TERNODA
POV NURMALA
Aku menyingkap tirai jendela. Kupandangi langit yang nampak mendung berkabut. Hujan mengguyur kota Jakarta, membasahi jalanan. Menciptakan suara gemericik di genangan air dan di atas genteng. Ranting pohon bergoyang mengikuti hembusan angin. Dedaunan pun berguguran mengotori halaman rumah majikanku. Aku segera keluar dari kamar anak majikanku untuk membersihkan halaman rumah.
"Loh, antingku di mana?" Aku baru menyadari antingku hilang setelah sedetik keluar dari kamar majikanku. Aku berbalik memasuki kamar itu lagi. Kutelusuri lantai kamar dan ranjang tapi tidak ada. Padahal tadi waktu aku membereskan kamar Den Alfian masih ada.
"Nah, ketemu." Hatiku lega, setelah 30 menit mencari akhirnya aku bisa melihat kilauan emas di kaki ranjang. Aku segera mengambilnya. "Masih rezekimu, Nurmala." gumamku pada diri sendiri sembari memungut antingku.
BRAAAAAKKKK
Baru saja kuraih antingku, aku di kejutkan dengan suara dentuman pintu yang memekakkan telinga di banting sangat keras oleh Den Alfian.
Tubuhku langsung berdiri tegap. Aku takut dan merinding melihat tatapannya yang tajam. Pria yang selalu bersikap dingin berusia 27 tahun itu menyeringai, ada kilatan birahi di matanya.
DEG
Jantungku berdegup tak karuan ketika Den Alfian mengunci pintu kamarnya. Dia berjalan mendekatiku. Membuat aku gugup setengah mati, tubuhku gemetar dengan hebat.
"Den sa-saya mau keluar. Tolong bu-buka pintunya." Dia terus melangkah tak menghiraukan perkataanku. Aku bergeser merapatkan tubuhku ke dinding untuk menjauhinya. Aku berlari secepat mungkin, tapi sebelum berhasil meraih pintu, langkahku tertahan. Dia mencengkram pergelangan tanganku dengan erat. Matanya gelap penuh dengan kilatan gairah. Aku berusaha melepaskan memberontak, menarik-narik tanganku seraya memukuli d**a Den Alfian. Namun pukulan yang kuberikan tak berimbas apapun pada Den Alfian.
"Tolooong hemmmm..." Aku berteriak, tapi Alfian membekap mulutku dan menyeretku dengan paksa menuju ranjang.
Pria keji itu menikmati setiap sentuhannya. Tak peduli dengan tangisan piluku, mata hatinya sudah tertutup kabut. Aku semakin kalut, air mataku semakin deras mengucur.
Segalanya telah hilang bersamaan dengan jerit kesakitanku, kehormatan yang selama ini aku jaga telah hilang di renggut secara paksa oleh laki-laki biadab ini. Masa depanku sudah hancur.
***
Matahari mulai bersembunyi dari peraduan, malam semakin pekat di iringi awan mendung. Suara guntur bersahut-sahutan. Langit gelap tak berbintang. Langit ikut menangis, menurunkan gumpalan hujan dengan volume besar.
Aku mengerjapkan mata, perlahan mataku mulai terbuka. Mataku memindai setiap sudut kamar. Saat ini aku sudah berada di dalam kamarku dengan pakaian baru.
Puing-puing ingatan kejadian lalu sebelum aku pingsan mulai bermunculan di ingatanku. Aku berharap apa yang aku alami hanyalah mimpi buruk belaka, tapi untuk sebuah mimpi itu terasa begitu nyata.
"Mbak, udah bangun." terdengar suara seseorang di sisi ranjangku. Ternyata Sarah, adik dari Alfian Laksmana. Gadis cantik itu tersenyum hangat padaku dengan mata yang sembab. Aku berusaha duduk dari tidurku walaupun kesulitan, badanku terasa remuk redam. Aku memegang bagian intiku yang terasa sakit.
"Uugh ..." Aku melenguh karena nyeri.
Tenyata semua itu bukan mimpi, itu nyata terjadi. Air mataku kembali tumpah dengan deras, ini terlalu menyakitkan, tangisku kembali pecah. Aku tidak menyangka akan mengalami hal senista ini dalam hidupnya.
Dari luar kamar, terdengar perdebatan sengit antara anak dan orang tua yang membuat hatiku kian tersayat, kebahagiaanku bagai di cincang dengan belati. Dari celah jendela, aku dapat melihat perdebatan mereka.
"Kesalahanmu kali ini sangat fatal Alfian. Kamu harus nikahin dia!" suara pak Lukman terdengar sangat lantang. Beliau tak lain adalah ayah dari Alfian Laksmana.
"Aku tidak sudi menikahinya. Cukup beri dia uang sebagai kompensasi, beres." suara Alfian terdengar santai. Tega sekali dia menyamakanku dengan w************n. Setelah apa yang ia lakukan padaku, tak nampak ia menyimpan penyesalan walau hanya secuil.
BRAAAKKK
"Alfian, jaga bicara kamu!" hardik Pak Lukman.
"Dia cuma pembantu, Pa. Kenapa kalian membesar-besarkan masalah ini! Dia itu lebih butuh uang daripada pernikahan." mendengar suara Alfian, hatiku kian teriris. Tega sekali mengatakan hal seburuk itu tentangku. Aku tak butuh tanggung jawab darinya.
"ALFIAN, CUKUP." kini Ibu Ayu yang berbicara keras lantaran tak bisa menahan kekecewaan terhadap putranya.
"Loh, bener 'kan, Ma. Mau di taruh mana mukaku kalau aku menikah dengan pembantu. Apa kata orang-orang nanti tentangku? Apa kata keluarga besar kita nanti?" Alfian berucap dengan entengnya. Seolah hal yang menimpaku adalah hal yang biasa baginya.
"Alfian, jaga bicara kamu. Kamu sangat keterlaluan." Pak Lukman meraung dengan berang. Ia sangat emosi dengan sikap Alfian. Sementara Ayu, mengusap dadanya yang terasa sesak karena melihat tingkah putranya yang tidak bertanggungjawab.
"Kalau Papa mau, Papa saja yang nikah sama dia." Alfian berucap dengan ketus seraya beranjak dari kursinya.
BRAAAKK
"Alfian, jangan kurang ajar kamu sama orang tua." Pak Lukman kembali menggebrak meja. Ia sangat emosi melihat tingkah putranya. Namun, Alfian tak peduli, ia tetap melangkah semakin jauh.
Aku menangis tersedu-sedu. Perkataan yang keluar dari mulut Alfian membuat hatiku kian terluka. kehormatanku sudah hancur tak tersisa. Kejadian tadi benar-benar menghantam hatiku, hingga hancur menjadi puing-puing. Hatiku sakit, sakit sekali. Apalagi setelah mendengar hinaan dari Alfian. Angan-angan tentang masa depan, kini telah sirna hanya tertinggal rasa keputusasaan.
"Mbak jangan khawatir, Mas Alfian pasti akan tanggung jawab dan nikah kamu, Mbak." Sarah menghapus air mata yang membasahi pipiku. Namun langsung kutepis.
Perbuatan bej*t Alfian sudah memberikan luka yang begitu dalam. Luka itu kian menganga mendengar penghinaan Alfian. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah lemari, mengambil tas dari atas lemari dan memasukkan semua pakaianku dengan asal-asalan ke dalam tas. Semua barang-barang juga aku kemasi.
"Loh, mbak Nur mau kemana?" Sarah menarik tanganku. Namun, tangan Sarah langsung kutepis. Aku memasukkan semua pakaianku ke dalam tas sembari menyeka air mata yang terus mengalir sendiri tiada henti.
"Mbak jangan pergi. Tolong maafin Kak Alfian. Kak Alfian pasti akan tanggung jawab." Sarah berucap dengan ekspresi sendu. Ia dapat merasakan luka hati yang kurasakan.
"Aku nggak sudi nikah sama pria b***t seperti kakakmu." Hatiku terlalu sakit, dadaku terasa sesak melebihi apapun. Ya Tuhan, hatiku sakit sekali! Aku tak pernah menyangka akan mengalami hal sehina ini.
Sarah menangis dan berusaha memelukku, tapi segera kudorong dadanya hingga ia menjauh. Kakaknya sudah tega menghancurkan hidupku, bujuk rayunya tidak akan mengembalikan kesucianku. Hidupku sudah hancur karena kakaknya.
Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, aku keluar dari kamar. Aku berjalan melewati pintu samping, karena aku tak siap untuk bertemu Alfian yang sedang berdebat dengan keluarganya.
Sarah menarik tas di genggaman tanganku, hal itu menghentikan langkahku. Aku tak mau bertahan di rumah terkutuk ini.
"Lepas. Aku tidak sudi hidup bersama b******n itu di rumah ini."