Aku hanya bisa pasrah, menerima semuanya. Tanpa bisa menolak. Mereka hanya tahu aku tersenyum di atas pelaminan. Tapi mereka tidak pernah tahu, tangis dalam hatiku. Mereka hanya tahu, sekarang aku adalah seorang istri. Istri dari suami yang mereka pilihkan. Menjadi istri dari orang yang menurut mereka baik. Yang menurut mereka pantas untuk dijadikan suami.
Di sinilah aku sekarang, di rumah besar miliknya. Mau tidak mau harus melayaninya dengan seluruh hidupku. Aku masih beruntung. Dia tidak memaksaku melakukannya malam itu. Dia bisa menerimanya dengan senyum. Walau aku tahu, dia pasti kecewa. Aku pun merasa beruntung, karena dia bisa menerima penolakanku. Tapi, jika lain kali dia memintainya lagi. Entah, harus bagaimana aku menghadapinya.
Setelah hari pernikahan itu, dia langsung membawaku ke rumahnya. Jauh sekali dari rumah orang tuaku. Aku semakin merasa terasingkan. Aku hidup di antara orang baru dan dunia baru. Sebagai istri, aku mencoba melayaninya dengan baik. Dengan segenap hatiku. Aku selalu berusaha untuk mencintainya.
Awal pernikahan memang selalu manis. Aku pun merasakan rasa manis itu. Dia memperlakukanku dengan baik. Berkata lembut dan santun terhadapku. Aku jadi semakin takut untuk berbuat hal buruk padanya. Karena tidak sepantasnya perbuatan baiknya kuabaikan. Apalagi jika orang tuaku tahu. Mereka pasti akan murka terhadapku. Aku berusaha untuk mencintainya. Aku berharap, cinta akan tumbuh seiring waktu kami bersama.
“Selamat pagi sayang,” ucapnya padaku, saat aku baru membuka mata. Aku mengerjapkan mataku. Mencoba melihat sekeliling. Dia masih mengenakan handuk untuk membalut tubuh bagian bawahnya.
“Pagi juga,” jawabku padanya.
“Ayo segera shalat. Kita shalat bersama,” ucapnya sambil mengelus rambutku.
Aku langsung berdiri, “Iya,” jawabku singkat. Aku langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum dia akan melakukan hal aneh padaku pagi ini. Aku mandi dan bersiap, lalu aku menyusulnya ke mushola. Di sana dia sudah siap shalat. Handuk yang tadi melingkar di bagian bawah tubuhnya sudah tergantikan dengan sarung berwarna merah bata. Dia duduk menghadap kiblat. Aku memandangi punggungnya yang bidang. Dia adalah imamku. Tapi kenapa hati ini masih tak bisa menerimanya Ya Allah. Aku melepaskan sandal wuduku. Dia menoleh kepadaku.
“Ayo iqamat dulu,” ucapnya lembut padaku. Aku mengangguk, aku mengucapkan iqamat dan dia mulai menuntun Shalat. Sebelum aku memulai shalat, aku memohon pada Allah agar segera membuatku mencintainya. Pria yang akan menemaniku sepanjang hidupku.
Setelah shalat, dia memimpin doa. Aku mengamini setiap doanya. Setelah amin terakhir, aku melantunkan doaku dalam hati.
“Ya Allah, ini adalah takdir yang telah Engkau tuliskan untukku. Kini aku adalah seorang istri, bagaimanapun surgaku ada padanya. Aku akan berusaha mencintainya, tentu dengan seizin-Mu. Aku akan melayaninya sesuai dengan segala perintah-Mu. Izinkan aku bahagia bersamanya. Aamiin.” Tanpa sadar aku menangis. Tetesan air mata itu mengalir begitu saja. Dia menyadari isakanku, dia menungguku hingga selesai berdoa. Kemudian dia menarik tubuhku, memelukku dengan erat. Hingga aku bisa merasakan harum tubuh dan detak jantungnya.
“Tidak apa, jika kamu masih belum mencintaiku. Aku akan menanti hari itu, hari di mana kamu akan mencintaiku, dengan seluruh hatimu.” dia mengusap lembut kepalaku. Aku menjadi terharu, tangisku semakin menjadi. Diusap-usapnya punggungku, hingga aku merasa sedikit tenang. Sungguh aku tak mampu memandang wajahnya. Aku malu, sangat malu.
“Terima kasih.” hanya itu yang bisa aku ucapkan saat itu.
Dia menghapus sisa air mata yang masih menempel di pipiku. Kemudian dia mengecup lembut keningku. Aku lalu mengambil tangannya, menciumnya dengan takzim dan lama.
“Tidak apa-apa, aku akan menunggu hari itu tiba,” jawabnya lembut. Aku bisa merasakan ketulusan yang mendalam dalam setiap ucapannya.
“Aku pasti akan mencintaimu, suatu hari nanti,” ucapku lirih. Aku masih tidak berani memandang wajahnya. Aku hanya terus menunduk saja.
Kami masuk ke kamar bersama-sama. Dia membuka bajunya tepat di depanku. Aku bisa melihat badannya yang kekar, kulitnya bersih dan ada bulu halus di dadanya. Aku menutup mata dengan kedua tanganku.
“Kamu kenapa?” ucapnya setengah tertawa. Aku tahu, dia menertawakan sikapku yang konyol. Mana ada istri menutup matanya, saat suaminya berganti baju di hadapannya.
“Kamu kok ganti baju di sini?” bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya padanya. Aku mencoba membuat alasan.
“Ini kan kamar kita sayang, apa salahnya?” tanya dia.
“Tapi kan, ada aku!” ucapku malu-malu. Sungguh bodoh, aku memaki diriku sendiri. Aku sepertinya tidak bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Aku masih remaja, tentu saja hal itu sangat maklum jika aku merasakannya.
“Aku ini suamimu. Kamu lupa ya?” dia tertawa semakin keras.
Aku mengintip di balik jemariku yang sedikit kubuka. Memastikan, apakah dia sudah mengganti bajunya atau belum. Setelah kulihat dia memakai bajunya, aku membuka tanganku.
“Kamu itu aneh, sama suami kok malu,” ucapnya sambil memilih celana di lemari.
“Belum biasa, maklumlah,” kataku manja. aku melihat dia berjalan ke arahku. Aku hanya diam dan menunggu jawaban darinya.
“Iya, aku tahu sayang.” dia mengecup keningku tiba-tiba. Aku menutup mata, karena aku pikir dia akan mencium bibirku. Ternyata tidak, sungguh memalukan.
“Kenapa menutup mata? Kamu mengharapkan yang lain ya?” godanya padaku. Aku cemberut mendengarnya.
“Kamu mencari celana model apa? Dari tadi kok dibolak-balik saja,” kataku padanya. aku mencoba mengalihkan pembicaraannya. Sebelum aku semakin malu dengan khayalanku yang semakin liar.
“Kira-kira celana mana yang cocok untukku?” tanyanya padaku. Aku berdiri dan memilih celana. Aku lihat, dia menggunakan kemeja warna abu-abu. Pasti akan cocok dengan celana warna hitam. Aku mengambil celana warna hitam di tatanan celana miliknya.
“Coba pakai ini,” ucapku padanya, aku memberikan celana itu dan segera berbalik badan.
“Kamu mau apa?” tanya dia lagi. Aku tahu, dia hanya menggodaku. Karenanya aku tidak bergeming dan tetap tidak melihat ke arahnya.
“Kalau mau ganti celana, ke kamar mandi sana. Jangan di sini!” perintahku padanya. Pecah sudah suara tawanya.
“Iya-iya, aku ke kamar mandi.” Akhirnya dia menurutiku juga. Kalau dipikir-pikir, aku keterlaluan dengannya. Tapi, sudahlah. Aku anggap ini sebagai masa penyesuaian diriku. Dengan situasi yang serba baru.
***
Selesai masak, aku langsung menghidangkannya di meja makan. Di rumah ini hanya ada aku dan dia. Rumah ini, sengaja dia bangun untuk dia tinggali bersama istrinya. Dan akulah istrinya sekarang. Di sinilah aku berada.
