Pagi itu, saat masih dirumah sebelum berangkat menarik angkutan. Seperti biasanya ayah duduk diteras rumah sambil menghisap rokoknya dengan ditemani segelas kopi panas. Dimana sebelumnya ditemani oleh ku, ayah sudah sarapan terlebih dahulu menikmati nasi goreng yang aku masak subuh tadi, agar Rani bisa sarapan, karena Rani sudah berangkat sekolah dari pagi sekali. Pagi ini ayah menyiapkan kopi nya sendiri sudah beberapa hari ini ibu tidak menyiapkan segala keperluan ayah. Dari kopi, sarapan, makan malam semua, semua keperluan ayah yang biasa nya ibu urus sudah beberapa hari ini ayah lakukan sendiri. Kadang disaat aku sempat atau sedang berada dirumah aku yang mengurusnya. Hanya saja, saat tadi aku akan membuatkan kopi untuk ayah. Ayah mengatakan padaku ingin membuatnya sendiri. Pagi itu ibu terlihat banyak memegang handphone sibuk membalas chat, entah siapa yang menjadi teman chat ibu beberapa hari ini yang ku ingat, ibu menjadi sangat sibuk dengan handphone nya setelah ibu menghadiri acara reuni SMA nya waktu itu. Ayah bercerita pada ku bahwa pagi itu ayah mencoba bertanya pada ibu, mengapa belakangan ini ibu terlihat sibuk – ayah meminta ibu untuk mengurangi aktifitas nya dengan handphone dan lebih baik banyak melakukan komunikasi dengan kami keluarganya, bukan berarti ibu tidak boleh sama sekali memainkan handphone – hanya saja kami merasa rindu berbincang-bincang dengan ibu seperti biasanya. Akan tetapi, nampaknya ibu merasa kurang senang saat ayah menegurnya, sehingga terjadilah pertengkaran di pagi itu dan membuat ibu pergi dari rumah.
***
Selama 3 minggu ini, ada beberapa kali ayah selalu menyempatkan mampir ke rumah nenek sebelum pulang ke rumah. Sejauh ini ayah masih berusaha untuk berbicara dengan ibu dan meminta ibu kembali. Sebenarnya, ayah sendiri merasa tidak mengetahui pasti apa yang menjadi alasan terkuat ibu hingga meminta berpisah darinya, tapi ayah mencoba memahami dan mengerti. Ayah merasa mungkin memang semua ini adalah kesalahannya, mungkin benar selama ini ayah belum pernah bisa membahagiakan ibu, belum bisa mencukupi segala sesuatu yang ibu inginkan. Maka dari itu setiap kali ayah mencoba membujuk ibu pulang, sebagai mana pun ibu menolaknya – ayah selalu berusaha untuk berbicara dengan lembut, ayah memohon pengampunan dari ibu karena selama ini tidak pernah dan belum bisa membuat ibu bahagia dan merasa tercukupi.
Tadi pagi sebelum aku berangkat kerja ayah bilang bahwa sore ini ayah akan kembali mampir ke rumah nenek. Aku pikir, mungkin nanti sepulang nya aku bekerja, aku akan kesana juga menyusul ayah.
***
Belum sempat ku memasukin halaman depan rumah nenek, langkahku terhenti ketika dihadapan mata, ku saksikan ibu sedang berteriak-teriak mengusir ayah. Sakit terasa hati ini, entah mengapa d**a ini terasa sesak – mengapa ibu yang ada dihadapan ku saat ini sungguh tidak dapat aku kenali. Apa sebenarnya yang membuat ibu diluar batas. Saat itu aku melihat ayah hanya terdiam.
" POKOK NYA SAYA MINTA KITA PISAH." Teriak ibu.
" Sudah! kamu jangan menghabiskan tenaga mu bolak balik datang kesini hanya untuk membujuk saya. Sekeras apapun usahamu untuk membujuk saya, saya tidak akan pernah lagi mau pulang kerumah itu. Saya sudah tidak bisa lagi hidup dengan pria tua seperti kamu." Ucap ibu.
Saat itu ayah hanya terdiam mendengarkan semua perkataan ibu yang menyakitkan.
"Kamu harusnya tau diri, selama ini kamu muda dan sehat saja kamu tidak bisa penuhin kebutuhan saya, tidak bisa membuat saya bahagia. Apalagi sekarang tambah tua, juga sakit - sakitan mana kaki jalan juga pincang." Ucap ibu.
Deg!!! Sontak perkataan terakhir ibu membuat air mata ku meleleh tanpa ku sadari. Oh, ayah saat ini kau pasti sangat terluka dengan semua perkataan ibu yang menyakitkan. Oh, ibu apa yang membuat mu begitu keras hati, sehingga kau mampu mengucapkan kata - kata yang begitu menyakitkan pada laki - laki yang sudah menemani hidup mu lebih dari 20 tahun ini. Ibu yang kulihat saat ini benar - benar tidak dapat aku kenali, ibu memang orang yang keras, tapi yang ku tau selama ini ibuku tidak pernah bersikap kasar. Apalagi ini pada ayah ku, yang saat ini masih berstatus suami nya sendiri. Ayah memang berjalan agak terpincang - pincang saat ini, sisa dari sakit nya beberapa bulan yang lalu, saat terserang stroek. Malah aku masih sangat bersyukur, karena ayah hanya pincang kaki kanannya. namun, masih dapat pulih kembali sehat tanpa menjadi stroke yang lebih parah. Walaupun saat ini kondisi nya tidak sebugar dulu – tentu nya itu hal wajar saja, dilihat dari umur ayah yang saat ini hampir memasuki usia kepala enam.
Seperti nya perkataan terakhir ibu juga membuat ayah terkejut, kali ini ayah terlihat menjawab walaupun tetap dengan tenang, tidak membalas sama dengan emosi.
"Cukup! sudah cukup! kendali kan emosi mu jangan sampai kau berkata dan bertindak diluar batas."ucap ayah.
"Baik akan ku turuti keinginanmu, kuhargai pilihan mu yang tetap ingin untuk berpisah, setidaknya aku telah berusaha semampu yang aku bisa untuk mempertahankan rumah tangga ini, karena sebagai imam dalam rumah tangga aku yang akan mempertanggung jawabkannya kelak, bila memang nyatanya keadaan tidak bisa kembali seperti semula maka mulai sekarang, aku kabulkan keinginan mu untuk berpisah dari ku,mulai hari ini aku jatuh kan talak pada kamu – mulai hari ini kita bukan lagi suami istri." ucap ayah dengan nada bicara yang bergetar.
Saat itu, selain aku dari luar pagar rumah nenek, di dalam rumah tepat nya dibelakang ibu juga ada nenek dan mang bagja adik ibu yang menyaksikan. Sebelumnya mereka tentu sudah berusaha menengahi, tapi nyata nya ibu sudah sangat bertekad dengan pilihannya untuk berpisah.
Lalu ayah pun pamit pergi, memcium punggung tangan nenek, sambil meminta maaf bila selama ini ia memiliki banyak salah dan kekurangan selama menjadi menantu. Terlihat nenek pun menangis dan minta maaf bila ada perlakuan putri nya yang menyakitkan dan melukai menantunya tersebut. Dan ayah pun berlalu seraya mengucapakan salam.
"Assalamualaikum." Ucap ayah.
"Waallaikumsalam."
Setelah membalikkan badan, mata ayah tertuju padaku yang sedang berdiri di pintu pagar. Sebelum melewatiku, ayah menghentikan langkahnya terlebih dahulu tepat di hadapanku.
Sambil mengusap lembut rambut ku, ia berkata, "maaf kan ayah yang kalah dan menyerah, maaf kan ayah karena tidak bisa menepati janji ayah untuk membawa ibu kembali pulang. Semoga teteh mengerti dan memahami keputusan ayah."
Aku sungguh tidak bisa berkata - kata, d**a ini terasa sesak, tenggorokan ku terasa ada yang mengganjal, seluruh wajah ku telah penuh air mata. Aku hanya sanggup menganggukan kepala pada ayah, tanda mengiyakan. Tidak apa - apa ayah aku tau semua usaha yang telah ayah lakukan untuk dapat membawa ibu kembali pulang. Bila semua jalan nya harus seperti ini tidak apa-apa ayah, aku sungguh tidak apa-apa, aku tidak ingin ayah terluka. Aku sangat menyayangi ayah. Semua hanya dapat terucap dalam hati.