Sepotong Ingatan

1268 Kata
“Wah, kalian lagi sarapan bubur, ya! Pasti beli di tempat Pak Sam,” komentar Nay begitu melihat dua mangkuk bubur di meja makan. “Ellin suka bubur ayam,” sahut Ari yang kembali menduduki kursi, sedangkan Nay menarik kursi  lain yang agak jauh. Ellin hanya memperhatikan interaksi dua orang tersebut dalam diam. Ia melirik sekilas ke arah Nay yang disambut dengan tatapan berbeda. Mata coklat di balik kacamata tebal itu berkaca-kaca, seperti langit yang siap menumpahkan air bah kapan saja. Ia benci perasaan itu datang lagi. “Nay, aku ada jadwal pemotretan sebentar lagi,” ucap Ari membuyarkan konsentrasi Ellin. Ellin kembali melirik Ari yang menatap Nay serius, sedangkan sang lawan bicara hanya mengangguk. “Tak masalah, kok. Aku memang berencana datang ke sini sejak kemarin.” Ari menghembuskan napas lega. “Terima kasih, Nay, kamu mau menemani Ellin. Aku tidak akan lama, kok.” Lelaki yang memakai kaos polos warna putih itu menatap jam di dinding ruang makan. “Mungkin aku akan kembali sebelum jam makan siang.” “Beres, Ar. Selesaikan saja pekerjaanmu dengan baik, aku akan menemani Ellin.” Saat Ari berdiri, mendadak Ellin menyentuh pergelangan tangannya. Meremas agak erat dan enggan melepaskan. Terlihat cemas membayang dari kedua iris coklat Ellin, membuat Ari berhenti untuk menenangkan wanita itu. “Aku harus pergi, Sayang. Hanya sebentar saja, kok. Aku janji bakal pulang lebih cepat.” Nay yang memperhatikan reaksi Ellin langsung menoleh ke arah lain. Ia pura-pura menunduk, lalu mengusap air mata dengan cepat agar tidak terlalu kentara. “Ellin, aku akan menemanimu. Tidak perlu khawatir, ya!” Meski agak ragu, tetapi Ellin melepas pegangan dan membiarkan Ari bergegas mengambil peralatan di kamar. “El, kita ngobrol di rooftop, yuk!” Ellin tidak menjawab, tetapi ia menyeret kakinya dengan paksa menuju ke lantai tiga. *** Taman terbuka di lantai tiga membuat Ellin takjub. Berbeda dengan desain dua lantai rumah yang didominasi warna putih, maka lantai tiga adalah taman hijau yang cukup luas. Beberapa pot tanaman ditata begitu rapi, ada pula sebagian yang digantung. Tangan kanannya menyentuh tanaman gantung bercorak garis warna putih kombinasi hijau dan ungu. “Itu tanaman kesukaanmu.” Ellin menoleh pada Nay yang mengekor di belakangnya. “Sepertinya Ari merawat tanaman dengan baik. Kamu tahu kalau Tradescantia perlu akar yang bagus agar bisa bertahan hidup, ‘kan?”  Mengacuhkan Nay, Ellin beranjak menyentuh beberapa tanaman gantung lain. Setelah puas memandangi sekeliling selama lima menit, kakinya bergerak ke dekat pembatas. Ada bangku besi yang berada di dekat n kolam ikan buatan dengan sebuah kanopi besar yang bisa terbuka dan tertutup secara otomatis. Melihat wajah Ellin yang berubah lebih cepat, kening Nay mengernyit tebal. “Kutebak Ari belum pernah mengajakmu ke sini, ya?” Ellin menggeleng. Sebenarnya, Ari pernah mengajaknya untuk melihat sunrise di rooftop, tetapi ia menolak permintaan itu. Tempat yang paling nyaman hanya kamarnya sendiri. Ia masih belum memahami apa yang telah terjadi. Ari bilang kalau ia butuh waktu untuk pulih dari kecelakaan hebat, tetapi ia masih terlalu takut bertemu dengan orang-orang yang tidak bisa ia kenali. Bahkan, ia melupakan memori masa kecil bersama ibunya sendiri. “Jangan memaksakan diri untuk mengingat segalanya, El. Aku mengajakmu untuk rileksasi. Ayo, kita duduk di sini!” Tangan kanan Nay menarik Ellin lebih dekat, lalu mereka duduk bersisihan di bangku taman. Memandang pada sinar matahari yang mulai naik, Nay menawarkan diri untuk menutup kanopi. Namun, kepala Ellin menggeleng sebagai jawaban. Ia merindukan sinar matahari menerpa kulit yang hangat. “Sebaiknya kita berkenalan lebih dulu. Maksudku, kita pernah berkenalan dimasa lalu, tetapi kamu belum bisa mengingat kenangan itu. Bagaimana menurutmu, El?” Ellin tidak tahu harus menanggapi apa, maka ia mengangguk saja. “Kenalan dengan cara biasa terlalu basi. Bagaimana kalau kita kenalan lewat permainan saja?” “Permainan?” ulang Ellin tidak paham. Nay mengangguk dengan sabar, lalu mencari sesuatu dalam sling bag. Ia mengeluarkan sebuah lipstik setelah mengaduk isi tas selama sepuluh detik. “Untung saja aku beli lipstik biasa, bukan super matte.” Ellin hanya menautkan alis, lalu Nay meletakkan lipstik di telapak tangannya. “Karena kamu belum bisa mengingatku, bagaimana kalau kamu bertanya apa saja padaku? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, kecuali aku memang tidak bisa menjawabnya. Jika aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, maka kamu boleh mengoleskan lipstik di wajahku. Di bagian mana saja.” “Kamu yakin?” tanya Ellin memandang Nay sekali lagi. “Tentu saja, Ellin. Kita bersahabat sudah lama, aku tidak pernah berbohong kepadamu.” Ellin menggenggam lipstik erat, lalu membuang pandang pada kolam ikan buatan yang memiliki air mancur kecil. Menghembuskan napas berat, ia mulai menatap Nay yang duduk lebih tegak. Siap menerima pertanyaan yang meluncur dari bibirnya. “Kamu bisa mulai dengan pertanyaan yang sederhana, kok.” Menggangguk pelan, bibir Ellin mulai terbuka. “Siapa nama lengkapmu?” Nay mengernyit, lalu ia tertawa agak keras. “Astaga, aku lupa mengenalkan diri padamu. Namaku Nayla Fitrisari. Kamu bisa memanggilku Nay atau Noi. Sejak dulu kamu lebih suka memanggilku Nay.” “Apa kita berteman sejak lama?” “Tentu saja. Mungkin sejak kita masuk ke SMP yang sama, bahkan kita sekelas tiga tahun berturut-turut. Saat kamu berniat melanjutkan pendidikan di SMA Pertiwi, aku mengikuti langkahmu. Kita ditakdirkan untuk bersama. Maksudku, kita selalu sebangku di sekolah dulu.” “Aku mengerti.” Kediaman melanda selama beberapa menit, lalu Ellin menatap Nay yang terus memperhatikan sejak tadi. “Apa kamu senang berteman denganku dulu?” Nay terbelalak, tapi ia bisa menguasai diri dengan cepat. Memainkan kedua tangan di atas pangkuan, ia memilih menatap pot bunga mawar di dekat kolam. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Nay agak cemas. Ellin mengangkat bahu singkat. “Aku hanya penasaran dengan diriku yang dulu. Apa aku tipe orang yang menyenangkan?” “Kamu adalah tipe orang yang ceria, hangat dan cerewet. Dulu, aku tipe orang yang lebih banyak diam. Sejak duduk sebangku denganmu, aku ketularan sikapmu yang lebih terbuka. Kamu adalah orang paling menyenangkan yang pernah kukenal. Pantang menyerah, mandiri dan cerdas. Tidak ada yang kurang darimu.” “Manusia pasti memiliki kekurangan,” sahut Ellin tanpa sadar. “Ya, kamu benar. Ada satu kekura—bukan begitu, lupakan saja!” “Ari menolak bercerita tentang masa lalu. Ia hanya mengatakan beberapa hal tentang diriku, tapi ia menolak membicarakan dirinya sendiri.” Nay menggenggam tangan Ellin kuat, lalu mengelus punggungnya dengan lembut. “Dokter bilang kalau ingatanmu akan pulih seiring waktu. Pelan-pelan saja! Pasti Ari ingin kamu mengingat semuanya dengan baik. Butuh waktu untuk mencapai tahap itu.” “Kamu benar.” “Oh ya, kamu yang membuat desain rooftop ini, lho!” “Benarkah?” Nay menarik tubuh Ellin mendekat ke kolam buatan, menyaksikan beberapa ikan koi yang berenang dengan gesit. “Apa aku yang membeli ikan koi ini?” “Tentu saja. Ari selalu menuruti semua keinginanmu, Ellin. Segalanya yang bisa ia berikan untukmu, termasuk nyawa pun.” Seharusnya perkataan Nay mampu membuat Ellin terbang tinggi. Pasti semua wanita menginginkan suami idaman seperti Ari yang selalu berusaha menuruti keinginan istri. Namun, ada benda tajam tak kasat mata yang menghunjam dadanya. Entah kenapa ia merasa telah melakukan banyak kesalahan pada lelaki itu. “Nay, apakah Ari benar-benar mencintaiku dulu?” Mau tidak mau, Nay menganggukkan kepala mendengar pertanyaan Ellin. Ia sudah berjanji pada Ari untuk tidak mengungkit kejadian yang sebenarnya. Janji yang berusaha ia tepati sejak menerima permintaan Ari untuk menemani Ellin di rumah. “Ia sangat mencintaimu, El. Kalau tidak percaya, kamu bisa melihat album pernikahan kalian lima tahun lalu.” Ellin menatap Nay sekilas, lalu mengangguk setuju. Masih terlalu pagi untuk meresahkan semua hal yang tidak bisa ia ingat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN