Bab 2. Kutunggu Jandamu

1077 Kata
"Haris kenapa, La?" tanya Siska. Aku langsung menepikan kendaraan. Beruntung jalan raya tidak sedang ramai. "Mobilnya nyerempet pengendara lain. Sebentar, aku telepon dulu." Kutekan nomor yang baru saja mengirim pesan foto Haris. Sambungan berlangsung lalu terdengar suara yang tak asing di telinga. "La, tolongin aku. Aku nyerempet mobil orang. Dia mau laporin aku ke polisi, Aku gak mau, La." suara Haris tampak khawatir. Aku menghela napas berat, tidak habis pikir kenapa dia sampai nyerempet mobil orang lain? Astaghfirullah .... "Kamu sekarang di mana?" Haris menyebutkan alamatnya saat ini. "Oke, aku sekarang ke sana. Kamu jangan kemana-mana dulu." "Iya." Sambungan telepon terputus. Aku kembali mengemudikan kendaraan menuju lokasi Haris saat ini. "Sis, kamu tolong kasih tau klien, meeting kita diundur satu jam. Takutnya nanti mereka kelamaan nunggu. Lebih baik kita yang nunggu, dari pada mereka," titahku pada Siska yang selama ini menjadi sekretaris pribadiku. "Oke siap!" Sampai di lokasi, Haris tengah berbincang dengan bapak-bapak yang usianya mungkin sudah 50 tahunan. "Makanya kalau nyetir jangan sambil mesra-mesraan!" Langkah kakiku terhenti mendengar kalimat bapak itu. Siska menoleh, merangkul pundakku. "Samperin dulu biar cepet kelar masalahnya," ucap Siska. Aku mengangukkan kepala. Lalu melanjutkan langkah, menghampiri Haris dan pak tua yang tengah berbincang. "Permisi, Pak, Bang." "Nah ini, ini istri saya. Dia yang akan membayar kerugian Bapak." Astaghfirullah, punya suami kayak gini amat? Kenapa dia seperti memanfaatkanku. Melirik wanita seksi yang berdiri tak jauh dari suamiku. Siapa wanita itu? Aku rasa dia bukan klien atau partner kerja. "Oalah ... kirain duda atau bujangan lapuk. Gak taunya udah punya istri. Udah punya istri kok mesra-mesraan sama cewek lain. Jadi cewek itu, selingkuhanmu, ya?" Keningku mengkerut mendengar bapak-bapak itu seolah menyindir Haris. Sikap Haris mendadak salah tingkah. Ia menoleh pada gadis seksi itu sambil garuk-garuk kepala. "Jangan nuduh sembarangan, Pak! Sekarang Bapak sebutin, berapa yang harus saya ganti? Tuh, selagi ada istri saya!" Haris menunjukku agar menggantikan kerugian yang dialami bapak-bapak yang rambutnya sudah memutih. "Kurang lebih tiga juta, Mbak. Soalnya bamper mobil saya kena ini! Tuh lihat!" "Buset! Kira-kira dong, Pak! Dari pada ganti sampe 3 juta, mending si Haris laporin ke polisi," celetuk Siska dengan gaya tomboynya. "Siska, kamu kalau ngomong dijaga dong? Enak aja, suruh dilaporin polisi. Emang kamu mau, kalau punya temen tapi suaminya di penjara?" Haris tidak terima. Sementara waktu, lebih baik aku diam dulu. Memerhatikan tingkah Haris sambil melihat sikap si cewek yang katanya selingkuhan Haris. "Idih, bodo amat. Bukan urusan gue kali!" Siska mencebik. Aku mengulum senyum, berpikir sejenak. "Pak, apa gak bisa satu juta aja? Masalahnya kan, itu gak terlalu parah," kataku setenang mungkin. Dalam masalah ini, tidak baik kalau tersulut emosi. "Satu juta lima ratus deh. Cukup kayaknya." Aku bernapas lega karena bapak-bapak itu mau menurunkan permintaannya. "Oke, saya transfer sekarang. Nomor rekening Bapak berapa?" Aku tak mau berdebat lagi. Di kantor banyak kerjaan. Buang-buang waktu kalau mengurusi masalah ini. "Sebentar, saya lihat dulu." Setelahnya tanpa banyak bicara aku transfer sejumlah nominal yang diminta. "Sudah ya, Pak. Sekian kalinya saya mohon maaf." Biar bagaimanapun, bapak-bapak itu orang tua. Aku harus menghormatinya terlepas ucapannya menyebalkan atau tidak. "Iya gak apa-apa, Mbak. Saya juga makasih banyak. Kalau