Gaun pengantin itu menjuntai memenuhi separuh ruangan, membuat Ari perlu kerja ekstra keras. Ia harus membuat gaun terlihat lebih mekar seperti ball gown mahal di foto. Tubuhnya membungkuk hampir menyentuh lantai di belakang calon pengantin wanita yang tengah mengambil pose terbaik. Perlu beberapa menit menahan diri agar gaun tampak indah, bahkan Doni membuat punggungnya melengkung sakit sekali. Pasalnya, perlu beberapa kali jepretan agar bisa mengambil angle foto paling bagus.
“Oke, sip!”
Ari menegakkan tubuh dan mengelus punggungnya yang agak sakit. Ia sudah melakukan berbagai posisi demi meluluskan usaha sang fotografer. Melihat senyum yang merekah di bibir Doni, ia bernapas lebih lega. Setidaknya ia benar-benar bisa pulang lebih awal dari perkiraan.
“Kita bakal lanjut pemotretan outdoor hari Minggu, ya!” ujar Doni menatap pada calon pasangan pengantin yang ikut melihat hasil foto hari itu.
Saat Doni sibuk membicarakan beberapa hal dengan calon pasangan yang melakukan pemotretan prewedding itu, Ari mulai merapikan segala perlengkapan yang tidak digunakan lagi. Ia juga memungut beberapa sampah yang terserak selama sesi pemotretan. Soni, asisten mereka mengambil libur sehingga ia terpaksa melakukan pekerjaan pemuda itu.
“Ar, besok kita ke Women’s ya!”
Ari yang tengah merapikan bunga-bunga yang tergeletak di lantai agak terkejut. Tangannya berhenti bekerja, lalu ia menoleh pada Doni yang masih sibuk mengurusi hasil foto.
“Pak Han suka dengan hasil pemotretan di Bali tiga bulan lalu. Produk lingerie laris manis di pasaran. Ia ingin kita melakukan pemotretan dengan produk yang baru, sih.”
Terdiam selama semenit, Ari menatap Doni yang menunggu jawaban. “Ajak Rangga saja, deh. Aku harus menemani Ellin.”
“Kesempatan yang sayang buat dilewatkan, lho! Pak Han menawarkan fee dua kali lipat dari proyek terakhir kita di Bali.” Doni tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi ia menelan kembali ucapan yang sudah berada di mulut.
“Aku memang butuh uang, Don. Tapi, Ellin juga membutuhkan aku. Ia masih perlu melakukan terapi.”
Doni mengangguk paham. “Aku mengerti. Kamu memang suami yang baik, Ar.”
Ari mengangguk ragu. Ia tidak ingin menyebut diri sebagai suami yang baik, meski ia tidak pernah melakukan hal buruk pada Ellin. Namun, ia pernah melakukan kesalahan dalam sebuah pernikahan. Kecemasan mendadak melanda dirinya lebih hebat dari beberapa bulan terakhir. Bagaimana bila Ellin bisa mengingat segalanya dan tahu apa yang terjadi? Ia bergidik ngeri.
“Ari, kamu baik-baik saja. Wajahmu agak pucat sekarang!”
Ari menggelengkan kepala. Ia hanya mengisyaratkan jempol tangan kanan pada Doni sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. Hal terburuk yang ia takutkan dalam hidup selain kematian adalah perpisahan.
***
Ellin menunggu kepulangan Ari dengan hati gelisah. Setiap semenit sekali, ia terus melihat ke arah jam dinding. Berjalan gontai menuju ke ruang tamu dan melihat dari balik tirai jendela, tetapi tidak ada siapa-siapa. Nay baru saja pergi lima menit dan ia sudah merasa kesepian.
Telepon dari seseorang membuat Nay harus pulang lebih cepat, meski wanita itu berkeras akan menemaninya sampai Ari pulang. Namun, ia paham kalau urusan Nay bukan sekadar menemaninya terus menerus. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, pertanda bahwa Ari memang melewatkan jam makan siang. Bukan salah Nay kalau ia harus segera pergi, ‘kan?
Sepuluh menit berlalu dengan kegelisahan yang tak kunjung berakhir, Ellin mulai meremas ujung kaos yang ia pakai. Membuat kaos polos berwarna hitam itu berantakan tak keruan. Mana ia peduli, ‘kan? Ia kembali duduk di kursi makan saat bel rumah berbunyi. Tak perlu berlari untuk membuka pintu, Ari sudah muncul di sana. Lelaki itu membawa kunci duplikat yang selalu ia kantongi ke mana-mana.
“Maaf aku terlambat pulang, El. Aku masih di jalan saat Nay menelepon tadi. Kamu tidak apa-apa, ‘kan?”
Mendengar nada cemas yang keluar dari bibir Ari membuat Ellin merasa senang. Wanita itu menghampiri Ari yang berdiri di ujung meja makan, lalu menyentuh lengan kanannya lembut.
“Aku agak cemas, tapi aku bisa mengatasinya. Sendirian sepuluh menit saja tidak akan membuatku mati, ‘kan?”
