Informasi kelulusan sudah disampaikan. Alhamdulillah, di sekolahku semuanya lulus. Aku sangat bahagia, bisa lulus bersama mereka. Sekolah Menengah Atas Negeri Satu, lulus seratus persen. Aku hannyalah anak pesisir pantai. Tidak mempunyai mimpi tinggi. Aku hanya ingin bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Walau sebenarnya, guru-guru menyayangkan keputusanku itu. Nilai dan kecerdasanku, bisa dibilang cukup mumpuni. Jika aku mau melanjutkan kuliah. Tapi, aku bersikeras untuk bekerja saja.
Kelulusan biasa saja buatku. Tidak istimewa dan memerlukan sebuah acara untuk merayakannya. Teman-temanku berkonvoi siang itu. Memakai seragam putih abu-abu, yang sudah mereka corat-coret dengan seprai warna. Juga ada beberapa tanda tangan yang bertengger di sana. Mereka keluar dari sekolah dengan sangat berisik. Bunyi klakson dan juga knalpot motor mereka, saling beradu. Memecah panasnya aspal jalanan. Aku tidak suka keramaian. Pusing rasanya mendengar itu semua. Aku lebih memilih pulang. Ada juga kok, yang enggak ikut konvoi. Ya, kalian tahulah, golongan mana yang biasa ikut konvoi kelulusan di jalanan.
Aku pulang naik angkot, bersama dengan beberapa temanku. Aku melihat Gilang berlari ke arahku. Aku menunggunya datang.
“Untung kamu belum naik,” ucap Gilang. Dia terlihat terengah-engah. Mencoba mengatur napasnya, sebelum akhirnya merogoh saku seragamnya.
“Ada apa?” tanyaku. Aku masih menunggu reaksinya. Dia tersenyum, sungguh aku tidak pernah melihatnya tersenyum semanis itu.
Kemudian dia mengambil sepucuk surat dan menyelipkannya ditanganku. Tanpa berkata apa pun, dia langsung berlari pergi. Aku memasukkan surat itu ke dalam tas. Sebelum teman-temanku yang lain melihatnya. Aku memilih duduk di pojok. Sambil memandang ke arah Gilang, yang masih berada di gerbang sekolah. Aku dan Gilang dekat sudah beberapa bulan. Tapi, kami hanya menjalaninya sebagai teman dekat saja.
Setelah turun dari angkot, aku masih harus berjalan kaki. Karena rumahku terletak di pesisir pantai. Aku adalah anak pantai. Ayahku nelayan, dan Ibuku berjualan di warung. Pendapatan keluargaku tidak seberapa. Tapi cukup untuk biaya sekolah aku dan dua adikku, juga untuk makan sehari-hari. Karena itu, aku lebih memilih untuk bekerja saja. Di pusat oleh-oleh pantai memerlukan karyawan. Jadilah aku melamar di sana dan sudah diterima. Walaupun aku belum lulus sepenuhnya. Karena masih harus menunggu ijazah dan kelengkapan yang lain. Tapi, aku sudah diizinkan bekerja di sana oleh pemiliknya. Pemilik toko itu menganal keluargaku dengan baik. Karenanya, dia mengizinkan aku kerja di sana.
“Assalamualaikum, Bu, Nia pulang,” ucapku saat memasuki rumah. Tapi, aku tidak mendengar jawaban dari Ibu. Aku mencarinya ke seluruh penjuru rumah. Tapi, dia tidak ada di mana pun. Lalu aku masuk ke dalam kamar. Mengganti bajuku dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Jangan bayangkan tempat tidur yang empuk. Tempat tidurku hannyalah sebuah kasur spons tipis. Jadi, aku selalu terhati-hati saat akan merebahkan diri. Takut kebentok lantai.
Aku teringat akan Gilang yang tadi memberiku surat. Aku segera mencari surat itu. Aku sudah tidak sabar ingin membacanya.
'Dear Rania.
Aku ingin segera melamarmu. Bisa kamu sampaikan ini pada orang tuamu?
Gilang.’
Aku terperanjat saat membacanya. Bagaimana bisa, seseorang yang baru saja dinyatakan lulus SMA melamarku. Entah apa yang dipikirkannya, aku senang, tapi aku juga takut. Bagaimana caraku mengatakan keinginan Gilang pada orang tuaku. Sementara mereka selama ini selalu marah, saat tahu kami bermain berdua. Aku mendengar suara pintu di buka. Segera aku lipat dan aku sembunyikan surat dari Gilang. Sebelum Ibu akan mencak-mencak saat melihatnya.
*
Aku sedang mencuci piring kotor di dapur. Kemudian, suara Ibuku terdengar memanggil namaku dengan sangat keras.
“Apa ini Nia!” bentak Ibuku. Aku mencuci tanganku yang penuh dengan sabun. Aku berlari ke kamar. Mencari tahu, ada apa hingga Ibu berteriak seperti itu. Aku melihat ada sebuah surat di tangannya. Aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Dia sudah menemukan surat dari Gilang. Ini bukanlah pertanda yang baik. Aku bisa melihat kilatan marah di matanya. Wajah Ibu memerah, aku tahu dia sedang mencoba untuk menahan amarahnya. Aku tidak sanggup untuk menatap wajahnya. Aku hanya bisa menunduk lemas. Wajahku pias, kian memucat. Aku meremas tanganku sendiri..
“Ibu sudah berkali-kali bilang kepada kamu, jangan dekat-dekat dengan anak pemabuk itu!” Ibuku benar-benar marah. Aku tak kuasa membantah perkataannya. Walau sebenarnya aku tidak rela. Jika dia menyebut gilang dengan ucapan seburuk itu.
“Dia itu anak pemabuk! Pasti anaknya enggak akan jauh berbeda dengan Bapaknya, mengerti kamu!”
ucapan Ibu begitu menyakiti hatiku. Jika dia tidak menyukainya, tidak perlu mengecapnya dengan sebutan semacam itu. Gilang tidaklah sama dengan Bapaknya. Aku tahu itu tidak benar. Tapi, aku tidak mempunyai keberanian untuk menimpali ucapan Ibu.
Aku meneteskan air mata. Menyesali kebodohanku yang tidak langsung membuang surat itu.
“Anak pemabuk, nantinya juga akan jadi pemabuk! Kamu ingat itu betul-betul!” ucap Ibu padaku, sebelum akhirnya dia meninggalkan aku yang sedang menangis. Dia benar-benar marah padaku. Hal yang lebih menakutkan selanjutnya adalah jika Ayah mendengar tentang surat itu dari Ibu. Namun, tiba-tiba aku mendengar Ibu berteriak dan memaki-maki. Kata-kata yang diucapkan Ibu terdengar begitu kejam. Alu menyeka air mataku. Karena penasaran, aku segera berdiri dan mengintip. Siapa yang membuat Ibu sehisteris itu?
“Berani sekali kamu kesini ya! Dasar anak tidak tahu diuntung, jangan dekat-dekat dengan anakku Nia! Kalau kamu masih nekat, aku juga bisa nekat!” aku mendengar ucapan Ibuku dengan sangat jelas. Ucapan itu sangat menyayat hatiku. Aku melihat Gilang di sana. Berdiri tepat di hadapan Ibu. Dia tidak bergeming, juga tidak menjawab apa pun. Orang yang aku cintai di maki-maki. Oleh orang tuaku sendiri. Sementara aku, tidak bisa melakukan apa pun untuk menghiburnya. Aku juga sedang butuh dihibur. Mata kami berserobok, aku melihat ketulusan dalam matanya.
Ibu membanting daun pintu dengan sangat keras. Sampai terdengar suara getaran dari kaca jendela rumah. Aku segera masuk ke kamar lagi. Aku takut, Ibu memergoki aku. Aku tidak ingin melihat Ibu marah-marah lagi. Aku juga sedang mempersiapkan diri. Keadaan semakin kacau saja. Ini akan benar-benar memburuk. Soal surat juga soal kedatangan Gilang ke runah. Rasanya kepalaku mau pecah. Membayangkan semarah apa Ayah nantinya.
*
Semenjak kejadian sore itu. Aku tidak berani berkata apapun pada Ibuku. Aku juga tidak lagi pergi ke sekolah. Karena aku langsung bekerja di toko pusat oleh-oleh pantai. Aku menitip pesan pada Delia. Aku meminta dia memberitahuku kalau ada informasi penting dari sekolah. Sejauh ini, dia masih belum memberiku informasi. Jadi aku masih bisa sedikit tenang. Karena, tidak perlu meminta ijin pada Ibu, untuk ke sekolah.
Setelah selama ada urusan dengan pihak sekolah. Ibuku selalu mendampingi aku untuk datang ke sekolah. Ia sama sekali tidak memberikan aku ruang untuk sendirian ke sana. Apa yang diucapkan olehnya benar-benar dilakukannya. Mengawasiku dengan sangat ketat. Aku tak bisa berkomunikasi dengan Gilang dalam bentuk apa pun. Dan aku memutuskan untuk melanjutkan bekerja di luar kota. Tempat di mana Bude berada. Ya, Ibuku tak mengizinkan aku bekerja di tempat lain. Dengan berbagai macam alasan yang ia berikan padaku. Termasuk tentang Gilang dan segala prasangka yang ia katakan. Aku tak masalah, walau hatiku memang terasa sakit. Tapi, aku mulai terbiasa. Bekerja di tempat yang tidak bisa melihat wajah itu. Bekerja dengan jarak yang cukup jauh dengan pemilik hati ini. Perlahan rasa itu terkikis. Walau masih tersisa beberapa lembar yang masih tertulis namanya di hatiku. Hidupku rasanya damai, tenang dan nyaman. Aku menikmatinya.
Tiba-tiba, suatu sore ada seorang pria datang ke rumahku. Dia mengubah seluruh hidupku. Kehidupanku, berubah seratus delapan puluh derajat. Aku akan menceritakan pada kalian. Perjalanan hidupku selanjutnya.