One
"Selamat ya, Aya! Akhirnya kamu hamil!" Pekik seorang wanita dengan tatapan mata berbinar.
"A apa? Jangan bercanda Sarah! Kalau kamu mau menyenangkan hatiku, tidak perlu menggunakan cara itu," sahut wanita bernama Aya dengan tatapan wajah datar sedikit kecewa.
"Kanaya ... aku serius. Kamu sekarang sedang hamil. Kemungkinan sekitar enam minggu," ujar Sarah meyakinkan Kanaya.
"Be benarkah Sarah?" jawab Kanaya masih tidak yakin dengan pendengarannya.
Sarah mengangguk cepat. "Iya, usianya enam sudah minggu," ucap Sarah lagi. Dia segera mendekat dan mendekap erat tubuh Kanaya.
"Alhamdulillah akhirnya kita akan punya anak, Arka," gumam Kanaya dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Semoga dengan hadirnya anak ini, hubunganmu sama Arka akan membaik," ucap Sarah penuh harapan.
"Aamiin. Aku juga berharap seperti itu. Semoga Arka mau menoleh padaku walaupun dia tidak mencintaiku," ujar Kanaya penuh pengharapan.
"Aya, sebagai teman aku hanya ingin yang terbaik buatmu. Kamu jangan banyak pikiran ya, kandunganmu masih muda dan masih lemah," Sarah menasihati Aya yang masih di selimuti euforia kebahagiaan.
"Kamu tenang saja, Sar, aku akan menjaganya dengan segenap jiwaku," janji Aya.
"Aku akan memberimu vitamin, o iya, dua minggu mendatang kamu harus ke sini lagi,"
Aya mengangguk, sudah pasti dia akan datang lagi ke tempat praktik temannya untuk memastikan calon anaknya baik-baik saja di dalam sana.
Walaupun Sarah mengatakan kalau kandungannya masih lemah. Dan juga mengatakan supaya Kanaya
jangan terlalu banyak berpikir serta harus menjaga pola makan.
Kanaya hanya tersenyum tipis mendengar nasihat Sarah. Dia tahu pernikahannya sekarang berada di titik paling rendah. Arka tidak pernah menginginkan dirinya, Kanaya hanya di jadikan pelampiasan nafsu syahwatnya saja.
Selama dua tahun pernikahannya Kanaya selalu berharap akan mendapatkan cinta Arka. Tetapi harapan tak seindah kenyataan. Arka tidak pernah membalas perasaannya atau sekedar memperhatikan dirinya.
Kanaya berharap kehadiran bayi di dalam kandungannya akan membuat Arka mencintainya atau sekiranya mau menoleh padanya.
“Sar, nanti kalau anakmu perempuan terus anakku laki-laki, kita besanan yuk,” ujar Kanaya dengan sorot mata berbinar.
Sarah terkekeh mendengar ucapan sahabatnya,
“Insya Allah,” Sarah menata Kanaya sejenak lalu
melanjutkan ucapannya. "Ay, kamu masih ingat Ethan gak?" tanya Sarah.
"Ethan? Ethan Maulik maksudmu?"
"Iya. Ethan yang pakai kaca mata minus,"
"Ingat dong, memangnya kenapa, Sar?"
"Kabarnya dia sudah kembali ke Indonesia,"
Kanaya hanya bergumam sebagai tanggapan.
***
"Kita cerai!" ujar seorang pria dengan tegas. Tidak ada sedikitpun keraguan yang tersirat dari sorot kedua matanya.
"Cerai?" jawab Kanaya syok. Bak mendengar suara petir di siang bolong saat mendengar suaminya mengajak bercerai. Baru saja akan memberi kejutan pada sang suami malah dirinya yang di buat terkejut. "Jangan main-main.
Maksudnya apa ini?"
"Apa ucapanku kurang jelas?" sahut si pria dengan tatapan tajam. "Dengar Kanaya, kita menikah karena
keinginan orang tuaku saja. Kamu tahu bukan? Kalau aku memiliki seorang kekasih," sambungnya dengan santai.
Kanaya tertunduk dalam diam perlahan tangannya mengelus perutnya yang masih datar.
"Arka. Pernikahan ini memang atas keinginan orang tua kamu. Untuk itu ...
"Aku tetap akan menceraikan dirimu. Mau kalian setuju atau tidak, terserah," sela Arka memotong ucapan Kanaya telak.
Setelah mengeluarkan kata-kata tajam pada istrinya Arka langsung pergi.
"Aku ..., aku ...
Kanaya tidak melanjutkan ucapannya karena Arka sudah berlalu pergi. Lidahnya terasa kelu, tubuhnya pun sangat lemas. Kanaya berharap itu hannyalah mimpi buruk.
"Apa yang harus aku lakukan?" Kanaya kembali mengelus perutnya yang masih datar. "Bersabarlah, Nak, mama berharap ini hannyalah lelucon." Gumam Kanaya.
"Seharusnya kamu menjadi kado ulang tahun untuk papamu, Nak. Mau buat kejutan, malah mama yang terkejut." Suara Kanaya terdengar lirih. Perlahan punggungnya bersandar di sandaran sofa dengan kedua mata terpejam.
Harapan tinggal harapan. Sebelum Kanaya sempat memberi kejutan pada sang suami, malah dia sendiri yang di buat terkejut mendengar kabar akan di ceraikan.
"Jangan rewel ya sayang, mama akan selalu menjagamu."
***
Seminggu sudah Arka tidak pulang ke rumah, dia tinggal di apartemen pribadinya bersama sang kekasih.
Pagi-pagi Arka terbangun dari tidurnya, dia segera bangkit dari tempat tidur tanpa mempedulikan tubuhnya yang polos. Arka berlari menuju kamar mandi karena perutnya terasa sangat mual.
Arka mengeluarkan sisa-sisa makanan di perutnya beserta cairan yang terasa sangat pahit. Entah kenapa sudah beberapa hari belakangan dia selalu seperti ini.
"Mas kamu kenapa sih?" Wanita yang tadi tidur di sampingnya menghampiri Arka yang masih membasuh mulutnya.
"Perutku tidak enak, Win, mungkin masuk angin,"
ujar Arka tanpa menoleh sedikit pun.
"Kalau sakit ya ke dokter, jangan mengotori kamar mandi, " ujar si wanita, dia tidak meneruskan kalimatnya yang seakan tersangkut di kerongkongan. Sorot kedua matanya tampak tak acuh melihat kondisi Arka yang mengenaskan.
Laki-laki itu duduk bersandar di sofa dengan wajah pucat pasi. "Win, Wina!" teriak Arka.
"Kenapa sih Mas harus teriak-teriak segala?" sahut Wina dari arah dapur.
"Tolong buatkan teh panas, Win," ujar Arka.
"Ck. Biasanya kamu buat sendiri. Aku mau mandi!"
sahut Wina ketus.
"Tolonglah Win, badanku rasanya sangat tidak enak. Perut juga sakit," ujar Arka memelas.
"Giliran sakit kamu ngerepotin aku, waktu sehat malah senang-senang sama istrimu," bukan teh yang di terima Arka tapi omelan dari sang kekasih yang semakin membuatnya frustrasi.
Arka memejamkan mata untuk sekedar meredam rasa sakit dan mual di perutnya.
Lama menunggu tetapi teh yang dimintanya tak jua datang. Arka membuka matanya dan menatap arah meja makan. Tampak Wina tengah menyantap makanan dengan lahap tanpa mempedulikan dirinya.
Arka mendesah pelan, sifat Wina memang tidak sebaik Kanaya. Wina selalu ingin di prioritaskan dan di layani.
Berbeda
dengan
Kanaya
yang
lebih
memprioritaskan orang lain dan senang membantu. Tapi apa daya perasaannya pada sang kekasih sudah membutakan hatinya.
"Win, tehku mana?" teriak Arka.
Wina melepaskan sendok yang di pegangnya sehingga menimbulkan suara berdenting yang cukup nyaring.
"Kamu kan bisa jalan dan membuatnya sendiri.
Kenapa selalu menyuruh-nyuruh sih? Aku bukan pembantumu!" sahut Wina sengit.
Arka hanya bisa menatap Wina tanpa sepatah katapun. Walau sekesal dan semarah apa pun dia tidak pernah bisa membentak atau memarahi Wina. Arka begitu mencintai wanita yang sudah menjadi kekasihnya itu selama kurang lebih lima bulan.
Setelah rasa mual di perutnya mereda Arka bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur. Dia membuat teh dan sarapan untuk dirinya sendiri.
***
Kanaya menjalani hari-harinya yang terasa sangat berat. Beban pikiran yang di sebabkan oleh perilaku suaminya membuatnya stres. Entah sudah berapa lama dia
tidak lagi melihat suaminya pulang. Arka lebih suka menghabiskan waktunya di apartemen bersama kekasihnya. Meninggalkan dirinya yang terlihat semakin menyedihkan di rumah.
Kondisi tubuh Kanaya semakin hari semakin melemah akibat stres, dua hari sudah dia berada di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Hanya seorang wanita paruh baya yang menjadi asisten rumahnya yang selalu mengunjungi Kanaya.
Kanaya berpesan pada asistennya untuk tidak mengatakan pada siapa pun kalau dirinya berada di rumah sakit, bahkan kepada Arka dan mertuanya.
Kanaya berjuang untuk mempertahankan anak di dalam kandungannya yang menurut dokter kemungkinan tidak akan bisa di selamatkan jika kondisi dirinya seperti itu terus menerus.
Sedangkan Arka tengah mempersiapkan gugatan perceraian untuk Kanaya. Arka bahkan sudah memasukkan berkas-berkas perceraian mereka ke pengadilan agama melalui pengacaranya.
Dua hari lagi sidang perceraian mereka akan di laksanakan. Arka terlihat sangat senang karena dia sangat yakin Kanaya tidak akan pernah bisa menolak perpisahan mereka. Dia tahu wanita itu sangat lemah dan selalu mengalah.
"Maaf, Pak Arka, pihak pengadilan sudah mengirimkan surat panggilan untuk Ibu Kanaya. Tapi mereka bilang di rumah Anda sangat sepi. Tidak ada seorang pun di sana," ujar seorang pria yang baru saja datang menghampiri Arka.
Dahi Arka berkerut dalam, tidak biasanya Kanaya tidak ada di rumah. Dia segera memeriksa ponselnya, tetapi tidak menemukan pesan apa pun yang di kirim Kanaya untuk dirinya. Biasanya Kanaya selalu mengirim pesan dan pamitan jika keluar rumah.
"Ke mana wanita itu?" Desis Arka keheranan.
"Ya sudah biarkan saja. Bukankah lebih baik kalau istri saya tidak hadir di ruang sidang. Supaya prosesnya lebih cepat." ujar Arka penuh percaya diri.
Laki-laki di hadapan Arka hanya mengangguk samar. Dalam hati dia sangat menyayangkan keputusan Arka yang menceraikan Kanaya. Semua orang di kantornya sangat tahu jika Kanaya wanita baik-baik dan tidak pernah bertingkah. Sangat jauh berbeda dengan Wina yang selalu bertingkah melebihi istri sah Arka.
Arka tersenyum bahagia. Sedangkan Kanaya tengah menangisi keadaan diri dan juga calon anaknya.
Two
Sidang perceraian Arka dan Kanaya berjalan mulus, hanya tiga kali persidangan saja. Hakim dengan mudah mengabulkan gugatan cerai yang di ajukan oleh Arka pada Kanaya. Sampai Hakim mengetukan palu, Kanaya tidak pernah hadir sekalipun.
Arka menatap berkas-berkas yang ada di hadapannya, sekarang dia sudah menceraikan Kanaya secara hukum.
Di tangannya tampak selembar kertas yang menjadi bukti statusnya saat ini. Tetapi ada perasaan tidak tenang di lubuk hatinya atas ketidak hadiran Kanaya selama persidangan. Bahkan tidak ada seorang pengacara pun yang mewakili mantan istrinya itu.
"Ke mana wanita itu?" Arka menggelengkan kepala mengusir bayangan Kanaya yang tiba-tiba berkelebat.
Arka memasukkan kertas yang sedari tadi di pegangnya ke dalam laci dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya yang sudah beberapa hari dia tinggalkan.
Pintu kantor Arka terbuka lebar dan seorang pria paruh baya melangkah masuk menghampiri.
"Ka, apa maksudmu dengan menceraikan Kanaya?"
Tanpa basi-basi pria itu langsung bertanya pada Arka.
"Papa ... jadi Papa sudah tahu?" Ujar Arka gelagapan.
"Jawab dulu pertanyaan papa. Kenapa kamu menceraikan Kanaya?" Papa Arka kembali mengulangi pertanyaannya.
"Pa, aku sama sekali tidak mencintai Kanaya. Aku ingin bebas dan menikahi wanita yang kucintai," ujar Arka menjelaskan perihal perceraiannya.
"Cinta? Apa kamu pikir wanita yang bersamamu setiap hari mencintaimu?" Ujar Papanya dengan tatapan tajam.
"Kalau Wina tidak mencintaiku, mana mungkin dia ada bersamaku melewati semua ini," sahut Arka enteng.
"Melewati apa? Wanita yang baru kau temui, kau anggap sebagai orang yang menemanimu di saat susah huh," cibir sang papa.
Arka tidak menanggapi cibiran papanya. Wina memang baru di kenalnya beberapa bulan lalu. Tetapi Arka sudah merasa nyaman dan memantapkan hatinya untuk melanjutkan hubungannya meskipun dia tahu bahwa itu salah. Karena Arka masih berstatus sebagai suami Kanaya saat itu.
Wina sangat cantik bila di bandingkan dengan Kanaya yang sederhana.
"Kau pikir keberhasilanmu selama ini karena kebersamaanmu dengan wanita itu? Asal kau tahu, Ka, rezekimu saat ini adalah rezekinya Kanaya. Kau lihat saja nanti hidupmu perlahan akan meredup dan rezekimu berkurang," ujar sang papa panjang lebar.
Arka mendongak dan menatap papanya tidak suka.
''Papa mendoakan anak sendiri seperti itu, bukannya berdoa yang baik-baik!" sahut Arka emosi.
"Papa bukan mendoakanmu yang jelek-jelek.
Dengar Ka, ada pasangan yang membawa keberuntungan dan ada juga yang sebaliknya. Selama kamu menikah dengan Kanaya, bisnis kita berjalan lancar bahkan pemasukan bisa melebihi tahun-tahun sebelumnya," papa Arka menjelaskan maksud ucapannya tadi.
"Alah ... Papa masih percaya yang seperti itu. Itu cuma takhayul saja, Pa. Nggak ada yang seperti itu.
Keberhasilan perusahaan ini karena kerja keras kita,"
sahut Arka menyangkal ucapan papanya.
Papa Arka mendesah lelah mendengar ucapan anaknya. "Terserah kamu saja, papa cuma kasihan melihatmu. Jangan sampai ada sesal di kemudian hari,"
setelah menasihati anaknya panjang lebar, papa Arka langsung berbalik dan meninggalkan ruangan anaknya.
Arka termenung memikirkan ucapan papanya. Ada perasaan takut di lubuk hatinya jika semua itu benar adanya apa mungkin seluruh usahanya akan hancur?
Arka menggelengkan kepalanya mengusir jauh-jauh pikiran buruknya.
***
Hari ini Kanaya keluar dari rumah sakit, di temani asistennya yang selalu setia berada di sampingnya.
"Mbak Warti tolong bereskan barang-barang saya ya," pinta Kanaya pada asistennya.
"Iya, Non," Warti segera membereskan pakaian dan barang pribadi Kanaya ke dalam tas. Setelah selesai keduanya segera keluar dari ruang rawat inap yang selama seminggu terakhir di tempati Kanaya.
"Saya nyari taksi dulu ya, Non. Non Kanaya tunggu di sini," Warti meletakan tas pakaian di samping bangku yang di duduki oleh Kanaya.
"Iya Mbak," ujar Kanaya lirih. Kondisi tubuhnya yang masih lemah membuatnya tidak bisa banyak
bergerak. Kanaya bersyukur sekiranya bayi di dalam kandungannya masih bertahan.
"Kita pulang ya, Nak, istirahat di rumah," Kanaya mengelus-elus perutnya dengan lembut.
Sepuluh menit berselang Warti datang menghampiri Kanaya.
"Non, taksinya sudah menunggu di lobby," ujar Warti sambil meraih tas pakaian lalu membantu Kanaya berdiri. "Jalannya pelan-pelan saja, Non," lanjut Warti yang merasa kasihan pada majikannya.
Raut wajahnya yang gusar tak luput dari perhatian Kanaya. "Ada apa Mbak? Kok gelisah gitu,"
Warti menegang kaku mendengar pertanyaan Kanaya, beberapa kali dia menghembuskan nafas kasar.
"Tidak apa-apa," sahut Warti mencoba tersenyum manis demi mengelabui Kanaya.
Kanaya hanya bergumam tidak jelas.
"Selama saya di rumah sakit, apa Arka datang ke rumah?" Tanya Kanaya tanpa memperhatikan wajah Warti yang pucat pasi.
"Eh itu ...," Warti menggigit bibirnya sendiri karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana.
"Kenapa Mbak? Dia nggak datang ya?" Akhirnya Warti hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Selama di perjalanan dari rumah sakit menuju rumah, Kanaya dan Warti lebih banyak diam. Kanaya sibuk memikirkan kata-kata untuk di sampaikan pada Arka. Sedangkan Warti sibuk memikirkan cara menyampaikan berita yang kemungkinan besar akan membuat kondisi majikannya semakin down.
"Kita sudah dekat rumah, Non," ucapan Warti membuat lamunan Kanaya buyar seketika, dia melihat keluar kaca jendela mobil. Benar saja mobil yang di tumpanginya sudah berada di depan gerbang rumahnya sekarang.
Warti keluar terlebih dahulu dan mengeluarkan barang bawaan lalu dia segera membantu Kanaya turun dari mobil.