Tangan kiri Ari yang bebas hendak menyentuh bahu Ellin, tapi berhenti di tengah jalan. Sebagai gantinya, tangan Ari menarik sesuatu dari tas selempang dan memberikannya pada Ellin.
“Apa ini?”
“Aku membelinya di toko kue favoritmu.”
Saat kotak terbuka, kue lapis bertabur keju langsung membuat Ellin tersenyum. Ia mengendus aroma yang muncul dari kue yang masih hangat itu.
“Terima kasih,” ucap Ellin pelan.
“Maaf kalau aku membuatmu menunggu, ya!”
Ellin menggeleng. “Bukankah tugas istri memang menunggu kepulangan suami?”
Perkataan Ellin bukan hal yang salah, tapi membuat telinga Ari berdengung sakit. Dulu ia yang selalu menunggu kepulangan sang istri. Rasanya luka itu kembali menggores dinding-dinding hati yang sudah rapuh. Hanya tinggal menunggu waktu dindingnya roboh dan menghancurkan semua yang ada di sana.
“Ya, seharusnya begitu,” balas Ari sekenanya.
Mendengar jawaban Ari yang terkesan dingin, Ellin menunduk. Ia menyembunyikan wajah yang sudah merah padam. Tak ingin membuat suasana semakin keruh, ia menggandeng tangan Ari agar duduk di kursi terdekat.
“Kamu pasti belum makan siang. Tadi Nay mengajakku memasak tumis pare. Ia bilang kalau kamu suka makanan ini?”
“Nay yang memasak?” ulang Ari.
Ellin mengangguk. “Ia memintaku untuk membuat bumbunya.”
Melihat kernyitan tebal di dahi Ari yang menandakan ketidakpercayaan, Ellin buru-buru menambahkan, “Aku membuat bumbu tumis pare sesuai instruksi Nay. Tiga siung bawang putih, lima siung bawang merah, cabai, garam, dan terasi.”
Bibir Ari melengkung sedikit saat menatap Ellin yang terlihat bersemangat. “Aku senang mendengarnya. Nay bisa membuat harimu lebih menyenangkan, ya?”
“Iya, ia bilang kalau aku tipe cerewet dulu. Rasanya aku sudah bisa bicara panjang lebar sekarang. Seperti kembali menjadi diriku yang dulu.”
Suapan pertama Ari berhenti, lalu menatap Ellin dalam-dalam. “Begitu, ya?”
“Kamu terlihat tidak suka?” Ellin meremas ujung kaosnya kembali, Ari bisa melihat perubahan itu.
“Bukan begitu. Aku hanya belum siap mendapatkan omelanmu nanti.”
Ellin terperangah, menatap Ari tak percaya. Ia bertanya, “Kukira Nay berbohong tentang itu. Apa aku benar-benar cerewet dulu?”
“Tak apa. Aku tidak keberatan saat kamu banyak bicara, El.”
Ari mengakhiri diskusi dengan suapan tumis pare yang sempat tertunda. Tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, Ari mulai menikmati suapan kedua dan seterusnya. Saat tidak mengatakan rasa tumis pare, Ellin merasa penasaran. Ia memberanikan diri untuk bertanya pada Ari pada suapan yang kesekian kali.
“Bagaimana rasanya? Semoga Nay tidak lupa menambahkan gula.”
“Permulaan yang bagus.”
Mengernyit tak mengerti, Ellin kembali bertanya, “Maksudku, apakah rasanya enak?”
Ari berhenti makan, lalu menjawab singkat, “Tidak apa.”
Agak kesal dengan jawaban Ari yang tidak jelas, Ellin segera menarik piring berisi tumis pare yang dicampur dengan irisan tempe. Penampilan tumisan cukup menarik, tetapi ia harus memastikan rasanya. Toh, Nay belum sempat mencicipi rasa makanan setelah mendapat telepon mendadak tadi.
Satu suapan tumis pare sudah masuk ke mulut Ellin yang langsung membuat bola mata berwarna coklat itu terbelalak sempurna. Ia melupakan satu instruksi yang diberikan oleh Nay pada sesi memasak tadi. Tambahkan garam sedikit saja, jangan terlalu banyak!
“Hentikan, Ari. Jangan makan!”
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit asin, kok.”
Sedikit asin, eh? Bahkan, lidah Ellin terasa mati rasa karena rasa asin yang berlebihan. Ia lupa berapa sendok garam yang ia masukkan ke dalam tumisan tadi.
“Jangan makan ini! Sebaiknya kita makan kue lapis saja.”
Melihat ekspresi khawatir di wajah Ellin memberikan penghiburan di benak Ari. Dalam hati ia berharap Ellin tidak akan pernah mengingat segalanya. Biarlah mereka menjalani kehidupan sebagai pasangan baru. Lebih baik ia tidak pernah mengajak Ellin melakukan terapi untuk mengingat memori lama.
Ari berjanji akan membuat Ellin tidak pernah mengingatnya lagi. Sky sudah mati.
***