aku tidak tahu kapan bisa memberi padamu lagi." Ada sedikit kecewa yang tanpa aku inginkan hadir setelah mendengar perkataan Mas Doni. Ucapan Mas Doni sangat sederhana, dan merupakan perkataan yang biasa saja. Tapi aku merasa sedih mendengarnya. Bukan bermaksud untuk membanding-bandingkan, tetapi kemarin Mas Doni memberi begitu banyak pada keluarganya, dia bahkan tak berpikir dua kali. Dia banjiri keluarganya dengan hadiah dan kesenangan. Tetapi saat aku hanya ingin memberikan sedikit saja pada ayah, bahkan yang akan aku berikan pun berasal dari uang yang telah Mas Doni berikan padaku, bukan dari bonus besar yang dia dapat kemarin. Tapi dia terkesan tidak luas untuk memberikannya. Ingin rasanya menangis. Tapi sudahlah! Sudah diberi izin saja, aku harus merasa bersyukur. Aku harus pintar-pintar mempergunakan uang yang ada. Aku tidak mau, jika suatu saat mas Doni secara tiba-tiba menanyakan keberadaan uang itu, tapi aku sudah tak memilikinya lagi. Sebab sejauh ini, untuk seluruh kebutuhan rumah mas Doni yang sudah menanganinya, uang yang aku pegang ini hanya untuk keperluan pribadiku saja atau berbelanja sesuatu yang belum di stok dirumah. Terkadang inilah alasanku ingin bekerja lagi, aku ingin dapat memberi banyak hal kepada ayah. Diusianya yang tidak muda lagi, seharusnya ayah sudah beristirahat dirumah. Sebagai anak tertua, harusnya akulah orang yang dapat dia andalkan dimasa tuanya. Sayang, garis hidupku tak berjalan sejajar dengan impianku. Nyatanya banyak liku yang harus aku jalani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN