Malam sudah semakin larut saat Ellin terlelap di kamar utama. Memandangi wajah wanita yang memiliki lesung pipi itu membuat Ari sedikit murung. Ia mencintai Ellin sejak kanak-kanak, lalu bisa menikah dengannya saat dewasa merupakan keajaiban. Seharusnya semua sudah sempurna. Semuanya tidak benar sejak awal, ia nyaris terpuruk selama setahun terakhir.
Setelah memastikan Ellin benar-benar tidur, ia menarik selimut tebal menyelimuti tubuh sang istri. Ingin sekali mencium kening Ellin seperti pertama menikah dulu, tapi ia menahan diri. Sebagai gantinya, ia mengelus lembut pipi Ellin dan berbisik, “Maafkan aku, El.”
Ari menutup pintu kamar utama pelan sekali, lalu berjalan menuju ke kamar sebelah yang lebih kecil. Kamar berukuran 3 x 2,5 meter itu merupakan tempat kerja Ellin sebelum kecelakaan dua bulan lalu. Mbok Lastri rutin membersihkannya setiap hari, kecuali dua hari terakhir sejak wanita tua itu mengajukan cuti.
Ada satu set komputer di sebelah kanan, sofa dan meja kecil di sebelah kiri. Dulu Ari yang meletakkan pot tanaman kaktus di samping meja kerja sesuai permintaan Ellin. Kini kaktus itu masih hidup, seolah menertawakan kehidupannya dengan duri-duri tajam yang menempel di seluruh tubuh. Ia menyeret langkah menuju ke kursi dan mendudukkan diri di sana. Tangan kanan Ari menarik laci dan menemukan sebuah kotak berwarna merah yang dihiasi pita warna senada.
Tangannya agak gemetar saat ia memberanikan diri membuka isinya, melewati batas privasi yang sering disebutkan Ellin. Sudah lebih dari dua bulan, ia tidak pernah menyentuh benda-benda milik Ellin, kecuali beberapa kartu ucapan yang tidak sengaja ia temukan. Bahkan, Ellin menemukan kartu ucapan Sky untuk Blue di salah satu kantong baju. Ia teledor tidak mengecek keseluruhan isi lemari. Jika ia menemukan lebih dulu, kartu itu akan hangus terbakar di perapian.
Di dalam kotak berwarna merah itu, ada sepucuk surat yang ditulis oleh Sky untuk Blue.
Dear Blue,
Kamu pernah berkata padaku, “Jangan menjadi api kalau kamu takut terbakar.”
Jika kamu mau menjadi bara, aku tidak akan pernah takut menjadi api. Mari terbakar sama-sama!
Regards,
Sky
Ari membaca isi kertas itu dengan tatapan terluka. Ia membalik kartu ucapan itu dan menemukan dua tiket ke St. Petersburg yang tidak berguna. Ellin tidak pernah main-main dengan ucapannya. Wanita itu berniat meninggalkannya tiga bulan lalu. Tidak menutup kemungkinan ia akan benar-benar meninggalkannya saat ingatan itu sudah kembali. Membayangkannya saja sudah membuat d**a terasa sakit. Sebegitu besarkah cintanya kepada Ellin? Ia menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Jika kamu memang ingin menjadi api, El, maka aku akan menjadi air. Kita akan padam bersama!” Ari meremas kartu ucapan dari Sky sampai tidak berbentuk. Membuangnya ke tempat sampah dekat pot kaktus.
***
Sinar matahari masuk ke kamar melalui celah di antara tirai jendela yang meliuk tertiup angin. Membuat Ellin mengerjapkan mata beberapa kali, lalu berbalik menarik selimut lebih tinggi hingga ke lehernya. Saat ia membalikkan tubuh ke samping kiri, sesuatu yang keras terasa menabrak kepala. Begitu matanya terbuka, tampak wajah Ari yang tengah terlelap.
Tangan Ellin tergoda untuk menyentuh lengan Ari yang berotot, naik ke atas hingga menyentuh sisi wajah sebelah kanan. Menuruni rahang itu, menggeser jemari menuju bibir. Wajah sang suami lumayan tampan. Meski tidak setampan para model di majalah, tapi bisa membuatnya terhipnotis. t**i lalat di dekat hidung membuatnya semakin penasaran. Disentuhnya t**i lalat itu pelan sekali sebab ia khawatir membangunkan Ari. Mendadak kedua bola mata itu terbuka dan menatap kurang fokus pada sang istri.
“Kamu sudah bangun?” tanya Ari masih berusaha memulihkan kesadaran.
“Maaf, aku membuatmu terbangun,” balas Ellin yang masih tidak bergerak dari posisi mereka berhadapan.
Menyadari tangan kiri yang masih membelai pipi Ari, Ellin segera menariknya kembali. Agak malu-malu, tetapi Ari memperhatikan gerak-gerik sang istri.
“Aku tidak tahu kalau kamu bisa berubah lebih agresif sekarang.”
Rasa malu Ellin semakin menjadi-jadi sehingga ia melompat bangun dari ranjang. Tak lagi menatap ke belakang, ia berkata keras, “Aku mau ke kamar mandi.”
Menatap tingkah Ellin yang gugup, Ari tersenyum sendiri. Sudah lama ia kehilangan cara untuk tertawa, maka biarkan ia menikmati sekali saja. Lupakan semua hal tentang Sky dan Blue, biarkan mereka merajut kisah pengantin baru yang sempat tertunda. Namun, bisakah ia menyentuh Ellin bila hati wanita itu bukan untuknya?
***
“Kamu bikin apa?” tanya Ellin yang merengkuh pinggang Ari dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri asyik mengetuk pinggiran meja.
“Uhm … roti bakar dan telur mata sapi untuk sarapan. Kamu tidak keberatan, ‘kan? Mbok Lastri belum kembali, anaknya sakit.”
“Seharusnya aku yang membuatkan sarapan untukmu. Kamu bisa segalanya, Ar. Mungkin alasan itulah yang membuatku menikahimu, ya!”
“Bukan,” sahut Ari cepat.
“Maksudmu?”
“Aku yang memaksamu untuk menikah denganku.”
Ellin tertawa ringan, lalu menyentuh rambut gondrong Ari perlahan. “Kamu ganteng, aku pasti tidak keberatan menikah denganmu.”
Ari mengetukkan sebutir telur di hidung Ellin yang membuat sang istri memajukan bibir. Tangan Ari begitu cekatan menggoreng telur mata sapi di atas teflon. Diam-diam Ellin merasa ia adalah wanita paling beruntung di dunia.
“Ari, ada yang ingin kutanyakan padamu?”
“Apa?” sahut Ari yang tengah mengangkat telur dan menyajikannya di atas piring.
“Sudah lama aku ingin menanyakan hal ini padamu, tapi aku tidak cukup memiliki keberanian. Kamu harus berjanji tidak akan marah dulu.”
Mengernyitkan dahi tidak mengerti, Ari segera mengetukkan telur yang kedua. Membuat adonan telur mata sapi yang sempurna.
“Baiklah … aku tidak akan marah selama berada dalam batas kuasaku, El.”
Ellin menyentuh lengan bawah Ari yang kokoh, terpana pada kedua iris coklat yang memandanginya lekat.
“Di mana cincin kawinku? Kamu selalu memakainya, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan cincin itu. Aku sudah mencarinya di kamar, di laci meja rias, di mana saja … tidak ada.”
Wajah Ari agak tegang, tapi ia tampak rileks setengah menit kemudian. “Kita sarapan dulu. Nanti aku ceritakan, ya!”
Ellin mengangguk setuju dan membantu Ari meletakkan sarapan di atas meja makan. Dua cangkir teh chamomile yang menenangkan masih menguar di samping roti bakar. Mereka makan dalam diam, bahkan Ellin bisa menghabiskan telur mata sapi lebih cepat dari perkiraan. Lima belas menit berlalu, Ari membawa piring kosong ke wastafel dan mencucinya lebih dulu. Menunggu Ari yang urung kembali ke meja makan, Ellin mencengkeram erat cangkir tehnya sendiri.
“Aku tidak tahu apakah kamu sudah siap menerima informasi ini.”
“Kamu membuatku cemas, Ari.”
Ari tersenyum tipis. “Aku tidak ingin mengingatkanmu pada hal buruk itu. Cincin itu hilang saat kamu kecelakaan.”
“Bisakah? Maksudku, aku kira cincin itu kamu ambil selama aku menjalani perawatan di rumah sakit.”
Wajah Ari agak berubah, Ellin merasa agak bersalah. Saat memandang manik mata lelaki itu, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan sang suami.
“Kita bisa membeli cincin lagi di Kota Gede.”
“Kota Gede?”
“Ya, Ibu meneleponku kemarin. Mungkin kita bisa menengoknya sekalian jalan-jalan ke Jogja.”
“Kapan kita ke sana?” tanya Ellin antusias.
“Mungkin pekan depan. Aku ada jadwal pemotretan prewedding hari Minggu nanti. Kamu tidak masalah, ‘kan?”
“Tentu saja tidak.”
Memperhatikan Ellin yang menyeruput cangkir teh dengan wajah lebih sumringah, Ari mengulum senyum tipis. Lelaki itu memperhatikan gerakan Ellin yang lebih alami, Ellin yang dulu ia kenal sejak kanak-kanak.
“Tapi kita bakal ada tamu sebentar lagi.”
“Siapa?” Ellin mendongak.
“Teman-temanmu di kantor.”
Hati Ellin mencelos. Jika teman-teman dari kantor berkunjung, mungkinkah ia akan bertemu lelaki yang memiliki mata sayu itu? Tidak … tidak, kenapa sebagian hatinya merasa ada yang aneh? Dia berharap bisa melihat lelaki itu secara nyata, bukan sekadar lewat foto. Bahkan, ia tidak berani bertanya pada Nay tentang laki-laki itu. Entah kenapa ada perasaan bersalah yang menyelinap seolah ia telah mengkhianati Ari.
Ia tidak akan pernah melakukan itu. Lelaki sebaik Ari berhak mendapatkan istri yang baik di dunia ini. Di kehidupan lalu, apakah ia telah menjadi istri yang baik itu?
“Kamu baik-baik saja, El?”
Menatap Ari yang terlihat cemas, bibir Ellin menyunggingkan senyum tulus. “Tentu, Ari. Aku akan selalu baik-baik saja selama ada dirimu.”
Mau tidak mau, Ari membalas senyuman Ellin. Ia tidak akan menyerah. Sky tidak akan pernah mendapatkan Blue sampai kapan pun. Selama nyawa masih dikandung badan, ia akan mempertahankan Ellin, kecuali sang istri ingin pergi untuk kedua kali.
***