Pagi itu, dia terlihat begitu gusar. Aku mendekatinya, setelah dia mematikan teleponnya. Dimas baru saja berangkat mengirim sayur ke pasar.
“Ada apa?” ucapku. Aku memberikan segelas teh hangat padanya. Dia menerimanya, kemudian membelai rambutku dengan lembut. Ada gurat kecemasan di wajahnya.
“Tidak ada apa-apa sayang, biasa bisnis akan selalu ada pesaing. Dimas menyarankan untuk mencari pemasok baru dan juga tempat penjualan baru. Agar bisa lebih baik lagi,” jawabnya. Aku yang tidak mengerti apa-apa soal bisnis, hanya bisa mengangguk saja. namun, dia terlihat sangat tenang. Mungkin dia sudah terbiasa dengan kondisi semacam itu sebelumnya.
“Semoga lancar semuanya,” ucapku. Aku sebenarnya ingin memberikan bantuan padanya. namun, aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Terima kasih sayang,” jawabnya. Dia mengecup keningku dengan lembut. Kemudian dia mulai meminum tehnya.
“Sudah kewajibanku untuk selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu,” jawabku. Karena aku selalu ingat pesan Ibuku. Doa istri adalah bantuan terbaik yang bisa diberikan oleh seorang istri.
“Nanti aku akan segera pergi, kamu di rumah sendirian enggak apa-apa?” tanyanya. Dia seperti tidak enak hati mengatakan itu. Aku juga sebenarnya tidak mau dia pergi. Tapi mau bagaimana lagi, ini kan untuk kebaikan bisnisnya.
“Iya, enggak apa-apa kok,” jawabku sambil tersenyum. Agar kegelisahanku tidak terlihat olehnya.
“Mungkin nanti atau besok barang-barang yang kita beli akan datang. Kamu minta saja mereka meletakkannya di ruang tengah. Nanti kita atur bersama kalau aku sudah pulang. Oke?” ucapnya padaku. Aku mengangguk.
“Iya, nanti kalau sudah datang aku akan meneleponmu,” jawabku.
“Minta tolong siapkan beberapa baju di dalam tas, aku mau ke pasar sebentar,” ucapnya. Aku mencium punggung tangannya sebelum dia berangkat ke pasar. Dia pun membalas dengan mencium keningku. Setelah melihatnya pergi. Aku menyiapkan pakaiannya, kemudian memasukkannya ke dalam tas ransel yang akan dia bawa.
“Maaf ya, rencana bulan madu kita harus ditunda,” ucapnya lirih. Aku tahu dia merasa bersalah padaku. Karena rencana yang sudah disusun olehnya menjadi kacau.
“Enggak apa-apa kok. Ini kan juga demi kebaikan bisnismu. Kita masih bisa ke sana kalau semuanya sudah beres,” jawabku. Aku mencoba menguatkannya. Agar dia tidak goyah karena aku. Aku menunjukkan padanya bahwa aku adalah seorang yang kuat. Aku mampu mendampinginya dalam segala macam kondisi.
“Aku beruntung bisa mempunyai kamu dalam hidupku,” ucapnya. Dia memelukku lama, kemudian dia berpamitan berangkat.
*
Hari berlalu. Aku masih sendirian di rumah. Barang yang aku beli juga masih dalam proses pengiriman. Katanya sebentar lagi akan sampai. Aku mengabari Romi, bahwa barang-barangnya akan segera sampai. Tapi dia tidak membalas pesanku. Aku mengira kalau dia pasti sedang sibuk dengan urusan bisnisnya. Maka aku memutuskan untuk tidak menelponnya dahulu. Sebuah truk besar masuk ke halaman rumah kami. Dua orang turun dari atas truk dan menghampiriku. Mereka mengatakan bahwa barang yang ku pesan siap di masukkan. Mereka meminta aku menandatangani sebuah surat terima dan mereka pun segera memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah.
Rumah tiba-tiba menjadi terlihat penuh dengan barang-barang yang sudah ditumpuk di ruang tengah. Aku merasa lelah. Karenanya aku memutuskan untuk tidur saja. tapi, baru saja aku terlelap. Aku mendengar ada ketukan di pintu rumahku. Aku pun terbangun dan membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku, saat melihat Friska ada di depan pintu. Dia yang mengetuk pintu rumahku. Berani sekali dia datang ke sini.
“Jadi, kamu benaran istri Romi?” ucapnya tak percaya. Dia mengira aku dan Romi hanya bercanda sepertinya.
“Iya, kenapa?” ucapku ketus. Aku sengaja tidak mengizinkannya masuk. Aku kesal sekali padanya. Dasar wanita tidak tahu malu. Sudah menyia-nyiakan orang, sekarang mengejar-ngejarnya.
“Aku kasih tahu kamu ya, Romi itu masih mencintaiku. Kamu bukan siapa-siapa baginya!” ucapnya sok tahu. Dia saja yang tidak tahu seberapa cepatnya proses pernikahan kami. Seberapa mengotot Romi ingin menikahiku.
“Oh,” jawabku singkat. Aku sengaja tidak meladeni ucapannya, malas.
“Romi sangat mencintaiku, dia bahkan bersujud di kakiku agar aku tidak meninggalkannya. Dia sangat bahagia menjalani hubungan denganku. Dia bahkan berjanji akan memberiku cincin yang bagus, rumah mewah dan aku boleh mengisinya dengan semua barang yang aku mau,” ucapnya lagi. Dia mengibaskan rambutnya, kemudian dia menatanya kembali. Melihatku tidak merespons ucapannya dia mulai kesal.