begitu, saya permisi." "Iya, Pak." "Udah dapat duit, baru pergi," gerutu Haris tak sopan. "Semuanya gara-gara lu! Lagian bawa mobil aja pake nyerempet segela," dengus Siska kesal pada Haris. Aku menghampiri lelaki yang masih berstatus suami. "Dia siapa?" tanyaku bersidekap, menunjuk gadis yang berdiri di sampingnya dengan dagu. Sikap Haris langsung salah tingkah. "Oh, dia ... dia ini ... eu ... dia anak mandor perkebunan teh, La. Iya, anak mandor perkebunan teh." Aku menyunggingkan senyum sinis. Haris pikir aku bodoh. Walaupun aku jarang datang ke perkebunan teh tapi aku tahu betul para pekerja di sana apalagi dengan Mandor Juki. Mang Juki tidak punya anak perempuan. Anaknya laki-laki semua. Dasar Haris tukang bohong! "Oh gitu. Terus dia ngapain ikut sama kamu?" Sengaja, aku bertanya demikian. Ingin dengar, apalagi jawaban Haris. Apa mungkin rumor yang aku dengar selama ini benar adanya tentang Haris yang suka selinguh? "Dia mau ke rumah temennya. Kata dia, temennya ada di Jakarta. Ya dari pada dia naik angkutan umum, lebih baik ke Jakarta baru aku." "Eh bego! Enggak lebih baik kalau lu udah punya bini. Eh, cewek. Sekarang lu jujur dah, lu pacarnya si Haris 'kan? Kalau lu jujur, gue kasih duit," sentak Siska berdiri di depan wanita itu. Aku bergeming, menunggu jawaban wanita yang belum aku ketahui namanya. "Tante! Tante Siska ngapain di sini? Oh ada Mbak Laila juga. Eh, ada suaminya juga." Hah? Tuh anak kenapa tiba-tiba datang ke sini? "Nih, lakinya si Laila habis nyerempet mobil orang. Giliran diminta ganti rugi, pake telepon bini. Ribetin lu, Ris! Bener-bener parasit!" "Jaga omonganmu, Sis!" Haris tentu saja tidak terima. "Eh, yang dijaga bukan omongan gue, tapi perasaan sahabat gue noh! Udah punya bini nyaris sempurna, masih aja doyan betina lain. Heran!" Astaghfirullah, Siska bahasanya. Kasar amat. "Mbak, cewek itu yang aku lihat di puncak bareng suami Mbak." Apalagi si Damar? Ikut-ikutan saja. "Eh, maksudmu apa, hah? Kamu lihat apa waktu di puncak?" Haris mencengkram kerah Damar. Aku dan Siska langsung berusaha melepaskan kedua tangan Haris dari kerah kemeja yang dikenakan Damar. "Udah, udah. Sekarang aku mau balik ke kantor. Kamu mau ke kantor atau pulang ke rumah atau mau anterin itu cewek?" Lama-lama muak juga lihat tingkah si Haris. "Aku mau anterin dia dulu, La. Kasihan soalnya." "Ya elah, kasihan ... woy, woy, yang harus dikasihanin tuh bini lu, bego! La, lu kenapa punya laki bego begini sih?" "Siska, jaga omonganmu! La, bilangin tuh temenmu, jaga omongannya!" "Iya. Ya udah sana, kalau mau nganterin tuh cewek." Sudahlah, aku tidak mau mencegah orang yang tampaknya tidak peduli lagi padaku. "Mbak, maaf ya? Saya gak tau kalau---" "Eh, Risma! Ayok kita pergi!" Ucapan gadis itu langsung dipotong Haris. Tampaknya Risma tidak tahu kalau Haris sudah punya istri. Ah, sudahlah. Di rumah saja nanti aku tanyakan lagi. Kubiarkan Haris pergi satu mobil dengan Risma. Sakit? Tentu saja. Tapi, terkadang aku meraba hati, apa masih ada cinta untuk Haris? Kalau boleh jujur, sudah cukup lama kami tidak melakukan hubungan suami istri. Selain karena sama-sama sibuk, aku juga merasa asing dengan Haris, seperti bukan suami tapi orang lain. "Mbak Laila? Mbak!" "Hah? Kenapa?" Lamunanku buyar, mendengar panggilan Damar. "Mbak gak sakit hati dicuekin kayak gitu?" Dih nih anak, berani sekali bertanya demikian. "Udah, Dam. Jangan segala nanya kayak gitu. La, cabut yuk! Kerjaan numpuk di kantor." "Oke." Aku dan Siska meninggalkan Damar. Namun, langkahku terhenti ketika Damar berteriak, "Kutunggu jandamu, Mbak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN