Malam Pertama yang Tertunnda

1093 Kata
Dia membuatku merasakan sebuah kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Hingga aku mengeluarkan desahan. Ternyata desahan-desahanku membuatnya semakin b*******h. Kemudian dia mengecup bibirku dengan lembut. “Sakit?” tanyanya. Aku tahu, kalau dia sedang menyindirku. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Lalu kudengar dia tertawa. “Sakit,” ucapku padanya. Dengan wajah yang memerah pastinya. Rasanya malu! Sungguh malu! “Ah, ternyata benar sakit ya?” jawabnya. Dia tersenyum tipis. Kemudian mencoba untuk memasukkannya kembali ke dalam sana. Aku mendorongnya sekali lagi. “Aku serius,” ucapku. Dengan kerutan di kening. Mungkin alisku juga sudah hampir bertemu. “Kita coba pelan-pelan, oke?” pintanya. Wajahnya memelas. Dia terlihat seperti singa yang tak bisa melawan. Karenanya dia menunjukkan wajah memelas agar aku merasa iba padanya. Aku hanya mengangguk. Aku memejamkan mata. Mencoba untuk bisa menerima semua ini. Mencoba untuk menikmati malam yang katanya indah. Tapi nyatanya, aku merasakan perih luar biasa. Hingga aku berteriak. “Aaaaw, sakiiiiit,” teriakku. Dia memelukku. Menungguku hingga sedikit berkurang rasa sakitnya. Dia menciumi aku lagi. Aku meringis, masih terasa sakit sekali. Ternyata benar kata mereka, kalau malam pertama itu sakit. Saat aku terbangun paginya. Aku merasakan kewanitaanku begitu perih. Hingga sakit rasanya untuk dibuat berjalan. Aku melihat ada bekas darah di atas seprai. Ah pantas saja sakit, sampai berdarah begitu, pikirku. Kemudian aku menuju kamar mandi. Aku membersihkan diri dan mandi hingga wangi. Sayangnya, sebelum selesai aku mandi. Dia sudah terbangun. Dia menerobos masuk kamar mandi. Tanpa memedulikan aku yang masih penuh dengan busa di bathup. “Hey, gantian dong,” ucapku padanya. “Kebelet,” jawabnya. Dia sedang buang air kecil. Masih dengan setengah merem. Setelah selesai menyiram bekas air kencingnya. Dia menoleh ke arahku. Kemudian matanya langsung membuka lebar. “Ah, mau apa kamu?” tanyaku padanya. “Mau lagi dong,” ucapnya manja. Dia menunjukkan wajah manja padaku. Mengedip-ngedipkan matanya dengan genit. Rasanya ingin aku memukul wajahnya yang menjengkelkan itu. Dia mendekat padaku. Aku memundurkan tubuhku. Dia duduk tepat di samping bathup. Lalu dia memasukkan tangannya ke dalam bathup. Aku merasakan sentuhan tangannya di pahaku. Dia memasang wajah genit lagi. Lalu kuciprat wajahnya dengan air. Biar dia sadar. Bukannya sadar. Dia malah menjadi semakin agresif. Dia melepaskan pakaiannya. Lalu dia menceburkan dirinya ke dalam bathup juga. Bathup yang hanya cukup satu orang menjadi terasa sempit. Aku menarik kakiku, tapi aku tetap dalam posisi bersandar. Dia malah mendekat padaku. “Lagi ya?” ucapnya. “Baru juga mandi!” protesku. “Dingin-dingin, enak mandi air hangat sambil hangat-hangatan,” ucapnya genit. Matanya mengerling, dengan senyuman yang membuatku ingin sekali menjewer telinganya. Ritual mandi menjadi begitu lama. Kami keluar dari kamar mandi dalam satu handuk yang sama. Kami berjalan berimpitan. “Seharusnya kamu ambil handuk sendiri dong, main menyelonong masuk kamar mandi sih,” seruku padanya. Dia hanya tersenyum saja mendengar ocehanku. “Begini kan romantis,” ucapnya. Aku hanya memutar bola mataku. Dia selalu semaunya sendiri, menjengkelkan. Setelah selesai memakai baju, kami keluar dari kamar. Seharusnya sekarang sarapan sudah tertata di meja makan. Aku tadi mendengar ada suara peraduan penggorengan dengan spatula. Sepertinya tukang masaknya sudah datang, pikirku. Kami berjalan menuju meja makan. “Sugeng enjing, monggo sarapan rumiyin. Sampun siap sedanten,” (Selamat pagi, silahkan sarapan dahulu. Sudah siap semuanya) ucap seorang perempuan. Aku taksir umurnya sekitar lima puluhan. “Injih Bu, matur nuwun,” (Iya Bu, terima kasih) jawab Romi. “Kulo pamit rumiyin, Bapak, Ibu. Ngkin jam kale welasan kulo teng mriki male,” (Saya pamit dulu, Bapak, Ibu. Nanti jam dua belasan saya kesini lagi) ucapnya berpamitan padaku dan Romi. “Boten usah pun Bu, kulo bade medal,” (Tidak usah Bu, Saya mau keluar) jawab Romi. “Nggeh pun, kulo wangsul,” (Ya sudah, saya pulang dulu) jawabnya. Kemudian dia pun pergi meninggalkan kami berdua untuk sarapan. Masakannya sangat enak, tak kalah dengan rasa masakan di warung padang waktu itu. Masakannya khas seperti masakan di katering-katering. Lihai sekali rupanya dia saat memasak. Kami menikmati sarapan itu bersama, sesekali Romi menyuapkan nasi dari sendoknya padaku. Aku merasa menjadi seorang ratu. Aku terkekeh pelan. “Kamu kenapa?” tanya Romi padaku. Sepertinya dia mendengarku terkekeh tadi. “Enggak apa-apa kok,” jawabku. “Yang benar?” tanyanya menyelidik. Dia selalu tidak langsung percaya dengan apa yang aku ucapkan padanya. “Aku senang saja,” jawabku singkat. “Senang kenapa?” tanyanya lagi. Tuh kan, dia pasti mengejar jawaban yang lengkap dariku. “Aku senang, karena aku diperlakukan seperti ratu olehmu,” jawabku sambil malu-malu. “Kamu tahu kan, aku besar di keluarga pas-pasan, bahkan aku juga harus bekerja untuk membantu orang tuaku. Bertemu denganmu, sepertinya aku sangat beruntung,” lanjutku. “Seorang istri kan memang ratu di rumahnya. Ratu harus menerima semua haknya di dalam istananya. Aku sebagai raja, akan memberikan semuanya padamu,” ucapnya padaku. Membuatku merasa terbang melayang. Aku tersipu, sepertinya rona merah sudah bertengger di pipiku sekarang. Kehidupan rumah tangga tidak serumit yang aku bayangkan sebelumnya. Apa ini hanya permulaan saja, atau kah memang berumah tangga itu seromantis dan semanis ini. Aku berharap rumah tanggaku akan berjalan lancar dan selalu bahagia. Semoga tidak ada luka dalam perjalananku bersamanya hingga akhir nanti. Aku memandangi wajah Romi. Dia memang lebih tua dariku. Tapi kenapa wajahnya terlihat begitu muda. Membuatku merasa kesal saja. wajah setampan itu pasti banyak wanita yang menyukainya. Apa lagi dia adalah seorang juragan. Juragan sayur ganteng seperti dia, pasti punya banyak mantan. Seperti yang aku temui waktu berbelanja perabotan kemarin. Menyebalkan sekali. Wanita tua itu menggoda suamiku dengan sebegitunya. Puas rasanya aku menampar wajahnya kemarin. “Iya, halo,” tiba-tiba Romi mengangkat sebuah panggilan di ponselnya. “Saya sedang tidak ada di rumah, tapi ada asisten saya di sana. Saya akan meneleponnya untuk membukakan rumah,” ucapnya lagi. “Iya, baik, terima kasih,” lanjutnya. Kemudian dia menutup teleponnya. “Siapa?” tanyaku padanya. “Orang mal, mau kirim barang katanya,” jawabnya. “Oh,” ucapku singkat. “Kalau sarapannya selesai, kita jalan-jalan yuk!” ajaknya. “Ke mana?” tanyaku. “Banyak tempat yang bisa dikunjungi di sini. Ada Jawa Timur park 1, 2, 3, tinggal pilih yang mana. Ada banyak cafe-cafe unik juga, kita putuskan sambil jalan saja ya? Biar enggak kesiangan,” ucapnya. “Memangnya ini sudah jam berapa?” tanyaku padanya. “Ini sudah jam sembilan sayang, kamu keenakan sih, makanya sampai enggak lihat jam,” godanya padaku. “Yang buat aku lupa jam kan kamu, kenapa menyelonong masuk ke kamar mandi,” rutukku padanya. Dia tertawa, “Iya-iya, ayo berangkat,” ucapnya. Setelah meletakkan piring kotor ke wastafel, kami pun segera berangkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN