Aku mengira dia hanya bergurau saat mengatakan ingin seharian bersamaku. Ternyata dia sungguh-sungguh akan melakukannya. Hal yang aku rasakan adalah sangat bahagia. Aku tahu, Tuhan telah menuliskan kisah ini jauh dari sebelum aku terlahir. Dan aku percaya, setiap selesai hujan, pelangi akan datang dengan mentari yang bersinar cerah. Mungkin ini jawaban dari kegelisahanku semalam. Menantinya yang tidak kunjung pulang. Membuat kepalaku memikirkan banyak hal yang negatif. Membuatku pusing dengan segala prasangkaku sendiri. Namun, semuanya telah jelas sekarang. Dia hanya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dan sekarang, dia akan mengajakku berjalan-jalan.
Kami sudah bersiap, dia sudah memberikan opsi tempat padaku tadi. Karena aku tidak tahu mana yang menarik dan nyaman. Maka, aku memberikan pilihan itu padanya. jadi sekarang, aku tidak tahu ke mana kami akan pergi. Wajahnya terlihat bahagia, apa ini karena dia sedang ingin pergi bersamaku, atau karena hal lain? Ah, seharusnya aku percaya padanya. Aku harus mengubur dalam-dalam semua rasa curiga dalam hatiku.
“Kita akan ke mana, Mas?” aku bertanya padanya. Karena jalan yang kami lewati sepertinya tidak mengarah ke tempat wisata. Ini adalah jalan menuju kota. Sepertinya dia akan mengajakku berbelanja. Padahal aku ingin pergi berwisata dengannya. Memandangi indahnya pegunungan dan sejuknya udara. Salahku sendiri, tidak langsung mengatakan apa yang aku inginkan. Kini, aku hanya bisa menerima saja semua keputusannya.
Benar, kami turun di sebuah Mal besar. Dia dengan sangat manis membukakan pintu untukku. Mengulurkan tangannya, aku pun meletakkan tanganku pada tangannya. Turun dengan gaya seperti seorang putri dengan pangerannya. Aku benar-benar merasa menjadi ratu.
“Mari kita membeli beberapa helai baju baru. Aku lihat, baju yang kamu kenakan hanya itu-itu saja. Aku ingin kamu terlihat lebih segar,” ucapnya. Dia membelai rambutku, kemudian mengecup keningku. Dia merangkul kan tangannya di pundakku.
“Memangnya aku buah yang di lemari es? Biar segar?” aku mengucapkannya dengan pelan. Tapi dia mendengarnya. Tentu saja, kan kami sedang dalam jarak yang sangat dekat. Mendengar ucapanku itu, dia pun terkekeh.
“Iya, kamu adalah buah segar yang siap disantap.” Dia mengeratkan pelukannya padaku. Membuatku menjadi malu. Karena banyak mata yang sedang memandang ke arah kami.
Aku menangkap sosok yang aku kenali di sana. Di antara banyaknya orang yang lalu lalang. Mata itu melihat ke arah kami dengan senyuman yang tidak bisa aku mengerti. Dia adalah Friska. Iya, aku sangat mengingat wajahnya. Kenapa dia ada di sini juga? Apa ini hannyalah sebuah kebetulan saja? Aku memandang ke arah Suamiku. Dia hanya terus berjalan tanpa melihat ke sana sini. Kemudian, aku melihat ke arah wanita tadi. Dia sudah tidak ada di sana. Apa ini hannyalah pikiranku saja? Apakah aku sedang berhalusinasi? Sepertinya pikiran negatif ini mulai membuatku menjadi melihat hal yang tidak ada.
Kami sampai di sebuah gerai toko pakaian. Dia mendorongku agar aku memilih banyak baju. Dia juga telah memilih beberapa potong baju untukku.
“Apakah ini cocok untukku, Mas?” aku menoleh padanya, tapi dia sedang asyik dengan ponselnya. Dia tertawa dan tersenyum sendiri.
Aku mengerutkan keningku. Ada apa dengannya? Apa yang sedang dia lakukan? Apa dia sedang berbalas pesan dengan Dimas?
“Mas?” aku kembali memanggilnya. Tapi, dia tidak mendengarku. Dia masih saja fokus dengan ponselnya. Aku mulai cemberut dan meninggalkan dia sendirian di sana. Biarlah, aku akan mengambil banyak baju. Biar dia keluar banyak uang. Siapa suruh asyik dengan ponselnya sendiri. Padahal dia yang mengajakku ke sini. Tapi, dia malah tidak menghiraukan aku. Menyebalkan.
Aku sudah berada di kasir dengan seluruh belanjaanku. Aku mengambil banyak baju dan keperluanku. Biar saja dia kehabisan uangnya. Aku meneleponnya.
“Mas, aku di kasir. Cepatlah ke sini.” Aku langsung menutup telepon itu. Biar saja dia menganggapku tidak sopan. Dia terlalu menyebalkan. Siap suruh bersikap seperti itu padaku. Aku juga bisa melakukan hal yang menyebalkan juga. Tidak berselang lama dari aku menutup telepon, Romi datang dengan setengah berlari.
“Kamu cepat sekali?” dia memberikan sebuah kartu kepada kasir.
Sementara aku masih diam dan cemberut. Aku sedang kesal. Dia harus membujukku, agar aku bisa memaafkannya. Aku kira dia akan terkejut dengan jumlah uang yang aku belanjakan. Tapi, dia tidak bereaksi apa pun. Dia hanya menerima setruk dan kartunya kembali. Kemudian dia merangkulku lagi seperti sebelumnya. Sepertinya dia tidak sadar, jika aku sedang marah padanya.
“Kenapa kamu diam saja?” dia mencubit hidungku. Tapi, aku menepisnya.
“Kamu marah?” dia berhenti di depanku. Meletakkan tas belanjaan di lantai. Kemudian dia menangkupkan kedua tangannya menyentuh pipiku. Dia memandang mataku dengan dalam. Dia seperti sedang mencari jawaban di dalam sana.
“Kenapa? Ada apa? Katakan saja, kita akan bersenang-senang. Kenapa kamu malah cemberut dan terus diam? Senyum dong!” dia mulai mengeluarkan senjatanya. Pujian dan juga ucapannya yang manja itu, membuatku hampir meruntuhkan pertahananku. Tidak. Aku harus mengambek sedikit lebih lama.
Aku melepaskan kedua tangannya yang menyentuh pipiku. Kemudian aku berjalan dan meninggalkannya. Dia dengan tergesa mengambil barang dan berlari mengikuti langkah kakiku yang aku percepat.
“Sayang!” teriaknya. Aku menghentikan langkahku. Mataku membulat. Aku menggigit bibir bawahku. Aku tidak menyangka dia akan memanggilku dengan sangat keras. Banyak mata yang sedang melihat ke arah kami sekarang. Aku mendengar langkah kakinya semakin mendekat padaku.
“Aku minta maaf. Aku tidak tahu apa salahku. Tapi aku minta maaf.” Dia mengucapkan itu sambil terengah-engah. Melihat ekspresinya yang bingung itu. Membuatku ingin tersenyum. Tapi, aku menahannya. Aku ingin dia menyadari apa kesalahannya. Enak saja meminta maaf tanpa tahu dia melakukan kesalahan apa.
“Kalau kamu tidak mengetahui apa salahmu, kenapa kamu meminta maaf?” aku benar-benar merasa kesal. Bisa-bisanya dia bersikap seperti itu. Apa jangan-jangan semua pria itu sama saja sepertinya? Asal dia meminta maaf. Lalu semuanya selesai begitu saja?
“Ah, aku tidak bersalah? Ah tidak mungkin. Aku pasti bersalah. Karena tidak mungkin kamu tiba-tiba cemberut dan meninggalkan aku. Sebagai pria, aku tidak akan pernah tahu kesalahanku jika kamu tidak mengatakannya.” Dia meletakkan barang belanjaan di lantai. Kemudian dia kembali tersenyum.
“Katakan, apa kesalahanku, agar aku tidak mengulanginya lagi. Aku bukan dukun sayang, aku tidak mengerti apa yang kamu pikirkan. Aku juga bukan detektif, yang bisa memecahkan kode yang kamu berikan. Aku hanya seorang pria yang mencintaimu.” Ucapannya kali ini membuatku luluh. Ya, memang benar. Jika aku tidak mengatakan apa pun. Pasti dia tidak akan peka atau pun mengerti alasanku mengambek.
“Kamu tadi sedang berbalas pesan dengan siapa? Kenapa kamu tidak mendengarkan aku, saat aku meminta pendapatmu? Kamu juga tidak mencariku, saat aku tidak ada di sampingmu.” Aku mengeluarkan semua rasa yang sedari tadi aku pendam sendiri. Rasanya lega sudah mengatakan semua itu padanya.