Berikut adalah cuplikan ceritaku yang bisa kalian baca di w*****d. Buat kalian yang suka dengan cerita tragis yang menyentuh, kuy baca.
Enjoy!
=== === === === ===
Di ruang sempit nan lembab ini, telah dipenuhi dengan tawa membahana. Mengalahkan suara tetesan air yang berubah menjadi kemerahan. Aku tertawa, sebab kesunyian telah sukses membuatku gila. Seolah-olah diriku meniup sangkakala setan, kamu hanya bisa menatapku di sudut sana. Sampai-sampai dirimu pun lupa untuk berkedip.
--o--
Kehidupan itu bisa disamakan dengan wahana Roller Coaster. Ada waktu ketika akan terasa sangat lama untuk sampai ke puncak karir. Ada pula titik di mana kita akan mengalami tekanan, pekerjaan, datang bertubi-tubi, tanpa membiarkan tubuh ini berhenti sejenak. Bagai terhempas dari ketinggian lalu terpental ke sana ke mari mengikuti tikungan tajam yang tidak ada habisnya. Itulah yang kualami sekarang, seorang dokter selalu memiliki jam kerja yang tidak terduga. Terutama yang bekerja di ruang operasi, seperti diriku.
"Itu tadi operasi yang lumayan menegangkan, bukan?" Rekan kerjaku, seorang dokter bedah, mulai basa-basi. Sepertinya dia ingin mendengar pendapatku tentang operasi yang baru saja kami selesaikan.
"Ya, kalau saja Anda tidak sigap menindak lanjuti pendaharan di lehernya. Mungkin saja pasien akan kritis," ucapku dengan tenang. Sebenarnya aku sedang menyindir rekanku.
Dia menyeka keringat di dahinya yang lebar. "Beruntung itu hanya tumor Parotis*, masih jinak--meskipun ukurannya sudah sebesar bola ping pong. Tapi, kalau mau jujur, ini operasi yang hampir merusak reputasi 'tangan ajaibku'." Dia pun tertawa dengan lelucon garingnya.
Aku berusaha tersenyum untuk menghormati usahanya untuk mencairkan suasana. Entah diriku yang terlalu serius, akhir-akhir ini aku jarang tertawa. Ah ... sepertinya aku memang butuh liburan.
Kami berdua berjalan menyusuri lorong dengan d******i warna putih. Suara langkah diredam oleh karpet abu-abu yang kelam. Pintu-pintu kamar VIP berderet di sebelah kanan, sedangkan di sisi kiri dihiasi jendela dengan kaca yang bersih mengkilap.
Dari arah berlawanan, ada seorang residen dan beberapa anak koas yang mengekor. Kami, para dokter senior, selalu menyebut mereka sebagai pasukan bebek. Sebab mereka selalu berbaris rapi dan tidak akan terpisahkan dari 'induknya'. Sang residen melihat kami berdua, senyum mengembang hingga deretan giginya yang rapi terlihat. Dia pantas direkrut dalam iklan pasta gigi.
"Dok! Bagaimana operasinya? Lancar?" Residen itu bertanya ke rekan kerjaku.
Aku melirik rombongan mahasiswa di belakangnya. Mereka segera mengeluarkan pulpen dan buku catatan. Bersiap bila diperbincangan kedua dokter itu bisa memberi ilmu tambahan bagi mereka yang masih awam dengan istilah-istilah yang tidak tertulis di buku kuliah.
"Lumayan. Pasiennya berhasil selamat. Itu yang paling penting."
"Oh ya, Dok, sudah sarapan?"
"Setelah kamu berkata seperti itu, aku mulai merasakan cacing-cacing di perutku mulai menggeliat. Mari, kita pergi sarapan di kafetaria. Oh, kamu ikutkan Datura*?" Rekanku menoleh ke arahku, dia hampir lupa bahwa selama ini aku berdiri di sampingnya.
"Maaf, aku ada janji. Mungkin kapan-kapan."
Kekecewaan terukir di wajahnya. "Sayang sekali .... Kalau begitu sampai jumpa lagi, Dokter Datura." Setelah berpamitan, dia langsung pergi menjauh bersama gerombolan dokter muda.
Aku tipe orang tertutup dan aku menyadarinya. Bukannya aku sombong seakan tidak ingin memperluas pergaulanku. Hanya saja, bila aku ikut dengan mereka, apa yang akan kami bicarakan? Pasti aku hanya akan menjadi pendengar saja. Mereka akan bercerita panjang kali lebar tentang aksi heroik mereka selama menekuni pekerjaannya.
Tugasku hanya membuat pasien tertidur selama beberapa jam, membiarkan dokter bedah mengaduk-ngaduk organ dalam mereka, dan itu bukan sebuah pencapaian yang perlu diceritakan kebanyak orang. Yah ... walaupun SEHARUSNYA pasien berterima kasih kepadaku. Dengan adanya peranku, mereka bisa melalui operasi tanpa rasa sakit. Adakah pasien yang mau dioperasi tanpa dibius? Kalau pun ada, aku yakin mereka hanya bisa bertahan selama lima menit, atau kurang, setelah tubuh mereka dibuka lebar-lebar.
Jika aku membutuhkan orang untuk bersosialisai, atau setidaknya mengutarakan rasa yang kupendam. Aku hanya butuh satu orang. Itu sudah lebih dari cukup. Dan orang itu adalah sahabat yang tidak akan pernah kulepaskan. Ya, dia sahabat terbaikku sepanjang masa.
--o--
"Wah, terima kasih banyak atas makanannya. Pasti enak sekali," ujar Ibu penuh rasa syukur telah mendapatkan satu panci kecil berisi coto Makassar.
Tante yang tinggal di sebelah rumah kami tersipu malu. "Ah ... bisa aja! Kita 'kan tetangga, apalagi bersebelahan, pastilah harus saya sambut kedatangan teman baru."
Kami sekeluarga baru saja pindah rumah. Ayah naik jabatan, tetapi harus rela dipindahkan ke Makassar. Padahal ayahku tidak ingin berpisah jauh dari keluarga besar di Kalimantan. Berbeda dengan ibuku, dia sangat bahagia mendapat rumah baru setelah bertahun-tahun menabung. Akhirnya kami bisa terlepas dari indekos berpetak yang hanya memiliki satu kamar, dapur, kamar mandi dan ruang keluarga yang sangat sempit.
Saat itu aku sedang mengepel teras yang dipenuhi pasir dan tanah, akibat hujan dan panas yang datang hilir berganti. Tiba-tiba, aku bisa merasakan ada seseorang sedang mengawasiku. Ternyata dari rumah sebelah, ada sebuah jendela yang terbuka--seorang gadis mengintip dari bawah daun jendela. Aku bisa melihat kepalanya sedikit timbul, dua manik hitam menatapku dengan penasaran.
Aku langsung mendongkakkan kepalaku, tersenyum miring.
Spontan, gadis itu kalap, bersembunyi di bawah dinding jendela karena keberadaannya telah kuketaui. Aku pun mulai menggodanya.
"Hei, cewek yang sembunyi. Aku tau kamu di sana. Keluarlah."
Sejenak sunyi. Namun, aku bisa mendengar samar-samar suara tawa kecil terdengar dari dalam sana. Gadis itu pun berdiri dan mengeluarkan sebagian badannya di jendela. "Om baru pindah, ya?"
"Woi! Aku masih muda tauk! Jangan panggil aku Om."
Dia kembali tertawa. Sekarang ia mengakat salah satu kakinya ke daun jendela, lalu mengambil posisi paling nyaman untuk duduk di sana."Itu mamaku yang bicara sama ibunya Om. Namaku Lili*, kapan-kapan mampir ke rumah. Tapi tolong bawa kue, ya. Atau aku tidak akan membukakan pintu." Gadis itu berseringai licik.
Dasar bocah.
--o--
Aku segera menuju kantorku. Benda yang paling pertama kuambil adalah iPhone kesayanganku. Sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia pada abad ini adalah membuka ponsel dan sosial media. Namun, aku bukan orang yang suka dengan dunia maya. Aplikasi sosial media yang kupunya cuman WA. Aku hanya butuh google maupun website jurnal untuk mencari referensi terkait ilmu kedokteran. Terserah orang mau bilang diriku terlalu kuno. Bila ada waktu, satu menit saja, aku lebih memilih menggunakannya untuk tidur dan makan.
Pop-up notifikasi terlihat di layar. Ada empat panggilan tak terjawab. Tanpa berpikir panjang, kusentuh pemberitahuan itu.
Ternyata Lili.
Namun, aku langsung mengerutkan kening ketika melihat waktu panggilan--jam satu malam.
Untuk apa dia menelepon selarut itu? Mungkin insomnianya kambuh lagi.
Untuk sementara, diriku bisa istirahat sejenak. Aku sudah meminta salah satu dokter anestesi lainnya untuk mengawasi pasien yang berada di ICU. Syukurlah di rumah sakit ini memiliki lebih dari satu dokter anestesi. Kalau tidak, aku tak akan pernah diperbolehkan pulang ke rumah.
Uang dokter anestesi itu banyak dan melimpah, tetapi waktu luang kami sedikit. Membuatku harus menggunakan waktu libur sebaik mungkin untuk menjalankan rencanaku, yaitu melamar Lili. Inilah namanya sahabat jadi cinta.
Setelah tiba di rumah, aku segera melakukan persiapan. Kubuka brankas yang tersembunyi di dalam lemari, tersimpan sebuah kotak kecil hitam. Di dalamnya ada sebuah cincin emas putih mewah--terukir nama Lili di pinggirannya.
Aku menyempatkan diri mandi di bathtub dengan jacuzzi hangat untuk melepaskan penat selama bekerja. Mengenakan kemeja putih berlengan gantung, membiarkan satu dan dua kancing tidak tersemat, lalu celana kain hitam dengan sepatu yang sudah kusemir hingga mengkilat.
Sebelum sampai di apartemen Lili, aku singgah membeli sebuah buket bunga. Pilihanku jatuh pada bunga lily putih. Cincin itu pun aku selipkan di salah satu tangkai bunga dengan diikat pita merah muda yang cantik. Setelah mempersiapkan semuanya, aku segera menuju kediaman Lili dengan mobil Mercedes Benz. Sayang, cuaca tidak dapat diprediksi. Hujan lebat membasahi ibukota.
--o--
"Cantiknya ...." Lili sedang menyibukan diri melihat taman bunga yang bertebaran sepanjang mata memandang.
Malino, kota bunganya Sulawesi Selatan. Terkenal sebagai tempat wisata dengan segudang keindahan termasuk taman bunganya. Kami berdua menyempatkan diri berlibur. Ini adalah perayaan atas diterimanya diriku sebagai dokter anestesi tetap. Juga merayakan masuknya Lili di fakultas kedokteran, Universitas Clarus Jaya.
"Aku kira kamu mau menjadi guru, Lili?" Sesaat aku menanyakannya, Lili berbalik, tampak wajahnya muram.
"Kak Datura tahu 'kan Papa dan Mama. Mereka mana mau anaknya yang lulusan terbaik masuk ke jurusan yang biasa saja." Lili berbicara seakan ingin menangis.
"Apa orang tuamu masih keras denganmu?"
Lili menggelengkan kepalanya. "Tidak juga. Selama aku menuruti kemauannya, mereka tidak akan banyak berbicara lagi."
Lili mengusap-usap telapak tangannya yang mulus, udara dingin pegunungan membuat tangan mulai memucat. Lalu, dia memandangku dengan tatapan sendu. Ah ... aku menginjak ranjau. Aku harus segera mengalih topik pembicaraan.
"Itu bunga Lily, 'kan?" kataku sembari menunjuk ke sebuah barisan bunga.
"Ah, iya. Banyak sekali jenis warnanya."
Ada sebuah petak yang dipenuhi dengan bunga lily dengan berbagai macam warna. Ada merah, putih, ungu dan kuning. Membuat sebuah matras indah di atas tanah yang gembur.
"Lili, kamu tahu? Aku rasa kamu bisa disamakan dengan bunga lily putih." Aku melancarkan serangan gombalanku.
Lili tertawa kecil, ada rona merah di pipinya. "Kenapa Kak Datura berkata seperti itu?"
"Karena kamu itu sempurna--pintar, menawan, anggun, dan baik. Benar-benar melambangkan warna putih yang bersih."
Lili kembali menatapku, dengan dua matanya yang cantik nan tak berdosa. Aku tahu dia ingin sekali mengatakan sesuatu. Tetapi aku tidak ingin memaksanya. Ada waktunya diriku tidak boleh terlalu mengorek sesuatu terlalu dalam.
Lili menarik napas panjang lalu mengembuskannya, membuat kepulan kabut kecil ketika butiran-butiran karbondioksida menyentuh udara bebas. "Menurutmu seperti itu?" Lili tersenyum lembut ke arahku dengan manik hitam yang siap menyedot siapa pun ke dalamnya.
Semenjak itu, aku tidak pernah menyinggung kejadian itu lagi.
--o--
Aku sudah berada di depan pintu kamar Lili.
Tanganku bergetar, begitu pula kakiku. Irama jantungku tidak karuan. Mungkin saja saat diukur menggunakan EKG*, ritmenya sudah sama persis dengan pasien yang terkena aritmia* jantung. Seharusnya kubawa defibrillator portable* lalu mengalirkan listrik ke jantungku yang berdetak cepat ini. Setelah kupukul keras dadaku untuk menjinakkan rasa gugup, kuberanikan diri untuk memencet bel.
Satu dua kali tidak ada tanggapan.
Ok, mungkin dia tidak mendengarnya. Maka kucoba lagi hingga bel ke lima.
Nihil.
Aku mulai merasa tidak sabaran.
Lantas kuputuskan untuk menghubungi Lili.
Ternyata hasilnya juga sama saja. Berkali-kali hingga tujuh kali, tidak ada respon. Aku mulai dihantui rasa cemas.
Dengan tergesa-gesa, aku pergi ke resepsionis dan meminta kunci cadangan. Tentunya aku harus memberi KTP sebagai jaminan bahwa diriku tidak melakukan hal yang mencurigakan. Selain itu, para pekerja di sini sudah mengenalku. Dalam satu minggu, aku pasti datang berkunjung ke apartement Lili atau sekadar mengantarnya pulang hingga ke lobi.
Aku berhasil membuka pintu.
Kupanggil Lili beberapa kali, dan masih saja sunyi.
Namun, sayup-sayup aku mendengar lantunan musik sedang diputar. Terasa familier dengan nadanya. Seingatku Lili suka menyanyikannya.
Asal suara itu berasal dari kamar mandi.
--o--
Here comes a thought, that might alarm me.
What someone said and how it harmed me.
Something I did that failed to be charming.
Things that I said are suddenly swarming.
Lili bernyanyi penuh hikmat. Dia memang penyanyi handal. Bagaimana tidak, dulu Lili selalu juara bila ikut lomba menyanyi di kompleks kami. Sekarang pun, suaranya semakin merdu saja.
Aku sedang mengantar Lili pulang ke apartemennya. Selama menyetir, kunikmati lantunan melodi jazz, R&B, electronic, fusion, menjadi satu. Musik dengan style yang menarik.
Penasaran, sejenak kulirik ponselnya.
