Kini Ara telah berada dalam sebuah taxi yang sengaja ia pesan secara diam-diam. Tentu saja ia tak mungkin membiarkan keluarganya atau siapapun tau kalau kini dia tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit, membayangkannya saja membuat Ara menggelengkan kepalanya berulang kali.
Ayahnya begitu protektif padanya, apalagi Calvin. Maka dari itu kini dengan berbekal masker dan dan hodie yang ia kenakan dengan sengaja agar menutupi wajahnya. Dengan langkah kaki yang pelan juga wajah menunduk, gadis itu datang ke sebuah ruangan yang di dalamnya bernuansa serba putih.
"Permisi dok," dengan pelan bunyi deritan pintu yang dibuka cukup untuk mengalihkan perhatian sesosok dokter paruh baya yang tengah sibuk dengan berkas pasien di depannya.
"Oh Ara, silahkan duduk." senyum cerah dokter tersebut tampak mempersilahkan Ara agar memasuki ruangannya.
Sebelumnya gadis itu memang telah membuat janji temu dengan dokter yang sudah dianggapnya sebagai Ayah keduanya ini.
"Bagaimana kondisimu?"
"Baik dok," ucap Ara pelan dengan senyum yang terkesan lemah.
"Panggil Paman saja Ara." pria paruh baya itu kembali menegur Ara yang bersikap terlalu formal padanya, padahal ia sendiri telah manganggap gadis manis itu seperti putri kandungnya.
"Iya Paman."
"Sini, biar Paman periksa kondisimu."
Dengan langkah pelan Ara beranjak dari duduknya dan mulai membaringkan dirinya di atas sebuah brankar. Sementara dr.Andi kini tengah memeriksa kondisi Ara dengan alat-alat yang entah Ara sendiripun tidak tau namanya.
"Kemarin kamu mimisan lagi?"
Ara hanya bisa mengangguk pelan, ia dapat melihat sedikit raut kecewa di wajah renta pamannya yang mulai menua. "Kenapa kamu tidak ingin keluargamu tau Ara? Kamu pasti tau kalau kamu tidak mungkin bisa menutupi hal ini terus-terusan dari mereka."
Ara hanya bisa memalingkan wajahnya ke arah lain, enggan menatap dr.Andi yang kini menatapnya prihatin. "Aku tidak ingin dipandang lemah paman, aku tidak ingin menyusahkan. Aku ingin hidup normal."
Dr.Andi tampak menghela napasnya panjang, ia tau kalau gadis di hadapannya ini sangatlah keras kepala. Jadi dia hanya bisa menasehati meski ia tau bahwa itu semua tak akan berhasil. "Jika kamu terus-terusan menyembunyikan hal ini, paman hanya takut kamu nanti.."
"Suatu saat mereka akan tau paman, paling tidak beri aku waktu. Aku masih belum siap.."
"Baiklah Ara, paman akan menyiapkan beberapa obat untukmu. Ingat selalu untuk Mengkonsumsi obat itu, paman tidak ingin kamu semakin parah."
Ara hanya mengangguk pelan, ia menerima bungkusan berbagai macam obat yang telah diracik paman Andi untuknya. Ara tersenyum pelan seraya pamit dari ruang dr.Andi dengan sebuah senyuman.
___
Sesampainya di rumah, Ara kini tengah mendapati Ayahnya yang menunggu kedatangannya di depan ruang keluarga. Dengan senyum cerianya Ara datang menghampiri Ayahnya yang telah berwajah masam.
"Ara pulang Ayah.."
"Darimana saja kamu, supir kamu lapor pada Ayah kalau kamu kabur sewaktu pulang sekolah."
Dengan senyum tanpa dosanya Ara hanya bisa tersenyum lebar seraya memeluk Ayahnya manja. "Ara hanya main ke rumah teman sebentar Ayah."
"Kenapa harus diam-diam?"
"Karena pasti Ayah gak ngijinin kalau aku bilang dulu." dengan menghentak-hentakkan kakinya pelan Ara kembali merengut pada Ayahnya.
"Lain kali jangan buat Ayah cemas, kamu tentu tau kenapa Ayah bersikap seprotektif ini sama kamu nak."
"Iya Ayah, Ara tau." gadis manis itu hanya bisa memeluk Ayahnya erat, ia tau kalau dia telah membohongi Ayahnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi ini semua ia lakukan hanya karena Ara tidak ingin mengecewakan Ayahnya yang sangat takut kehilangannya setelah kejadian itu. Kejadian yang hampir merengut nyawanya.
"Ayah, aku ingin menikah."
Perkataan Ara kontan membuat tubuh pria paruh baya itu menegang. Dengan gerakan pelan Ayah Ara menatap wajah putri satu-satunya dengan sorot meyakinkan. "Tapi sayang, kamu masih.."
"Aku ingin menikah dengan kak Calvin Ayah."
"Kenapa harus secepat ini? Ayah masih belum rela melepas kamu nak."
"Ayah sayang sama Ara kan?" dengan kedua mata berkaca-kaca Ara menatap wajah Ayahnya memohon.
Dengan penuh pertimbangan Ayah Ara mengangguk pelan, meski dengan jelas terlihat keraguan di matanya saat harus merelakan putrinya pada Calvin.
"Terimakasih Ayah, Ara sayang Ayah." sekali lagi Ara memeluk Ayahnya erat, ia dalam diam kembali menitikkan air matanya dan dengan segera mengusapnya sebelum Ayahnya menyadari kalau ia menangis.
"Kalau begitu Ara ke atas dulu ya Ayah.." setelah mengecup pipi sang Ayah, cepat-cepat gadis itu berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Ara jangan lari-lari di tangga, nanti kamu jatuh."
Ara hanya membalas teguran Ayahnya dengan tawa riang yang ditujukannya pada sang Ayah, membuat pria paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
Setelah melihat bahwa Ara telah memasuki kamarnya, kini Tuan Reno -ayah Ara- mencoba menghubungi Calvin yang segera diangkat dalam dering ketiga.
"Calvin saya ingin bertemu dengan kamu nanti malam."
'Baik om.'
___
Kali ini Ara telah memakai baju favoritnya, setelan dress berwarna putih yang simpel namun terlihat begitu pas dan anggun saat Ara mengenakannya. Di bawah, Tuan Reno dan juga Calvin tengah berbincang santai di ruang makan selagi menunggu Ara turun ke bawah.
Sesampainya di bawah, kini Ara semakin memunculkan senyum cantiknya yang dengan mudah segera menular pada siapapun yang melihatnya saat ini. Hal itu terlihat dari raut muka Calvin yang perlahan melengkungkan garis bibirnya ke atas ketika melihat sosok gadisnya tampil dengan begitu manis malam ini.
"Anak Ayah memang selalu manis." Tuan Reno tersenyum lebar seraya memeluk putrinya yang dibalas Ara dengan pelukan erat juga.
"Ehem.." Calvin berdehem pelan merasa dia diabaikan dalam suasana keluarga yang tidak melibatkannya.
"Ayo duduk Ara."
Ara hanya tersenyum manis seraya duduk di meja makan, kali ini ia sengaja duduk di samping Ayahnya. Tidak seperti biasanya yang selalu duduk bersebelahan dengan Calvin, membuat lelaki jakung itu sedikit memincingkan kedua matanya merasa ada yang aneh.
Suasana meja makan begitu kondusif, mereka semua makan dengan tenang tanpa bersuara. Setelah selesai makan barulah Tuan Reno memulai pembicaraan pada Calvin yang memang sedari tadi menunggu maksud dari diadakannya pertemuan ini.
"Calvin, tentu kamu tau kalau tujuan saya mengundang kamu makan malam disini bukan tanpa sebab." Tuan Reno menghentikan perkataannya sejenak, menatap pada putri kesayangannya seolah meminta persetujuan yang dibalas Ara dengan sebuah senyuman manis. "Saya mau kamu menikahi putri saya, Ara."
Calvin tampak terdiam selama beberapa saat, ia kembali menatap Tuan Reno dan Ara dengan tatapan yang membuat gadis tersebut sedikit memalingkan wajahnya menunduk. "Saya akan menikahi Ara setelah dia lulus kuliah."
Kedua tangan Ara kini tampak terkepal kuat di bawah meja, dress yang ia kenakan tampak kusut di bagian paha karena ia refleks meremasnya seiring dengan penolakan secara tak langsung dari Calvin.
"Aku mau menikah dengan kak Calvin secepatnya, atau tidak sama sekali." dengan tekad yang bulat, Ara kini mendongakkan wajahnya menatap pada Calvin yang tampak juga tengah menatapnya tajam.
"Waktu kamu masih panjang Ara, kenapa harus terburu__"
"AKU BILANG AKU MAU MENIKAH DENGAN DADDY!" setelahnya Ara tampak menatap Calvin tak kalah tajamnya. Pandangan matanya menyorot lelaki itu dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Seperti biasanya, Calvin sangat lemah pada air mata Ara. Sebelum cairan bening itu luruh dari kedua mata cantik gadis itu, Calvin dengan segera beranjak dari duduknya. Memeluk badan mungil gadis itu yang saat ini tampak terisak pelan dan ingin memberontak lepas dari pelukannya.
"Jangan menangis," Calvin tampak merengangkan pelukannya dan menatap kedua mata Ara, sebelah tangannya terulur mengusap air mata yang membasahi kedua pipi mulusnya.
"Kita akan menikah secepatnya."