Sampai di rumah sakit. Clara masih duduk sejenak di ruangannya. Dia teringat tentang temannya. Dan berpikir untuk segera menghubunginya. Beberapa pasien sudah ditangani oleh temannya.
---
Mau menghubungi Clara. dalam hitungan detik sahabatnya itu menerima panggilan telfonya.
“Hallo.. Clara! Kamu di mana sekarang. Kamu tahu kalau aku sekarang tugas di Jakarta.” May begitu bahagianya menghubungi sahabat lama yang tidak pernah lagi bertemu. “Kamu tahu gak aku kangen sama aku.” Ucap May.
“Sejak kapan kamu di Jakarta? Kenapa kamu tidak memberi tahu aku?” suara kesal itu terdengar di ujung sana.
"Sekarang kenapa kamu tidak pernah memberitahu kabar sama sekali. Sudah lupa?"
“Hehe. Iya..Maaf, maaf! Aku terlalu sibuk sampai lupa menghubungi teman aku yang satu ini.” Ucap May tersenyum tipis.
“Ya, semenjak kamu jadi dokter. Kamu jarang sekali menghubungiku. Tidak di Jakarta maupun di luar negeri. Sama saja.” Clara duduk di kursi kerjanya senyaman mungkin.
“Oh, ya. Mungkin sekarang kamu sudah punya kekasih. Jadi waktu kamu selalu habis untuk pekerjaan dan kekasih kamu.” Lanjut Clara menggoda.
“Ah… Clara, aku masih sama.” May mengerutkan bibirnya.
“Sama apa?”
“Masih sama seperti dulu. Belum ada pasangan sama sekali.” Helaan napas kesalnya terdengar di balik telfon.
“Oh, ya. Katanya kamu sudah menikah?” Tanya May.
“Iya.. Aku menikah dan kamu tidak datang ke pernikahanku.” Gerutu Clara kesal.
“Dan aku gak mau tahu, lain waktu kamu harus main ke rumah aku. Dan aku akan kenalkan kamu dengan suamiku.”
“Haha.. Baiklah! Tapi, jika aku tidak sibuk.” Ucap May sambil terkekeh kecil.
“Eh.. Ra, apa kamu tidak takut mengenalkan suami kamu ke aku?” Tanya May mencoba menggoda Clara lagi.
"Kenapa juga aku harus takut. Memangnya kamu mau suami bekas aku?” Tanya Clara menusuk hati May.
“Hahaha.. Enggaklah! Memangnya di dunia ini tidak ada laki-laki lain. Dan gak mungkin juga aku suka sama suami teman aku sendiri.” Ucap May. Dia tidak berhenti tertawa terbahak-bahak.
“Dokter May, ada pasien darurat.” Suara seorang suster itu menghentikan pembicaraan May dan Clara.
May menoleh. “Baiklah, saya akan segera ke sana.” Ucap May, tersenyum tipis.
“Clara, aku matikan dulu. Nanti kita sambung lagi. Kamu dengar sendiri, kan tadi.”
“Iya, iya… Tenang saja.” Ucap Clara.
May menutup panggilan telfonnya. Dia segera beranjak dari dari duduknya. Meletakkan ponselnya di atas meja. Ia mengambil baju putihnya. Dan segera keluar dari ruangannya.
Seorang berbaring lemas di tempat tidur dorong. Dan beberapa perawat berlari membawanya ke ruang gawat darurat.
“Gimana?” Tanya May. Ia melihat wajah tampan laki-laki itu masih terlihat sangat jelas. Meski sebagian sudah dilumuri darah segar.
“Doa terkena luka tembak di perutnya.” Ucap salah satu perawat.
“Baiklah, segera bawa ke ruangan. Saya akan segera mengeluarkan pelurunya.” Ucap May.
Laki-laki itu membuka matanya sedikit. Ke dua matanya tertuju pada May. Ia meraih tangannya, mencengkeram erat pergelangan tangan May.
“Aku mau kamu semua yang menanganinya. Jangan ada bantuan dari perawat.” Ucap laki-laki itu. May mengerutkan keningnya bingung. Gimana bisa dia bisa berbicara normal tanpa merasa sakit sama sekali.
“Apa perutmu tidak sakit?” Tanya May. Dan laki-laki itu hanya tersenyum tipis.
Para perawat segera membawanya masuk ke UGD. “Kalian semua keluarlah, biar aku yang akan menangani dia.” Ucap May. Semua mata perawat menatapnya. Sebenarnya mereka tidak tega membiarkan May sendiri menanganinya.
May menghela napasnya. Dan tersenyum tipis.
"Kalian tahu sendiri. Pasien ini sangat cerewet. Aku tidak masalah menanganinya sendiri.”
“Baik, dok.” Para perawat segera keluar, menutup pintunya.
---
“Gimana, apa masih merasa sangat sakit?” Tanya May. Menghadirkan senyum tipis terukir di bibirnya. Ia meraih tangan May, menarik tangannya, hingga wajah mereka saling berdekatan. Kedua mata mereka saling tertuju. May menelan ludahnya seketika. Degup jantungnya tak beraturan. Hambusan napas mereka saling berpacu dalam diam.
“Maaf, lepaksan.” May mengalihkan wajahanya. Dan segera berdiri tegap.
“Aku harus segera mengeluarkan peluru di perut kamu.” Ucap May. Ia memakai sarung tangan membalut kedua tangannya. Pandangan melirik pada benda terbuat dari satainless yang masih tergeletak di tempatnya.
"Diamlah, aku akan menangani. Dan tahan jika sakit." ucap May. Dia mulai meraih beberapa alat untuk mengambil peluru di sedikit ke kiri. Memang tidak terlalu dalam Dan mudah sekali di hamilnya.
Hanya dalam hitungan menit saja. May sudah berhasil mengambil peluru di perut kiri laki-laki itu. Tak lupa dia segera menjahit sedikit lukanya.
"Sakit?" tanya May.
"Tidak!" tegas laki-laki itu. Pandangan matanya tidak hentinya terus menatap setiap gerakan May.
"Saat aku melihat wajah cantikmu. Seakan rasa sakit itu mulai hilang." godanya.
May mulai melepaskan sarung tangannya. "Kamu bisa pakai baju kamu sendiri, kan?"
May melangkahkan kakinya pergi. Ya, May memang tidak suka sama sekali di goda. Dia terlihat sangat ilfil. Apalagi dengan laki-laki baru.
"Sudah, sekarang lebih baik. Anda istirahat. Dan aku akan panggilkan suster untuk merawat kamu."
Kaki-laki itu menarik tangan May. "Kamu tidak ingin tahu siapa namaku?" bisiknya. "Panggil aku Kin."
"Maaf, saya tidak berminat untuk tahu nama anda." May menarik tangannya. Tersenyum tipis. Dan segera beranjak pergi.
"Gimana susah selesai?" tanya Nana, teman sesama rekan dokter. Dia dari tadi menunggu May keluar dari UGD.
"Kepalaku rasanya mau meledak kalau bertemu dengan pasien aneh setiap harinya."
"Wajah kamu terlalu cantik. Sampai banyak wanita iri melihatnya. Bahkan laki-kaki mana yang tidak tergoda olehmu."
Clara berjalan menuju ke toilet. Ia membasuh ke dua tangannya. Dari sisa darah yang menempel di tangannya.
"Kamu tahu, aku paling tidak suka dengan laki-laki sok dekat."
Nana tersenyum, duduk di atas wastafel sembari menatapnya.
"Kenapa? Lagian kamu terlalu lama sendiri. Apa kamu tidak ingin mengakhiri kesendirianmu itu."
"Aku belum melihat laki-laki yang cocok untukku." May mengambil handuk kecil Mengusap ke dua tangannya.
"Kamu tahu, semua kaki-laki pasti sama saja hanya bisa menyakiti." ucap May lagi.
Melangkahkan kakinya keluar dari toilet. Dan Nana mengikuti kemanapun dia pergi.
"May… Setidaknya bukalah hati pada kaki-laki. Lagian laki-laki tadi tampan juga."
"Laki-laki aneh itu?" May menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa bayangkan jika bersama dengannya.
"Aneh gimana? Bukanya dia sangat tampan."
"Kamu tahu gak, tadi dia kena luka tembak. Meski sedikit tapi masak iya. Dia tidak merasa sakit sama sekali." tanpa sadar May sudah berada di ruangannya kembali.
"Haha.. Mungkin dia sudah terlalu lama merasakan sakit hati. Jadi sudah tidak bisa merasakan sakit lagi." tawa temannya menggema di ruangannya.