Gadis itu sedang asyik berkaraoke dengan aplikasi Youtube. Namun, aku langsung mengerutkan dahi. Lili sedang menyanyikan salah satu lagu dalam sebuah kartun. Lambang channel CN hitam putih terpampang jelas.
"Ya ampun, kamu masih nonton kartun? Umurmu berapa sih?" tanyaku sembari tertawa geli.
Lili menekan tombol pause dan menatapku dengan kesal. "Kenapa memangnya? Nenek-nenek yang jadi pasienku saja masih nonton Upin Ipin."
"Awas nanti kamu betulan jadi nenek-nenek dengan masa kecil kurang bahagia." Lampu merah padam, disusul dengan nyalanya lampu hijau. Segera kuinjak pedal gas pelan. "Apa nanti dibilang temanmu, kalau ternyata 'Si Jenius Lili' suka nonton kartun?" lanjutku.
Air muka Lili tiba-tiba kelam. Dia menundukkan kepalanya, mengigit bibirnya dalam-dalam. Oh tidak, aku membuatnya menangis.
"Mereka tidak tahu, kok." Lili menghela napas berat. "Kartunlah teman terbaikku ... dalam kesepian."
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi. Lidahku kelu.
Pilihan terakhir adalah mengalihkan pembicaraan. "A-apa nama kartun itu? Aku suka lagunya, enak didengar."
"Steven Universe."
"Kalau gitu, nanti kubelikan DVD-nya untukmu. Biar kamu engga bosan lagi."
"Betulan? Kalau gitu sekalian Blueray-nya, ya?"
"Astaga, kamu sudah jadikan itu hobi, hah? Dasar bocah."
Syukurlah Lili kembali tertawa. Satu lagi keberhasilanku dalam membalikan keadaan.
Kubelokkan mobil ke gerbang masuk apartemen dan menepikannya di depan lobi. Lili pun keluar dari mobil dan melambai ke arahku hingga keberadaannya sudah menghilang dari kaca spion.
Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Lili. Dan tidak menyadari bahwa lagu itu memiliki arti yang sangat mendalam--untuk dirinya.
And, oh, I'm losing sight, I'm losing touch.
All these little things seem to matter so much.
That they confuse me.
That I might lose me.
--o--
Aku terjatuh keras, dengan lutut yang mendarat terlebih dahulu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Napasku tidak karuan, air mata mengalir tanpa diperintahkan. Mendadak tubuhku menggiggil hebat.
Lili duduk membisu di tengah-tengah kamar mandi. Bersandar di dinding putih dengan tangan yang terkulai, dan diselimuti ... darah.
Sebagai seorang dokter, aku pasti akan segera mengecek denyut nadinya. Tetapi itu tidak perlu. Sebab aku sudah tahu, dengan melihat sepintas saja.
Lili sudah mati, dan aku tidak ingin menerima kenyataan itu.
Manik hitamnya yang indah menatapku tanpa berkedip. Bibir yang biasanya merah merona sudah memucat. Rambut hitamnya terurai dan kusut. Ubin lantai sudah ditutupi darah yang mulai mengeras, dan bau anyir semerbak dalam ruang berantakan nan sempit itu.
Di tangan kanannya ada sebilah kaca besar. Sepertinya itulah alat yang digunakan untuk menyayat kedua pergelangan tangannya, hingga membuat lubang yang menganga sangat besar.
Dengan panik, aku melempar pandangan ke sekeliling ruangan. Ponsel Lili tergeletak tidak jauh dari sisinya. Aku ingat, Lili sempat meneleponku. Mungkin dia menghubungiku untuk meminta tolong. Sial! Kenapa ini semua terjadi? Pasti ada seseorang yang telah membunuhnya. Ya, pasti, tapi ... siapa?
Segera kucek ponsel yang sudah dinodai darah itu. Kubuka pesan yang masuk di kotak pesan, media sosial, sampai nomor yang terakhir kali menghubunginya.
