Ara dengan penuh semangat berjalan memasuki kantor Calvin. Dia tanpa mengetuk pintu langsung saja menerobos masuk dan membuka pintu ruangan pribadi milik pria itu yang hanya dibalas tatapan datar sang pemilik ruangan.
"Daddy.." Ara berusaha memanggil pria yang disebutnya Daddy tersebut masih dengan berdiri tepat tak jauh dari meja kerjanya.
"Aku sayang Daddy."
Calvin yang mendengar hal itu segera bangkit dari tempat duduknya dan segera memeluk Ara -nama gadis itu- dengan erat. "Aku bukan Daddy-mu."
"Bagaimana kalau Daddy dari anak-anak kita nanti?" Ara dengan senyuman lebarnya, ia kini tengah mengedip-kedipkan matanya pada Calvin yang enggan melihat gadis itu karena selalu saja menggodanya.
"Berhenti bermain-main gadis nakal."
Ara hanya bisa menjulurkan lidahnya saat ia telah berhasil mencuri satu ciuman kilat di pipi pria itu dan berlari menjauh setelahnya. Sudah menjadi kebiasaannya yang senang sekali menggoda lelaki kaku seperti Calvin setiap hari.
Sementara Calvin yang mendapati sifat Ara sama sekali tidak berubah meskipun telah beranjak dewasa, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadisnya itu, terlalu ekspresif.
"Daddy, aku sudah lulus SMA loh, bagaimana kalau kita menikah?" Calvin yang mendengarnya hanya bisa berusaha mengabaikan perkataan Ara dan kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Merasa diabaikan, gadis itu tak hilang akal. Dia kini berjalan memutari meja kerja Calvin dan berhenti tepat di belakang Calvin yang sudah kembali duduk di kursi kebesarannya.
"Daddy.." Ara semakin merengek karena ucapannya selalu diabaikan oleh pria itu, sungguh terasa menyebalkan.
"Aku sedang sibuk bekerja Ara."
"Apa pekerjaanmu lebih penting dariku?"
"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu sebelum menemanimu bukan?"
Ara hanya bisa mengembungkan kedua pipinya kesal mendengar jawaban Calvin, selalu saja seperti ini. Kapan kiranya Calvin akan lebih memprioritaskan dirinya dibanding setumpuk kertas yang sangat membosankan untuk dipandang itu. Membuat Ara kembali menghentak-hentakkan kakinya yang bahkan masih tebalut sepatu sekolahnya. Gadis itu kini masih dengan seragam SMA yang melekat pas di badannya.
"Aku hanya ingin mengajak Daddy ikut merayakan kelulusanku hari ini, apa itu terlalu berat?" Ara tidak menyerah, ia masih saja merajuk pada Calvin yang gila kerja. Padahal saat ini sudah memasuki jam makan siang.
"Tunggu sebentar lagi, kalau aku langsung pergi menemanimu sekarang pekerjaanku akan terbengkalai." Calvin masih dengan raut wajah datarnya kembali menyahuti Ara tanpa memandang wajah gadis itu.
Ara yang merasa tak diperhatikan sama sekali hanya bisa terdiam. Kedua pelupuk matanya sudah berkaca-kaca menandakan akan ada sesuatu yang tumpah setelahnya. Dan benar saja, tak lama kemudian suara isak tangisnya dapat didengar oleh Calvin yang masih fokus pada dokumen di depannya.
Pria itu tampak mengembuskan napasnya pelan saat mendengar suara tangis Ara, ini adalah kelemahannya. Perlahan Calvin bangkit berdiri dari kursi putarnya dan berjalan mendekati Ara yang tampak terduduk di sofa ruang kerjanya. Gadis itu terlihat enggan menatapnya, ia memalingkan wajahnya ketika melihat Calvin berjalan ke arahnya.
Calvin berusaha memalingkan wajah Ara agar mau menghadap padanya, ia mengusap wajah cantik gadis itu yang basah oleh air mata. Tentu saja Ara tau kalau dia terlalu berlebihan, tapi biarlah toh dia memang sengaja.
Calvin segera saja memeluk Ara dengan erat, menenggelamkan wajah gadis itu dalam hangat d**a bidangnya. "Ayo kita pergi ke pantai."
Ara yang mendengarnya segera melepaskan pelukan mereka dan menatap wajah Calvin dengan senyuman cerianya, ia menganggukkan kepalanya berulang kali sebelum kembali memeluk Calvin dengan begitu erat.
"Aku sayang Daddy."
"Hmm." Calvin tersenyum, meskipun tetap saja ada rasa jengkel ketika mendengar Ara memanggilnya dengan panggilan 'Daddy'. Sungguh menggelikan.