Delapan jam sebelum berita kematian disiarkan ....
Udara di sana sangatlah pengap. Bau keringat bercampur ruah dengan aroma apek, kayu lapuk, dan besi berkarat. Terkurung di sana selama satu jam saja dapat membuat Ery terserang sakit kepala hebat. Apalagi selama berhari-hari. Bukannya menyelesaikan misi, bisa-bisa Ery malah dilarikan ke ruang mayat sebelum korbannya tiba di sana.
Untungnya dia datang ke sana dengan persiapan lengkap. Cukup membawa masker kain yang sudah dia beri parfum beraroma lavender lembut untuk membendung bau busuk yang ada. Walaupun dia sempat berpikir membawa tabung oksigen yang langsung ditolak keras oleh kedua rekannya.
Sempit, gelap, dan bau. Jika Ery diberi pilihan, dia tidak akan lagi memilih bersembunyi di celah antara dinding. Hari ini adalah salah satu pelajaran besar bagi dirinya. Untuk misi ke depannya, dia akan kembali ke kebiasaannya dulu--mengawasi melalui loteng--itu pun bila targetnya tinggal di rumah dan bukannya hotel bintang satu yang kebersihan tiap sudut ruangan patut dicurigai.
Hari ini Ery tidak sendirian. Will dan Ped yang satu profesi dengan dirinya, yaitu hitman, sedang mempersiapkan eksekusi terhadap target yang sudah diawasi selama tiga hari. Target diketahui akan pergi ke Afrika untuk mengambil pasokan senjata untuk dia obral lagi di kota Nirva. Maka, kebiasaan mereka untuk mengawasi target minimal 4-5 hari harus dipercepat sebelum target keluar dari wilayah berburu mereka. Selama masa pengamatan, Ery selalu mempersiapkan strategi untuk hari penghakiman targetnya.
Ery, Will, dan Ped selalu memberi nama panggilan untuk tiap target. Kali ini mereka memanggilnya Gori dari kata gorila. Alasannya sepele, sebab target memiliki perut yang buntal serta bulu badan yang lebat di sekujur tubuhnya. Mirip sekali dengan gorila, begitu pikir Will.
Gori memiliki rutinitas yang jarang dia langgar, tipe mangsa yang paling Ery sukai.
Setiap jam delapan pagi, Gori akan turun ke kafetaria hotel dan memesan dua gelas kopi yang ditemani dua roti lapis ham komplit dengan keju cheddar bertumpuk tiga. Dia akan menghabiskan sarapannya sambil menggunakan laptop untuk berbisnis, menjajah dagangannya di dark web. Sekitar jam sepuluh pagi, dia akan kembali naik ke kamar dan bersiap untuk pergi menemui kliennya yang sudah memesan di hari sebelumnya. Gori orang yang tepat waktu. Dia pasti akan keluar dari hotel jam 11 siang dan akan pulang pada jam 11 malam. Entah Gori terobsesi dengan angka 11 atau itu memang kebiasaannya. Hal ini sempat membuat Will penasaran dengan isi kepala si Gori.
Setiap hari adalah hari yang sama untuk Gori. Dia tidak menyadari bahwa Ery sedang merancang panggung kematian untuk dirinya. Ery pun puas dengan mempersembahkan tempat yang sangat strategis khusus untuk Gori, yaitu kamar mandi.
Gori ternyata masih memiliki kebiasaan yang sangat unik. Ritual malam yang tidak biasa.
Setiap malam setelah bekerja, dia akan segera pergi ke kamar mandi dan mempersiapkan bak mandinya. Setelah melepaskan semua pakaian, dia akan melakukan hal 'itu'; merenggangkan lehernya yang kaku dengan menggunakan handuk panjang yang diikat di sela engsel pintu paling atas di kamar mandi.
Will yang bertugas mengawasi Gori selama tiga hari di dalam dinding sempat tidak percaya dengan apa yang dia lihat setiap malam. Kebiasaan aneh itu adalah kesempatan emas yang dapat disulap menjadi sebuah kecelakaan yang mematikan.
"Will ... apakah kamu yakin dia akan melakukannya lagi?" tanya Ery memastikan. Suaranya teredam dengan masker kain yang samar-samar tercium aroma lavender.
"Tinggal di celah dinding tiap 12 jam selama tiga hari--tentu saja aku yakin akan hal itu." Will menjawab dengan bangganya.
"m***m," gumam Ped yang duduk di sebelah Ery.
Spontan Will menoleh ke arah Ped dan melayangkan pandangan menusuk. "Apa kamu bilang, Ped?"
Ped pun menjawab, "Lupakan." Tanpa memberi ekspresi yang berarti.
Will tersenyum miring. "Oh, kamu cemburu, ya? Gara-gara kamu engga dapat apa-apa dari hasil membututi dia selama di luar hotel."
"Gori lumayan pintar. Dia selalu berganti tempat pertemuan dengan tiap konsumennya." Ped terlihat tidak termakan sindiran Will dan menjawabnya dengan santai.
Ery mengangguk pelan. "Sehingga panggung pembalasan sangat tepat berada di sini."
"Apakah itu artinya aku lebih berguna dibandingkan Ped, Ery?" tanya Will dengan mata berbinar-binar.
Senyum lembut terbentuk dari bibir tipis Ery. "Tentu saja."
Rasa senang tak dapat dibendung lagi dari wajah Will. Pria bermata hijau itu kembali mengawasi kamar Gori dari lubang kecil seukuran jari kelingking yang dia buat sebelumnya.
Berbeda dengan Will yang puas, Ped tampak semakin muram. "Jadi orang m***m aja bangga," sindir Ped dengan ekspresi jijik.
Dahi Will mengerut sangat dalam. "Apa kamu bilang, Ped? Coba kamu ulangi lagi?"
Bukannya membalas pertanyaan Will, Ped malah kembali melihat celah kecil yang ada di hadapannya. "Bisa-bisanya ada orang yang punya kebiasaan buruk seperti itu. Dia cari mati."
"Ped, jangan alihkan pembicaraan!" Will mendengus tidak suka.
Kesal, dia mencoba meraih punggung Ped yang untungnya segera dihentikan oleh Ery. Dalam ruangan yang lebarnya hanya cukup diisi satu orang, Ery dapat dengan mudah melerai dua rekannya yang sangat suka berbeda pendapat.
"Kita sedang bekerja sekarang. Bisakah kalian menjaga sikap?" tanya Ery dengan nada suara yang ditekankan pada kata terakhir. "Baru saja dibicarakan. Dia sudah datang."
Suara gemerincing kunci terdengar di luar, membuat mereka bertiga kembali fokus dengan misi. Sesaat pintu berhasil terbuka, Gori pun masuk ke dalam kamar dengan raut wajah lelah. Malangnya, dia tidak menyadari bahwa ada tiga pembunuh yang sedang bersembunyi di balik dinding.
Dia lemparkan koper hitam ke tempat tidur dan segera pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan bak mandinya. Suara air mengalir memenuhi kamar hotel. Setelah air sudah memenuhi seperempat bak, dia tuang beberapa mili sabun cair dan berlalu.
Sementara dia bersiap untuk melucuti pakaiannya sendiri, Ery segera memasang sarung tangan, melepas masker wajah, dan mengembalikannya ke dalam tas ransel. Tidak boleh ada barang yang tertinggal di TKP--bunyi peraturan pertama dari teknik membunuh ala 'Nemesis' atau 'Dewi Pembalasan'--nama panggilan Ery di dunia bawah. Mau itu sidik jari, rambut, keringat, darah, dan barang apapun itu yang berasal darinya. Jejak keberadaannya di sana harus benar-benar lenyap tertiup angin malam.
"Ery, kamu yakin bisa menghadapinya sendiri? Tubuh sebesar itu bisa membuatmu kewalahan," bisik Ped cemas.
Ery sejenak menghentikan persiapannya. "Ped, kamu meragukan diriku?"
"Tidak."
"Kalau gitu, santai saja. Lihat dan nikmati."
Will menepuk-nepuk punggung Ped pelan dan berbisik ke telinganya. "Hei, Bed*. Kutau kamu sangat mengkhawatirkan Ery. Tapi tenang saja, jika situasi semakin memburuk, aku akan menyelamatkan Ery dengan penuh gaya."
Ped berbalik ke arah Will dan balas berbisik ke telinganya. "Aku meragukannya. Dan hentikan memanggilku Bed, namaku Ped, I-L-L*."
