"Saya nikahkan engkau...."
Brug-brug-brug!
Ucapan penghulu terjeda dengan terjadinya keributan di luar ruang akad nikah. Serombongan polisi merengsek masuk ke dalam kerumunan hadirin yang mulai riuh berteriak karena panik.
"Jangan bergerak!" seru seorang polisi sambil mengacungkan pistol. Suasana riuh mendadak hening.
"Saya Yudha Gunawan, pejabat polisi yang bertugas dalam operasi tangkap tangan kasus penipuan yang marak beberapa tahun terakhir."
Semua orang terpana memandangi polisi berbadan tegap yang berdiri di ambang pintu sambil mengedarkan pandangan ke dalam ruangan, di tangannya terulur sebuah pistol membuat takut siapa pun yang melihatnya.
Polisi itu mendekati calon mempelai pria yang duduk di hadapan penghulu, lalu menarik tangan pria itu hingga berdiri. Semua mata memperhatikan mereka berdua tanpa berkedip. Raut penasaran menghiasi tiap wajah para hadirin.
"Kamu yang bernama Feri Hartanto?" tanya polisi itu lagi. Calon mempelai pria hanya terdiam, menatap polisi itu sambil mengernyit.
"Ada apa ini, Pak?" Penghulu dan seorang pria paruh baya segera berdiri menengahi ketegangan.
"Pria ini yang sedang kami cari-cari, namanya Feri Hartanto," jawab polisi itu dengan suara tegasnya.
"Maaf, tapi namanya buka itu, Pak, namanya Ahmad Zakariya." Penghulu menukas.
Polisi tadi menunjukkan beberapa buah kartu dengan nama Feri Hartanto, tetapi wajahnya sangat mirip dengan calon mempelai pria. Penghulu memperhatikan kartu-kartu itu, lalu menunjukkannya pada lelaki di sebelahnya.
"Sama wajahnya, Pak," ujar penghulu memandang pada lelaki di sebelahnya yang tak lain adalah ayahnya calon mempelai wanita.
"Dia ini penipu ulung yang sudah lama kami cari-cari. Kami sudah mengincarnya sejak menemukan undangan pernikahan ini dari salah satu rekan saya. Biarkan kami membawa dia untuk diperiksa di kantor polisi," papar polisi itu lagi.
Semua orang kembali tercengang, tidak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi. Ucapan istighfar dan pekikan keterkejutan kembali menggema di dalam ruangan berukuran lima kali lima itu.
"Saya bukan penipu! Kalian salah orang!" seru calon mempelai pria.
"Pri, perlihatkan bukti-buktinya!" seru pria itu. Tidak lama kemudian, seorang polisi maju membawa sebuah dokumen.
"Silahkan diperiksa, semua bukti ada di sini."
Karena semua bukti menunjukkan bahwa calon mempelai pria benar-benar tersangka, tidak ada yang dapat menahan para polisi memasang borgol di pergelangan tangannya, lalu menyeret pria itu keluar dari ruang akad.
"Saya bukan penipu! Kalian salah orang! Lepaskan!" Pria itu terus berteriak-teriak dan meronta-ronta agar terlepas dari cengkeraman tangan kekar para polisi.
"Diam!!!" seru polisi sambil memukul tengkuk pemuda itu dengan tongkat yang mereka bawa.
***
Sementara di bagian belakang, tempat para wanita menempati posisinya, Ayenara Giordano sebagai calon mempelai wanita pingsan seketika akibat keterkejutan dan kepanikan yang bersatu dalam hatinya.
"Ay, bangun, Nak! Ay...!" seru sang ibu sembari menepuk-nepuk kedua pipi putrinya.
"Bawa ke kamar saja, Bu, supaya dia istirahat, dia pasti syok menyaksikan kejadian barusan." Salah seorang ibu menyarankan.
Akhirnya Ay dipindahkan ke kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantinnya. Ibunya menemaninya sambil terus memanggil-manggil namanya. Sementara ayahnya menemani para tamu hingga mereka pulang.
Perlahan Ay membuka mata. Yang pertama kali tertangkap indra penglihatannya adalah ibunya yang sedang menangis sambil mengurut-urut jemarinya.
"Mama?" ucapnya pelan. Mata lentiknya mulai melebar, iris matanya yang kebiruan segera beradu tatap dengan milik sang ibu. Kedua alisnya yang rapi meski tidak tercukur saling bertautan tanda kebingungan.
"Kamu sudah sadar, Nak?" tanya sang ibu disela isak tangisnya.
Ayenara kembali terpekur, mengingat kejadian terakhir yang berlangsung begitu sangat cepat. Ia masih mengingat suara penghulu yang hampir saja menyerahkan dirinya pada pria itu, lalu tiba-tiba sekelompok polisi datang dan mengatakan jika pria itu adalah seorang penipu ulung yang sudah lama mereka cari. Oh, Ya Allah..., kenapa bisa ada kejadian seperti itu? Dan nahasnya itu menimpa dirinya.
Yang ia tahu, pria itu bernama Ahmad Zakariya melalui perantara seorang teman pengajiannya. Dari penampilan dan curriculum vitae yang diserahkan si pria, pemuda itu tampak baik, religius, berwawasan, dan dari keluarga baik-baik. Memang saat akad dan resepsi keluarga sang pria tidak bisa hadir karena berada di luar kota. Juga dari sejak awal menjalani ta'aruf dengan pria itu, hanya melalui teman kajiannya dan seorang ustadz saja, tidak melibatkan orang tua dan keluarga si pria. Secara umum semuanya tampak normal, tidak ada yang salah. Bukankah hal yang wajar jika pria mengurus pernikahannya sendiri di tanah rantau? Bahkan pria itu menyanggupi memberikan mahar yang nominalnya tidak sedikit.
Ia menghela napas berat, menatap ibunya lekat-lekat, beruntung ia belum sah menjadi istri pria itu. Bisa hancur hidupnya jika sampai ijab kabul sudah dibacakan tadi.
"Minumlah dulu." Ibunya mengulurkan segelas air putih. Ay segera meraih dan meminumnya hingga tandas.
"Ma, maafin Ay. Ini semua salah Ay nggak selektif milih calon pendamping." Ay berpindah berbaring di pangkuan ibunya.
Salah pilih? Sebenarnya tidak sama sekali. Meskipun usianya sudah menginjak 27 tahun, ia tidak pernah sekali pun memilih pasangan secara acak. Ia memiliki standar tersendiri dalam memilih pasangan. Pria yang berhak mendampinginya harus memenuhi kriteria tampan, terpelajar, religius, konsisten, mapan atau terlihat pekerja keras, penyayang, berjiwa sosial tinggi. Tentu saja hal itu ia terapkan karena ia sendiri sebagai seorang wanita yang religius, menutup aurat, dan menjalankan prinsip-prinsip keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dan 80 persen kriteria itu ada pada sosok Ahmad Zakariya. Ah, bukan Ahmad Zakariya, tapi Feri Hartanto ternyata namanya!
"Enggak, Ay. Ini semua takdir dari Yang Maha Kuasa agar kamu bisa lebih dewasa dan tidak terlalu pilih-pilih calon pendamping, akhirnya malah salah pilih, kan?" Ucapan sang ibu menguatkan sekaligus menyindir. Sebab memang sudah banyak calon yang ibu dan ayahnya pilihkan, namun sama sekali tak diterimanya satu pun di antara mereka.
"Mama...," rajuknya manja. Ibunya segera mengelus punggungnya dengan lembut sambil tersenyum. Kepalanya yang tertutup jilbab tidak mengurangi kecantikan wajahnya yang blasteran meskipun kesedihan menutupinya.
Tidak lama kemudian, papanya masuk ke dalam dan duduk di sofa. Pria berwajah tegas dengan alis tebal dan mata indah khas pria Italia itu menatap putri tunggalnya penuh iba. Untuk urusan pernikahan ia tidak pernah merasa resah, sepenuhnya ia serahkan pada Sisilia, istrinya.
"Tidak apa-apa, beruntung semuanya terjadi sebelum ijab kabul diucapkan, jadi tidak ada yang perlu disesalkan. Ayo, sekarang kita pulang. Para tamu sudah pulang semuanya. Kita tinggal mengirimkan pesan boadcast pembatalan resepsi." Ayahnya, Chicco Giordano, menghibur kekalutan hati putri kesayangannya.
Ay segera berganti pakaian, lalu berkemas untuk pulang kembali ke rumahnya. Kembali sebagai gadis single tanpa pasangan ketika sudah dalam perjalanan pulang.
"Ma, Pa, gimana nanti kalo keluarga dan teman-teman tanya, apa aku jawab?" Ay mengutarakan kegelisahan hatinya.
"Jawab saja apa adanya. Kamu juga, Ay. Lain kali dengar apa kata Mama sama Papa, kamu ingat usia kamu sekarang berapa? Mau sampai kapan terlalu pilih-pilih begitu?" Sepertinya sang ibu masih menyimpan dongkol dalam hatinya.
"Ma, sudah," tegur papa. Mama hanya menghembuskan napas kasar, lalu kembali terdiam. Suasana di dalam mobil kembali hening, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi.
Setelah tiba di rumah, papa memasukkan mobil ke garasi. Rumah mereka cukup besar dengan halaman yang sangat luas. Papa sangat menyukai bermain golf sehingga membuat lapangan sendiri di salah satu sisi halaman. Sementara di bagian paling ujung dibuat bangunan kecil sebagai ruang kerja Ayenara. Ia seorang penulis kontrak di sebuah penerbitan mayor terkemuka, juga menjadi ghost writer dan penulis di berbagai platform kepenulisan online jika sedang tidak banyak jadwal menulis di penerbit mayor.
Setelah mobil terparkir sempurna, semua penumpang segera turun dari mobil. Para asisten rumah tangga segera berhamburan menyambut kedatangan tuan rumahnya, mengambil barang-barang bawaannya, lalu membawa masuk ke dalam rumah.
Eh, tapi mereka heran, tuan rumah mereka masih tetap berjumlah tiga orang, ke mana suami Non Ayenara??????? Mereka hanya saling pandang tanpa bertanya lagi, lalu terus melanjutkan pekerjaan mereka.
Bersambung...