Kami duduk di meja makan. Aku memasak nasi goreng hari ini. Karena kami baru saja pindah, masih banyak kebutuhan yang belum ada. Aku meletakkan beberapa centong nasi ke atas piringnya. Dia sedikit melotot saat melihatku menambahkan secentong nasi lagi ke piringnya.
“Sayang, ini kebanyakan,” ucapnya padaku. Dia memandangku dengan tatapan yang aneh.
“Hahaha, iya aku tahu.” Aku tergelak, aku memang sengaja melakukannya.
“Aku enggak bakalan habis, kalau begitu kita makan ini sama-sama.”
“Eh?” dia menghentikan tanganku, yang akan meletakkan nasi dipiringku.
“Kita habiskan sama-sama ya? Biar enggak mubazir.” dia mengucapkannya dengan tatapan memelas. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Menggemaskan. Walaupun usianya jauh di atasku, tapi dia ternyata begitu lembut dan sangat perhatian.
Akhirnya kami memakan nasi goreng itu bersama-sama. Di suapan pertama, dia mengerutkan dahinya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Keasinan ya?” lanjutku.
“Kita sarapan di luar saja. Letakkan sendokmu!” perintahnya padaku.
“Benaran asin ya?” aku yakin tadi enggak keasinan kok. Kenapa dia jadi aneh ya?
“Enak kok,” ucapnya padaku. Dia tersenyum, tapi wajahnya sedikit berkeringat.
“Kamu kenapa? Kok diam saja dari tadi?” desakku padanya. Wajahnya mulai penuh dengan keringat.
“Tolong ambilkan minum!” Perintahnya padaku. Aku menangkan air ke gelas dengan terkekeh pelan.
“Eh, kamu kepedasan ya? Hahahaha.” Tawaku pecah, ternyata dia tidak suka pedas. Pantas saja wajahnya memerah dan berkeringat. Aku memberikan segelas air padanya. Dia langsung meminumnya sekaligus.
“Pelan-pelan sayang,” ucapku.
“Kamu bilang apa tadi?” tanyanya padaku. Sepertinya, dia ingin memastikan panggilanku padanya.
“Pelan-pelan.”
“Setelah itu?”
“Enggak ada,” ucapku mengeles. Gengsilah kalau mau mengaku. Dia hanya tersenyum ke arahku. Lalu berdiri dan menggandengku.
“Belum dibereskan, nanti banyak semut,” ucapku padanya.
“Biar saja, biar semutnya kepedasan memakannya. Hahaha.”
“Ish, enggak baik buang-buang makanan.”
“Tenang, nanti kita kasih ke ayam tetangga saja.”
“Oh, baiklah.”
“Ayo berangkat.”
“Ke mana?”
“Belanjalah.”
“Aku masih pakai daster, aku ganti baju dulu ya?” dia hanya mengangguk. Aku cepat-cepat mengganti dasterku dengan gamis panjang dan juga hijab panjang. Aku tidak ingin membuatnya menunggu lama. Aku hanya memoles bedak dan liptint di bibirku. Kemudian aku langsung menggamit tangannya.
Dia membukakan pintu mobil untukku. Lalu menutupnya, setelah memastikan aku sudah duduk dengan nyaman. Dia duduk di sebelahku. Lalu memasangkan sabuk pengaman padaku. Aku memang ndeso, belum pernah naik mobil. Naik mobil itu seperti kejadian langka buatku. Tolong jangan samakan dengan naik angkot ya. Itu beda, angkot duduknya miring dan panas. Kalau naik mobil itu kursinya empuk, enggak perlu desak-desakan. Juga sejuk, karena ber-ac.
Benar kata Ibuku, kalau dia mungkin bisa membahagiakan aku. Walaupun umur kami bertaut cukup jauh. Tapi wajahnya, tidak menunjukkan perbedaan itu. Wajahnya terlihat muda dan selalu segar. Apa karena dia juragan sayur ya, jadi wajahnya juga segar. Seperti sayur yang dia jual.