"Dan hentikan juga memanggilku seperti itu. Kamu kira aku sakit."
Ketika Gori kembali masuk ke kamar mandi, dia menyempatkan diri untuk menyalakan sebuah musik instrumental dari ponsel pintarnya, Moonlight Sonata. Lantunan melodi piano Beethoven yang sarat akan makna membuat Gori semakin larut dalam dirinya sendiri. Melupakan keadaan sekitar. Menurunkan tingkat kewaspadaannya.
Ery memberi kode kepada Will dan Ped untuk tetap berada di posisi. Mereka mengangguk sekali, paham.
Gori mengambil handuk yang tergantung di balik pintu dan mengikat tiap ujungnya di engsel pintu teratas. Melihat kesempatan, Will mendorong dinding kaca yang selama ini adalah cermin yang terpasang di kamar mandi. Terdapat lubang besar yang mereka buat tepat di balik cermin sehingga lubang tersebut bisa ditutupi kapan saja dan diperbaiki dengan cepat.
Ery mengendap-endap di belakang Gori menuju sisi lain pintu. Gori sudah bersiap di posisinya untuk memulai perenggangan.
Saat itu juga, Ery langsung menarik simpul di engsel pintu, menariknya dengan sangat kuat ke arah bawah.
Leher Gori sontak tertarik ke sudut pintu, membuatnya meronta-ronta berusaha melepaskan handuk yang melilit di lehernya.
Ery segera mencegah usaha Gori dengan semakin menarik handuk itu lebih dalam. Tidak kehabisan akal, dia meraih sabun cair yang berada di atas nakas, menuangkannya di sekitar kaki Gori.
Licinnya lantai membuat pria itu berkali-kali terpeleset dan sulit mendapatkan keseimbangannya kembali. Wajah Gori mulai memerah. Suaranya tertahan di pangkal lidahnya. Tangannya bergerak tak karuan mencoba meraih udara kosong. Ternyata pria dengan tubuh lumayan kekar itu bisa dikalahkan dengan hanya sebuah handuk putih.
Tidak sampai satu menit, pria itu mulai kehilangan kesadarannya dan mati kehabisan napas.
Ery memberi tanda untuk Will dan Ped keluar dari tempat persembunyian. Will pun keluar dari lubang, mendekati Ery di dekat pintu kamar mandi.
"Seperti biasa, penampilan Ery sangat memukau," ujar Will sembari bersiul pelan.
"Terima kasih atas sanjungannya, Will," balas Ery sambil menaruh sabun cair yang tadi dia tumpahkan ke atas nakas dalam posisi terbaring.
Sementara Ery dan Will sibuk menghapus jejak mereka. Ped sejenak memandang Ery dengan intens dari balik dinding.
"Ped, kamu tidak ikut membantu?" tanya Ery.
Ped melayangkan senyum palsu. "Aku di sini saja menyiapkan semen untuk menutup lubang."
Ery yang tidak memahami apa yang dipikirkan Ped memilih tidak banyak berbicara dan kembali ke pekerjaannya bersama Will.
Setelah yakin tidak ada lagi barang bukti yang dapat menjerat nama mereka, Ery dan Will kembali masuk ke dalam lubang, menutupnya kembali dengan cermin, lalu menambalnya dengan beberapa bata dan semen.
Mereka keluar melalui lubang lain yang juga tembus ke sebuah kamar kosong--tepat di sebelah kamar Gori. Kamar itu sudah mereka pesan selama satu minggu. Sehingga tidak akan ada yang curiga bahwa mereka ke sana untuk membuat lubang besar di hotel tersebut. Mereka kembali menutup lubang terakhir dan berhasil menyelesaikannya sebelum tengah malam.
Mereka bertiga mengambil semua barang perkakas yang ada dan melemparnya ke luar jendela, menjatuhkannya tepat di mobil bak terbuka milik Will yang diparkir di gang belakang hotel. Tiga menit kemudian, mereka bertiga sudah meluncur ke jalan raya. Meninggalkan hotel seakan tidak terjadi apa-apa.
"Satu lagi korban dari Nemesis." Will memecah keheningan di dalam mobil. "Aku berharap aku bisa secermelang Ery dalam bekerja. Akhir-akhir ini aku sepi pelanggan. Banyak orang tidak ingin memakai jasa pembunuh bayaran yang menggunakan senjata berat atau pembataian besar-besaran."
"Kamu terlalu mengekspos teknikmu, Will. Ah, bukan. Dewa Ajal, Moros." Ery tertawa kecil. "Coba kamu belajar sedikit dari 'Hypnos'. Dia memiliki teknik yang hampir mirip denganmu."
Ped menghela napas dengan malas. "Jangan samakan aku dengan Will, yang suka buang-buang peluru seperti melempar permen ke kerumunan anak-anak yang kecanduan gula. Satu peluru untuk satu kepala adalah seni yang tidak akan pernah ada yang bisa menandinginya."
Will mengetuk-ngetuk kemudi sembari menjaga arah mobil tetap berada di jalurnya. "Oh, maaf ya, kalau aku serakah dalam menggunakan peluru. Oh, oh, oh, aku baru ingat sesuatu--siapa ya, yang tidak bisa menghadapi musuh dalam jumlah besar? Yang kewalahan ketika dia dikeroyok dalam waktu bersamaan?"
"Siapa? Aku tidak mengenalnya."
"Tentu saja kamu tidak mengenalnya, sebab itu dirimu, bodoh!"
"Diam kamu, Moron*!"
"Kamu juga, Hippo*!"
Ery tertawa semakin menjadi-jadi melihat Will dan Ped tidak henti-hentinya menyindir satu sama lain.
Ped yang malas melanjutkan perdebatannya, memilih berbincang dengan wanita yang duduk di sebelahnya. "Ery, apakah kamu yakin tidak akan mengambil pekerjaan untuk memburu anggota parlemen yang lagi heboh di media massa?"
"Tidak. Kenapa?"
"Sayang sekali. Padahal bayarannya besar, apalagi dibayar di muka. Kita bisa berlibur ke Hawaii untuk beberapa bulan."
"Apakah sebegitu inginnya kamu pergi berlibur ke sana, Ped?" tanya Ery penasaran.
Ped mengulum bibirnya pelan. "Bulan ini kita terlalu sibuk mengambil misi. Sepertinya kita butuh waktu rehat untuk mengistirahatkan pikiran dan tubuh kita."
Will yang mendengar pernyataan Ped mengangkat alisnya sebelah, heran. "Sejak kapan kamu peduli dengan tubuh dan pikiranmu? Sedangkan yang kamu kerjaakan di rumah hanya mengurung diri di dalam kamar."
"Loh? Apa salahnya memperdulikan diri sendiri? Kalau bukan kita yang mencintai diri kita, siapa lagi?"
"Bodo amat dengan mencintai diri sendiri. Cuci mukamu dengan larutan asam, biar sadar---"
Ped membekab mulut Will, menyebabkan pria berambut pirang kecokelatan itu sedikit membanting stirnya ke bahu jalan.
"Nah, bagaimana menurutmu, Ery?" tanya Ped kembali.
Ery tersenyum kecil, matanya tersirat rasa penyesalan yang mendalam. "Kalau kamu tertarik, ambil saja misi itu. Aku sudah tidak tertarik membunuh orang baik-baik. Maksudku, warga yang tidak memiliki kecacatan hukum."
Ped terdiam selama beberapa detik. Dia memandang iris hazel Ery tanpa berkedip. "Baiklah, aku juga tidak tertarik. Tidak ada serunya memburu orang baik. Lebih seru memburu orang jahat."
"Aku juga orang jahat, Ped."
"Begitupula dengan diriku dan si Moron satu ini. Tapi dari situlah serunya. Seperti pepatah; mata dibalas mata, gigi dibalas gigi--maka penjahat dibalas juga dengan penjahat."
Ery pun melempar pandangannya ke luar jendela. Sinar dari lampu-lampu jalan menyinari wajahnya dalam kegelapan malam. "Ya ... dan itulah tujuanku sampai sekarang."
=== === === === === === ===
Bed: tempat tidur (English).
(i)ll: sakit (English).
Moron: orang bodoh (English).
Hippo: kuda nil (English).
=== === === === === === ===
Dari ketiga tokoh utama, siapa yang langsung buat kalian jatuh hati? :)