Namun, aku tidak menemukan ada hal-hal yang ganjil. Aku ingat Lili suka membuka Youtube, maka kubuka aplikasi itu dan melihat riwayat tontonannya. Tidak disangka-sangka, video yang baru-baru dibukanya tentang penyakit depresi, serta sederet video motivasi hidup bagi orang-orang yang ingin bunuh diri.
Depresi? Bunuh diri? Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Lili?
--o--
"Kak Datura, boleh kupinjam buku nota resep Kakak?" tanya Lili sambil merapikan rekam medik.
"Hah? Untuk apa?"
"Mama kehabisan obat depresannya lagi. Seperti biasa, dia tidak mau pergi ke dokter karena sibuk."
Kurebahkan tubuhku yang letih ke sandaran kursi. "Ambil saja di atas mejaku. Aku mau tidur sebentar."
Beberapa saat ruangan senyap. Kuturunkan kelopak mataku perlahan. Walau gelap, aku masih bisa merasakan keberadaan Lili di hadapanku.
"Kak Datura ... bagaimana keadaan pasien di kamar 202?"
"Hmm? Kenapa memangnya?"
"Tidak ... aku cuman mau tau aja."
Sejenak kuterawang kejadian yang baru saja terlewati. Satu lagi pasienku merenggang nyawa. Seorang gadis muda yang mengidap kanker p******a.
"Dia meninggal dengan sangat tenang."
Entah seperti apa ekspresi Lili saat itu, aku terlalu malas untuk membuka mata.
"Semua penderitaannya sudah lepas dari raganya--aku iri," gumam Lili lirih.
Samar-samar kudengar ucapannya. Maka kubuka kedua mataku. "Hmm? Apa tadi kamu bilang?"
Aku bisa melihat senyuman mengembang di wajah bak malaikat.
"Tidak ada," jawabnya singkat.
--o--
Aku segera mengecek lemari obat di atas wastafel--tepat di balik cermin yang pecah. Dugaanku benar, banyak obat berlabel keras berjejer di sana. Lebih dari lima jenis, dan itu semua memberikan efek penenang yang luar biasa. Cukup untuk membuat badak dan gajah tidak sadarkan diri.
Tunggu, obat ini ... MAOI* (Monoamine Oxidase Inhibitors).
Pantas saja. Minggu lalu aku mengajak Lili makan di Pizza Hut. Kami memakan beberapa potong pizza yang dipenuhi keju mozzarella. Sekitar 30 menit kemudian, Lili jatuh pingsan sesaat kami jalan-jalan di mall. Aku kira dia kelelahan, ternyata akibat salah satu efek obat, yang memberi serangan otak ketika memakan makanan yang mengandung tiramin*.
Lalu, apa yang membuatnya ingin mengakhiri hidupnya?
Lili adalah wanita yang tangguh. Dia tidak pernah mengeluh sedikit pun, tidak cengeng dan tidak pernah berkata buruk tentang apapun.
Atau ... jangan-jangan, selama ini dia menyembunyikannya. Selama ini dia berbohong kepada orang di sekitarnya--termasuk diriku.
Aku kembali menatap Lili. Aku sudah kehabisan akal untuk mencari jawaban atau petunjuk yang menyebabkan dia memilih hal segegabah ini. Aku juga lelah untuk sekadar menghubungi polisi, malas berurusan dengan mereka.
"Lili .... Kenapa? Kenapa kamu meninggalkanku secepat ini? Apakah aku salah?"
Lili tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan mata sedihnya.
"Kumohon, beritahu aku kebenarannya? Biarkan aku mendengar isi hatimu. Aku ingin mengetahuinya. Selama ini, aku tidak pernah tahu apa yang kamu rasakan."
Lili masih tidak menjawab.
"Aku memang egois, tidak peka, bodoh, dibutakan oleh pekerjaan. Padahal, selama ini ... kamu ingin memberitahuku, ya 'kan?"
Dan Lili masih membisu di sana.
Ada apa denganku? Aku berbicara dengan mayat?
Hahaha, aku sudah sinting. Ya, aku sudah kehilangan akal sehatku!
Aku tertawa terbahak-bahak, hingga air mata keluar dari ekor mataku.
Untuk apa aku mencari jawaban. Padahal aku sudah tahu, AKULAH YANG TELAH MEMBUNUH LILI.
Bukan dengan kaca beling itu, tetapi dengan sifat apatisku. Aku tidak peka, tidak mau ikut campur, selalu lari dari masalah. Aku menganggap semuanya tidak perlu dipertanyakan. Ternyata, tak tahu apapun itu mengerikan. Inilah hukumanku atas kesalahanku, yaitu kehilangan dirimu.
Aku tertawa tanpa henti, hingga perutku terasa sakit, begitu pula dengan dadaku. Kepalaku mulai pusing.
Aku memutuskan duduk di sampingnya, merebahkan kepalaku di pundaknya yang sudah kaku.
Tubuhnya dingin. Dengan lembut kubelai rambutnya yang terurai. Aku kembali menatap wajahnya yang sudah mulai membiru.
"Kenapa kamu menatapku sesedih itu? Kamu kesepian?"
Kuambil pecahan kaca yang digenggam Lili. Sejenak kupandang diriku terpantul di dalamnya.
Aku sudah terbiasa sendirian, tapi kenapa baru sekarang terasa menyakitkan? Aku mencoba tersenyum.
Astaga, rupanya aku sudah tidak terbiasa tersenyum--aku sangat mengerikan.
Tanpa ragu, kugorok dalam-dalam leherku hingga darah terciprat ke mana-mana. Darahku dan darah Lili menyatu, entah yang ada di ubin lantai hingga dinding putih yang sekarang sudah tidak suci lagi.
Mungkin dengan mati di sisinya, aku bisa pergi ke alam baka.
Ah, tidak, ke neraka bersama dengan Lili.
Tetapi sayang, hanya kegelapan dan kehampaan yang aku lihat. Aku telah membuat pilihan yang salah.
Selamanya kami sendirian, terperangkap di labirin ini.
Kita ... tidak akan pernah bersatu.
o-o-o
White Lie: kebohongan yang dikatakan untuk membuat seseorang tidak sedih atau kecewa dengan kebenarannya.
Parotis: tumor jinak. Kelenjar parotis merupakan salah satu dari tiga buah kelenjar air liur (saliva) yang ada di dalam tubuh manusia.
Datura: atau Datura startonium L. adalah genus dari sembilan spesies tanaman berbunga vespertine beracun milik keluarga Solanaceae. Dikenal sebagai sangkakala setan, memiliki efek anestesi yang tinggi.
Lili: atau Lilium regale adalah salah satu tanaman dalam keluarga tanaman bakung.
Aritmia jantung: kondisi ketika ritme jantung tidak normal.
EKG: atau Elektrokardiogram adalah grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu.
Defibrillator portable: stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung.
MAOI: Monoamine Oxidase Inhibitors atau penghambat monoamine oksidase adalah salah satu jenis obat dari golongan antidepresan. Obat ini mampu meredakan depresi dengan cara mempengaruhi neurotransmitter atau sekumpulan zat kimia di dalam otak yang berfungsi untuk membawa sinyal antar neuron atau sel-sel otak.
Tiramin: asam amino yang telah diduga memicu sakit kepala. Mekanismenya adalah dengan cara mengurangi kadar serotinin pada otak dan mempengaruhi pembesaran pembuluh darah. Makanan yang mengandung tiramin, misalnya, anggur merah, keju, coklat, dan alkohol.
***
Terima kasih telah membaca karyaku . Semoga pesan-pesan tersirat yang terkandung di cerpen ini bisa tersampaikan dengan baik ke kalian semua. Terakhir, ada satu kutipan yang ingin kuutarakan.
"Terkadang ini juga tanda cinta: membiarkan yang kita cintai pergi." Joseph O'Connor.