Kencan. Benarkah? Ruby mengajak Crystal untuk refreshing di mall. Tentu sasaran seorang perempuan adalah shopping. Tak seperti orang berpacaran, mereka memberi jarak meski jalan berdampingan. Crystal terhenti di salah satu etalase pakaian. Dia segera masuk. Mata hazelnya berbinar kala melihat dress cantik berjajar memanjakan mata. Ruby menuruti langkahnya, hanya tersenyum melihat tingkah tunangannya itu.
Dasar bocah! Pasti mau borong satu toko, nih! gumamnya.
Ada banyak pakaian yang menarik perhatian Crystal. Sayangnya, dia butuh teman diskusi. Biasanya dia pergi dengan Intan, lalu bertanya apakah baju itu cantik atau tidak.
Gimana, nih? Apa gue tanya Ruby aja, ya? Gue bingung milih yang mana. Tanya aja, deh! gumam batinnya.
Crystal pun membawa dua stel pakaian dan menunjukkannya pada Ruby.
“By, menurut lo ... bagusan yang mana?”
Ruby memperhatikan dengan seksama, hanya menggeleng sambil menunjukkan jempol terbalik pada Crystal.
"Ga ada yang bagus, sih! Seriusan ini fashion style kamu?"
Crystal cemberut karena ada nada ejekan dari Ruby soal selera berpakaiannya. Ruby pun berjalan meninggalkannya, mencari stel pakaian cantik yang menurutnya pantas untuk Crystal.
Tak lama, dia kembali dengan membawa dress cantik berwarna aqua marine. Terlihat manis. Warnanya yang lembut menunjukkan kesan dewasa, namun tetap feminine. Cocok untuk Crystal yang masih remaja dan memiliki kulit cerah.
“Ini cocok buat kamu,” seru Ruby.
Crystal tersenyum, lantas mengambil pakaian itu.
Seleranya bagus juga. Segitu perhatiannya dia soal penampilan yang cocok buat gue. Dasar, Ruby! bisik batinnya.
Lima belas menit berlalu, mereka pun berjalan ke meja kasir dengan membawa beberapa pakaian. Setelah menghitung belanjaan, Ruby meletakkan kartu di atas meja. Saat kasir hendak mengambil kartu itu, Crystal menahannya.
"Ga usah, Mbak. Saya bayar cash aja."
Crystal mengambil credit card itu dan meletakkannya ke tangan Ruby. Dia bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu untuk membayar belanjaan.
“Ini belanjaan gue. Biar gue yang bayar.”
Saat hendak menyodorkan pada kasir, Ruby pun menarik tangan Crystal.
“Simpan aja uang kamu, pakai uangku aja. Beli untuk keperluan sekolah yang lain.”
“Dih, nyombong banget, lo! Mau bilang kalau lo itu pewaris Alexander Coorp yang punya duit satu kontainer? So, duit segini ga ada artinya buat lo?”
“Bawel banget, sih, kamu.”
Perdebatan tak henti. Antrian di belakang mulai mendumel karena keduanya sangat keras kepala.
“Mbak, Mas, udah! Jangan berantem, antrian panjang, tuh!” ucapnya sambil menarik credit card di tangan Ruby.
“Loh, Mbak!”
Crystal kesal karena belanjaannya sudah dibayar oleh Ruby. Dia pun melangkah keluar tanpa berniat menunggu Ruby yang masih tertinggal di meja kasir.
Crystal terus mengomel, Ruby hanya tersenyum sambil berjalan di belakangnya.
"Sok keren, sok oke! Mentang-mentang tajir. Dikiranya gue cewek matre, apa? Dasar!"
Ruby pun berlari mengejar. Crystal terkejut saat Ruby menahannya pergi. Jari-jari hangat Ruby mengisi penuh jemari mungil Crystal. Pria itu sangat dekat, tersenyum manis hanya untuk meluluhkan kemarahan Crystal.
"Ngambek? Aku traktir es krim, mau?"
Es krim. Begitu mudah meluluhkan gadis belia ini. Crystal sangat menyukai es krim. Ruby pun mengajak Crystal masuk ke dalam fountain di sudut mall, lantas mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca.
"Tunggu di sini sebentar, ya!"
Ruby pergi untuk membelikan es krim. Tak lama, dia kembali dengan dua gelas es krim cantik yang menggugah seler. Es krim vanilla disodorkan ke arah Crystal.
Tau aja dia ini rasa favorit gue. Segitu niatnya, ya, dia pedekate sama gue, gumam Crsytal.
Tak ada bahasan lain mengisi keheningan mereka. Crystal hanya memperhatikan Ruby. Ruby tak menyahut, hanya terus menyantap es krim sambil mengisi pikirannya dengan lamunan.
Sadar bahwa Ruby tak berkonsentrasi penuh, Crystal pun berniat mengejutkannya.
"Ruby!"
Ruby terkejut. Sendokan es krim yang hendak dimakannya pun m*****i sudut bibir bawahnya.
“Ck, ngagetin aja kamu,” keluh Ruby.
Crystal tersenyum, memperhatikan bibir Ruby yang terkena noda es krim cokelat.
Aih, imut banget jadinya! kagum Crystal dalam hati.
Crystal menahan tawanya. Ruby masih belum sadar bahwa Crystal menertawai tampilan 'belepotan' nya saat ini.
"Cepat dihabisin es krimnya. Kayaknya udah mau hujan, deh."
"Lo dari tadi bengong mulu. Ngobrol apa, kek. Oh iya, selain kuliah, lo ada kegiatan apa lagi?”
“Aku ikut UKM MAPALA. Trus, kalau masih ada waktu kosong, aku bakalan mampir ke perusahaan, bantuin papa. Sebentar lagi aku lulus, jadi harus belajar seluk beluk perusahaan dari sekarang.”
Ruby bercerita panjang lebar. Crystal tak tega melihat wajah tampan itu ternoda begitu lama. Tidak, sebenarnya Crystal hanya terlalu tenggelam dalam pesona Ruby. Sama seperti namanya, dia sangat cantik dan mempesona dengan gairah energik. Feromone-nya bahkan sanggup menciptakan ilusi cinta bagi Crystal hingga hilang akal.
Refleks, Crystal sedikit bangkit dari duduknya, mendekati wajah Ruby. Tak ada reaksi nyata dari Ruby saat ibu jari Crystal mengusap lower lip-nya. Mereka beradu tatap untuk sekian detik.
Anehnya, Crystal terhipnotis sempurna. Meski tindakan tadi dadakan, tak ada raut terkejut di wajah Ruby. Crystal terjebak sepenuhnya. Binar mata Ruby sangat cantik, tetapi terlihat dingin. Tanpa kehangatan.
Aku ga tau. Aku penasaran apa yang tersembunyi di dalam sana. Ruby ini ... sebenarnya siapa? Apa yang dia pikirkan? Crystal terus bergumam dalam hati.
Garis bibir Ruby tertarik ke atas. Crystal akhirnya sadar saat Ruby memegang pergelangan tangannya.
"Is it soft? Wanna taste it (Lembut, kan? Mau nyicip, ga)?" godanya.
Crystal sangat malu karena belakangan ini bertemu Ruby, dia selalu kualahan menerima pesona Ruby.
"Apaan, sih? Lepasin!"
"Kenapa? Malu? Biar aku tebak! Apa kamu mulai tertarik sama aku?"
"Ck, mimpi!"
Ruby tersenyum melihat wajah merah Crystal. Tunangannya itu pun meninggalkannya dengan perasaan kesal. Ruby hanya tertawa sambil membawa shopping bag Crystal yang tadi tertinggal di atas meja. Ruby pun berjalan menyusul Crystal. Di depan sana, sesekali Crystal berbalik. Entah karena dia menunggu Ruby menarik tangannya, atau karena dia tak ingin Ruby mengikutinya lagi.
Crystal berhenti di parkiran, menunggu Ruby datang dari arah belakang dan membukakan kunci pintu mobil.
"Masuk!"
Bukannya membukakan pintu, Ruby membiarkan Crystal masuk sendiri ke sisi sampingnya. Crystal masih cemberut. Ruby hanya tersenyum sambil memasang seat belt-nya.
"Ngambeknya jangan lama-lama. Aku ga akan bujuk kamu, loh. Aku, kan, cuma 'calon tunangan' kamu."
Ruby hanya tersenyum melihat Crystal melipat tangan di d**a. Wajahnya cemberut seraya menoleh ke sisi lain. Ruby sukses mempermainkan gejolak perasaannya.
Ini kenapa jadi gini, sih? Posisinya ini, kan, gue korban. Gue terpaksa putus karena pertunangan ini. Ga adil kalau malah guenya yang terjebak. Masa jadi gue yang baper sama si Ruby ini, sih! Sial! Kelas cowok dewasa memang beda. Tengsin, gue! geram Crystal membatin.
Karena ekspresi lucu Crystal, Ruby menarik tuas sambil menginjak pedal gas tanpa melihat sebuah mobil melaju dari arah belakang untuk mengambil posisi parkir.
Brak!!!
Mereka terkejut karena Ruby menabrak mobil belakang dengan keras. Mobil itu pun berhenti.
"Aih, ceroboh banget, lo!"
Ruby dan Crystal keluar untuk melihat kondisi mobil yang mereka tabrak. Mereka terkejut saat korban itu tak lain adalah Emerald, mantan kekasih Crystal.
Tensi emosi Emerald memuncak. Bukan cuma karena mobilnya sedikit baret, tetapi juga karena pria ini sepertinya menikmati kencan mereka di minggu siang ini. Dulu Crystal adalah miliknya yang direbut oleh Ruby.
"Al."
“Punya mata ga, lo? Ga lihat mobil gue segede ini?!” pekik Emerald.
Ruby terlihat sungkan, sedikit menunduk sebagai pertanda mohon maaf. “Maaf. Aku akan ganti rugi, kok. Kalau kamu ga keberatan, aku bakal antar kamu untuk perbaiki mobil ini.”
Emerald tersenyum sinis, menarik sisi kemeja Ruby. “Sombong banget si anak konglomerat ini! Pamer apa, lo? Harta? Aa, apa mungkin lo emang sengaja nabrak mobil gue, iya?”
Ruby hanya menggeleng kepala, mencoba sopan melepaskan cengkraman Emerald di kemejanya. “Bukan gitu, aku emang ga sengaja.”
"Al, please. Ruby beneran ga sengaja," bujuk Crystal, berupaya meredam amarah Emerald yang bercampur kecemburuan.
"Diam lo, J*lang! Secepat itu lo berpihak ke dia, hah? Dijanjiin apa lo? Uang? Berlian?"
Crystal terkejut mendengar makian Emerald. Mantan kekasihnya ini seolah hilang akal sebab kecemburuan. Emerald hanya masih mengingat jelas luka yang ditorehkan Crystal di malam pertunangan itu.
"Maaf, tolong bicara yang sopan. Dan soal mobil kamu, aku akan ganti rugi sebanyak yang kamu minta."
“Lo pikir semuanya bakal selesai dengan uang? Apa semua yang lo hancurin, bisa lo perbaiki dengan uang juga? Gimana dengan perasaan gue, kehidupan gue, dan persahabatan gue yang hancur setelah lo datang seenaknya, Br*ngsek!” maki Emerald.
Ruby menatap Crystal yang terlihat sangat sedih. Ingin dia melangkah mendekati Emerald, tetapi langkahnya terpatri di tanah karena tak menyangka penghinaan kasar itu bisa dilontarkan Emerald yang dulu sangat mencintainya.