“Di mana Romi?” tanyanya. Dia melonggokkan kepalanya ke dalam rumah. Aku menghalanginya.
“Enggak ada,” jawabku ketus. Aku memasang wajah galak padanya. Tapi sepertinya dia tidak merasa takut akan hal itu. Karena aku melihatnya mencibir.
“Aku tidak percaya kalau Romi tidak ada di sini,” ucapnya.
“Ya sudah kalau tidak percaya. Aku mau tidur!” jawabku. Aku berbalik badan dan akan menutup pintu. Tapi dia mengganjal pintu dengan tangannya. Dia menerobos masuk dan mencari Romi ke dalam kamar.
“Rom, Romi, ini aku Friska,” teriaknya. Aku tidak peduli. Aku membiarkan dia berteriak, biar saja sampai pita suara putus. Dia teriak juga percuma, Romi enggak ada di sini.
Dia masuk dan mengecek tiap ruangan. Kemudian dia kembali ke arahku dengan wajah yang merah padam.
“Di mana Romi?” teriaknya. Aku menutup telingaku. Kemudian aku mengedikkan bahuku.
“Aku tanya sekali lagi, di mana Romi?” ucapnya dengan mata melotot yang nyaris keluar dari tempatnya.
“Dia enggak ada. Kan aku sudah bilang dari tadi kalau dia enggak ada di rumah!” jawabku tak kalah ketus.
“Pergi sana!” usirku padanya.
“Asal kamu tahu saja, aku dan Romi masih saling mencintai. Akan aku buktikan itu padamu!” ancamnya.
“Buktikan saja, istri sahnya aku kok. Mau kamu mengotot dia cinta sama kamu silakan. Kenyataannya sekarang dia itu suamiku. Aku istrinya. Ini rumahku, aku sudah mengisinya dengan barang-barang yang aku pilih sendiri. Kamu bisa melihat kan, tadi di ruang tengah penuh dengan barang? Itu semua barang yang aku beli untuk mengisi rumah ini. Nih cincin nikahnya, bagus kan? Cincin yang dia belikan buat kamu mana? Enggak jadi dibelikan ya? Kasihan!” ledekku padanya. Aku menggerak-gerakkan jemariku tepat di hadapan wajahnya.
“Anak kurang ajar,” ucapnya sambil akan menamparku. Beruntung aku bisa menarik tangannya sebelum mengenai pipiku.
“Tante, maaf ya. Silakan pergi dari rumahku. Dan berhenti mencari gara-gara denganku. Sebelum nantinya Tante akan menyesal!” ancamku padanya. Aku mendorongnya hingga berada di luar rumah.
“Tante kamu bilang?” ucapnya kesal. Aku bisa melihat amarahnya memuncak saat mengatakan itu. Tapi aku tidak meladeninya. Karena sebelum dia mulai mencak-mencak, aku sudah menutup pintu dengan keras. Kemudian aku berjalan menuju dapur. Mencari minuman dingin di dalam lemari es. Aku meminumnya sekaligus. Panas rasanya langsung menghilang dari tubuhku. Wanita itu memang sangat kurang ajar. Aku pun langsung menelepon Romi. Aku tidak peduli, kalau dia sedang sibuk. Aku hanya ingin mengadukan apa yang telah mantannya lakukan padaku.
“Halo,” sapaku padanya.
“Halo, ada apa sayang?” tanyanya lembut. Terdengar suara berisik dari tempatnya.
“Berisik banget? Lagi di mana?” tanyaku.
“Aku sedang di tempat petani sayur. Mencari pemasok sayur baru sayang, ada apa?” tanyanya lagi.
“Aku lagi kesel!” jawabku manja.
“Kesel kenapa? Sepi ya sendirian di rumah?” tanyanya.
“Sepi mah iya, tapi aku bisa jalani itu. Tapi ini mantanmu datang ke sini! Buat aku jadi kesel!” jawabku.
“Mantanku? Friska?” entah kenapa aku merasa sangat kesal mendengar namanya disebut.
“Iyalah! Ada berapa memangnya mantanmu?” tanyaku kesal.
“Bukannya begitu, aku Cuma memastikan saja, kenapa dia ke sana?” tanyanya tanpa dosa.
“Mencari kamulah, siapa lagi? Masa mencari aku? Memangnya dia mau silaturahmi?” jawabku ketus.
“Kau yang tenang ya, sabar. Enggak usah diladeni dia. Enggak usah buka pintu kalau dia yang datang. Cek dulu ke jendela samping, siapa yang datang. Baru buka pintunya,” ucapnya.
“Kata dia, kamu masih sayang sama dia,” ucapku kesal.
“Ya ampun, kenapa dia bikin masalah terus sih. Ya sudah, besok aku pulang,” ucapnya.
“Hari ini bisa enggak?” rengekku.
“Apanya?”
“Pulangnya,” jawabku lirih. Aku merasa menjadi super manja saat itu.
“Iya deh, nanti aku pulang. Kamu enggak usah marah-marah atau kesel-kesel lagi ya,” ucapnya.
“Iya, cepat pulang!” pintaku.
“Iya, nanti akan segera pulang,” jawabnya.
“Ya sudah, aku lanjut negosiasi dulu ya. Nanti aku kabari kalau sudah pulang,” lanjutnya.
“Iya,” jawabku. Aku segera menutup teleponnya. Lega rasanya Romi akan segera pulang. Aku kembali masuk ke dalam kamar. Melanjutkan tidur siangku yang tadi diganggu oleh mak lampir menyebalkan itu.