Emerald tak bisa lagi menahan kemarahannya. Bugh! Tinju keras menghantam pipi Ruby hingga pria itu sedikit terhuyung ke belakang. Ruby memperhatikan mereka. Ekspresi kesedihan Crystal dan juga kemarahan Emerald dapat dimengerti Ruby. Ada hubungan yang tak sengaja hancur sejak dia muncul di hidup Crystal.
"Al! Cukup!"
Tak ada perlawanan apa pun dari Ruby. Beberapa pukulan itu sukses menumbangkan keseimbangannya. Dia jatuh tersungkur saat tendangan keras Emerald menghantam sisi lambungnya.
"Br*ngsek! Seenaknya aja lo bahagia di atas penderitaan gue, hah?!"
Ruby sedikit meludah darah karena pukulan Emerald sangat keras. Dia tahu pemuda ini pasti sangat membencinya sebab pertunangan itu.
"Al!!!"
Crystal menjerit saat Emerald hendak menendang keras ke arah Ruby yang sudah terduduk di lantai.
Deg! Degupan jantung Ruby memburu cepat saat Crystal memeluknya dengan erat. Kalau saja Emerald tak menahannya, Crystal bisa ambruk karena tendangan itu pasti akan menghantam keras punggung Crystal.
Ruby masih terkejut. Jemarinya mengerat karena mendapat perlindungan Crystal. Kenapa hatinya mendadak terasa hangat?
"Br*ngsek?! Apa-apaan lo?!" umpat Emerald.
Dia marah karena Crystal tak berpikir panjang berusaha menghalau tendangannya. Mungkin Emerald akan lebih menyesal karena menyakiti Crystal. Pun dia sadar, Crystal mulai peduli pada Ruby.
Crystal berbalik, melepaskan pelukannya dan menatap Emerald. Crystal tak bisa menahan tangisnya lagi. Dia pun tak mengerti air mata itu untuk siapa, Emerald atau Ruby.
“Kenapa lo berubah gini, Al? Gue tau lo bukan orang yang kasar. Maafin gue. Gue ga tau hati lo sesakit apa. Tapi please ... jangan berubah jadi buruk cuma karena rasa sakit yang gue berikan ke lo.”
Sakit. Emerald lebih memilih pergi dan melajukan mobilnya. Crystal pun mendekati Ruby yang belum bisa bangkit karena sekujur tubuhnya terasa sakit. Crystal sangat cemas, sedikit memegang pipi Ruby karena melihat sudut bibir Ruby terluka dan berdarah.
"Sakit banget, By? Maaf. Maafin aku."
Bibir Ruby terkunci rapat. Crystal justru tertegun melihat cara Ruby menatapnya. Berbeda. Tatapan itu terasa hangat dan sarat akan kepedulian. Tidak, Crystal takkan terpengaruh oleh binar cantik itu. Nyatanya, dia pun tak pernah tahu apa yang terjadi pada hatinya karena Ruby.
Bukan Crystal, Ruby-lah yang merasakan sensasi aneh karena sentuhan Crystal. Gadis belia itu sedikit mengusap darah di bibirnya. Sesekali mereka beradu pandang dan beralih lagi. Crystal memegang pinggang Ruby, berniat menyanggah dengan satu lengan lagi di pundak Crystal.
"Ayo bangkit! Kita pulang sekarang."
Crystal membantu Ruby berdiri dan masuk ke mobil. Mereka terdiam sesaat, Ruby masih memandang lurus di depan stirnya.
“Lo masih bisa bawa mobilnya, 'kan? Apa perlu gue aja?” tanya Crystal sungkan karena sedari tadi, Ruby hanya bungkam.
“Maafin aku.”
Crystal terdiam, belum menanggapi ucapan Ruby. Ruby menatap binar matanya dengan tatapan serius.
“Dia mantan pacar kamu, 'kan? Sampaikan maafku untuk dia. Aku ga bermaksud merusak semuanya. Kalau aku tau kamu punya pacar, aku pasti ga akan setujui pertunangan ini.”
"Ruby ...."
"Maaf, aku ga tau kalau selama ini kamu menderita. Tolong maafin aku."
Tak ada balasan dari Crystal karena dia justru tenggelam dalam detak yang mulai hadir atas nama Ruby. Mungkinkah perlahan Ruby masuk ke hatinya?
*
Paginya di sekolah, insiden pemukulan yang dilakukan Emerald terhadap Ruby sangat mengganggu pikiran Crystal. Ketika bel istirahat terdengar, dia segera keluar dari kelas setelah menabrak meja Intan. Brak!
“Dih. Kayak kesurupan aja,” seru Intan.
Crystal mencari-cari keberadaan genk Beverly di taman. Davin, Morgan, dan Jimmy berurai tawa. Kali ini tak ada seorang gadis pun di samping mereka.
"Eh, Crystal! Ada apa, Bebi?" tanya Jimmy.
Crystal pun duduk di dekat mereka. Ingin dia menanyakan keadaan Ruby, tetapi sangat malu sebab takut ditertawakan oleh mereka.
“Pake tanya ada apa? Ke mana kalian semalam, hah?! Gue udah capek dandan nunggu kalian untuk jalan. Enak aja batalin janji seenak jidat,” protes Crystal.
Davin tertawa seraya mengusap kepala Crystal. Crystal segera menepis karena rambutnya jadi acak-acakan.
“Sori, Neng. Gue ketemuan sama Bella, jalan bareng gitu. Gue lupa kalau kita ada janji sama lo.”
Crystal tersenyum kecut sambil menarik rambut Davin. “Adooow!” teriak Davin.
“Kalau lo, Jim? Nge-date juga?” tanya Crystal.
“Yoi! Gue jalan satu harian di puncak bareng si Dona. Kasian, deh!”
Morgan belum menimpali. Dia terlihat tak banyak bicara sejak tadi. “Gimana nge-date-nya sama kakak gue? Sukses, ga?”
“Sukses jidat, lo! Lo mau belagak jadi cupid untuk kami berdua, ya?” Crystal kesal.
Davin garuk-garuk kepala, “Cupid? Apa itu?”
Jimmy segera melirik tajam. “Et-dah, playboy norak kayak lo ga tau cupid? Itu, loh, dewa kecil yang bawa panah cinta, yang rambutnya keriting-keriting, trus cuma pake sempak putih doang."
“Oh, sok Yunani, lo. Bilang mak comblang aja kenapa, sih,” sahut Davin.
“By the way, ganas banget lo. Masa pulang-pulang, kakak gue bonyok gitu? Lo apain dia?” tanya Morgan.
Jimmy dan Davin menatap Crystal curiga. “Wah, si Crystal agresif juga! Main kasar lo, ya?"
Crystal bergantian menjitak kepala Jimmy dan Davin, “m***m,” seru Crystal.
“Sakit.” Jimmy dan Davin mengusap-usap kepalanya.
Crystal pun beralih lagi menatap Morgan. “Waktu mau balik, kami ga sengaja ketemu Emerald. Ya udah, kakak lo dihajar habis-habisan sama dia.”
“Ih, gimana tuh, Gan? Keluarin jurus taekwondo lo! Enak aja dia gebukin kakak kesayangan lo," oceh Jimmy.
“Sebenarnya bukan salah Emerald juga. Lagian, si Ruby itu yang oon, masa ga bales dikit pun? Pasrah aja gitu ditabok? Badan doang yang gede,” cerocos Crystal.
“Tapi gara-gara ini dia sakit. Tanggung jawab lo!” kesal Morgan sambil berlalu dari Crystal dan anak Beverly yang lain.
Crystal terdiam, merasa cemas dalam hatinya.
Ruby ... sakit? batinnya.
*
Kabar soal Ruby sakit mengusik pikiran Crystal. Entah kenapa, dia juga tak mengerti jelas. Setidaknya dia harus mencemaskan tunangannya.
“Pasti dia sakit karena dipukuli sama Emerald kemarin,” ucapnya.
Crystal suntuk, lantas browsing f*******:. Lucunya, dia seperti mabuk akan Ruby. Tak sadar akan status f*******: yang di-update-nya.
Entah kenapa, bayang sang mantan mulai menghilang dari pikiranku. Senyuman manis si charming seolah mampu meruntuhkan pertahanan kebencianku. Haruskah aku menyambut baik kehadirannya?
Begitulah isi hatinya yang tertuang dalam postingan.
Pulang sekolah, Crystal tak ingin membuang waktu lagi. Dia benar-benar khawatir dan merasa bersalah sebab kelakuan Emerald.
Taksi itu terhenti tepat di depan rumah Ruby. Hendak mengetuk, tapi dia urung melakukannya.
Bisa tengsin gue kalau kepergok sama Morgan. Mau alasan apa lagi gue? pikirnya.
Terlampau khawatir, Crystal pun tak peduli. Belum sempat mengetuk pintu, pintu justru terbuka dan seorang wanita cantik muncul di hadapannya. Beliau adalah Nyonya Alexander.
"Eh, Crystal! Ada apa? Mau mampir, kok, ga bilang sama Tante?"
Crystal tersenyum ramah, “Ruby ada, Tante?”
“Oh, Ruby? Dia agak demam. Tuh dia ada di kamar. Ga tau, sih, lagi tidur atau ga. Selesai Tante suapin, katanya dia pengen istirahat."
"Crystal boleh jenguk, Tan?"
"Coba masuk aja, deh. Mungkin kalau tunangannya yang jenguk, dia pasti rela diganggu.”
Nyonya Alexander pun mengantar Crystal masuk ke kamar Ruby yang tak dikunci. Setelah itu, beliau pergi meninggalkan kamar.
Crystal masih mematung. Dia berjalan mendekat dan melihat Ruby masih tertidur. Tenang sekali melihat wajahnya. Walau sedikit pucat, apalagi masih ada lebam yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Crystal sangat tak tega untuk membangunkan tunangannya itu.
“By, maafin gue soal Emerald. Ini semua salah gue. Lo harus cepat sembuh.”
“Mau ngomong itu aja?”
Crystal terkejut ketika Ruby membuka mata. Malu sekali rasanya. Dia yang selama ini jutek justru bicara sopan pada Ruby. Crystal cemberut. Ruby pun berusaha duduk dan menarik lengan Crystal agar duduk di tepi kasurnya.
"Kamu datang karena khawatir atau karena rasa bersalah?" tanya Ruby.
"Jangan ge-er! Gue merasa bersalah doang, kok."
Ruby tersenyum. Dia masih memperhatikan Crystal dari samping. Gadis itu terus menahan gugup dan tak berani menatap Ruby.
“Gimana hubungan kamu sama mantan kamu?” Ruby menyinggung soal Emerald.
“Dia? Masih ngamuk,” ucap Crystal singkat.
“Wajarlah! Itu karena kamu tiba-tiba meluk aku dan bikin dia cemburu. Segitu khawatirnya aku kenapa-napa.”
“Ih, ge-er, lo! Siapa yang nolongin lo? Gue cuma berinisiatif atas dasar kemanusiaan. Lo ga tau aja seberapa hebat beladirinya si Al. Bulan lalu, dia naik sabuk item karate. Wajar aja kalau lo–”
Ocehan Crystal tertahan di ujung lidah saat tak sengaja menangkap deretan piagam dan medali yang berjajar rapi pada rak. Crystal pun mendekat untuk melihat jelas prestasi tunangannya itu.
Terkejut. Ruby tersenyum melihat ekspresi Crystal. Crystal sangat malu dan kembali duduk di sisi kasur.
"Apa alasannya?" tanya Crystal.
"Apanya?"
"Ya kenapa diam aja dipukulin sama Al? Kamu taekwondoin, kan?"
Piagam dan medali yang dilihat Crystal tadi adalah salah satunya berasal dari prestasi beladiri asal Korea itu.
"Iya."
"Sabuk ... hitam?"
"Hm. Dan-4."
Crystal terkejut mendengar penjelasan Ruby. Setidaknya dia tahu kemampuan beladiri tunangannya itu.
"Sa-sabeum (guru)?"
"Iya. Tanya mulu, ih."
Crystal tak bicara lagi. Pasti ada alasan penting kenapa Ruby yang ahli beladiri justru tak melawan saat Emerald memukulnya. Crystal merasa bersalah.
"Ini pasti karena aku, 'kan?"
"Iya, karena kamu. Aku cuma bingung waktu itu. Kalau aku lawan dia, pasti dia makin marah sama aku, dan mungkin hubungan kalian makin berantakan. Akan susah buat kalian baikan lagi. Tapi ... harusnya aku juga sadar. Aku ga nyangka kamu jadi belain aku. Kamu jadi takut dan khawatir dia di luar batasannya. Harusnya kamu ga nekat. Bukan cuma karena bahaya, dia pasti makin cemburu, Crys."
Crystal tak bicara lagi. Dia hampir menangis karena menyebabkan masalah begitu besar. Bukan cuma karena hampir mencelakai Ruby, Emerald juga semakin tak terkendali.
"Maaf."
Crsytal menunduk sambil menghapus air matanya. Dia bahkan tak mengerti tangisnya ini untuk siapa. Apakah perubahan buruk Emerald? Atau justru kekhawatiran pada Ruby?
Cantik. Kali ini Ruby harus mengakui jantungnya terus berdegup kencang sejak insiden kemarin. Dia mengurangi jarak mereka, menyentuh sisi tengkuk Crystal hanya untuk memberi kecupan di pipi Crystal.
Crystal terkejut. Jantungnya seakan hampir meloncat keluar saat Ruby menciumnya. Bibirnya terasa hangat. Sesaat, Ruby melepaskan kecupannya. Crystal bisa merasakan hela napas berat Ruby di permukaan wajahnya. Ruby mencium pipinya lagi.
Pasti gadis ini sangat shock. Ruby menjauh, berusaha menghilangkan aura gugup karena wajah Crystal yang mulai merah.
"Apa ... aku boleh mulai jatuh cinta sama kamu?" pinta Ruby.
"Ruby ...."
Ruby tersenyum. Dia yakin Crsytal memiliki perasaan yang sama, dilihat dari ekspresinya. Bukan karena ciuman itu, Crystal juga melihat kesungguhan dan ketertarikan di binar mata Ruby. Jantungnya terus berdegup karena menyadari Ruby mulai menyukainya.
"Boleh?"
"Gue ...."
Crystal mematung. Ruby lebih mendekat lagi. Bukan untuk mencium, dia mengusap bibir ranum cherry Crystal yang terasa lembut dengan jarinya.
"Lain kali aku akan cium di sini. Jadi ... cepatlah dewasa, Crys."
Crystal tak bisa lagi membendung perasaannya. Sangat malu dan bahagia. Rasa bingung dan terkejut pun menyatu bersamanya. Mungkin sejak awal dia memang sudah jatuh cinta pada Ruby. Crystal takluk sepenuhnya pada pesona Ruby.
"A-aku ... balik dulu."
Ruby tersenyum. Crystal segera berlari meninggalkan kamar itu. Ruby hanya menunduk, menyentuh d**a kirinya yang terus saja berdentum keras ketika di samping Crystal.
"Bisakah ... aku mulai semua dari awal lagi, Gan?"
*