Kota Jakarta, kediaman orang tua Aldo.
“Apa?! Kamu sudah membunuh Marwa? Kamu sudah gila, Aldo. Bagaimana kalau ada yang menemukan dia dan melaporkan smeua ini? Kamu bisa kena penjara.” Meri—ibunda Aldo—kaget mendengar pernyataan sang putra.
Aldo bukannya takut, malah terkekeh mendengar pernyataan sang ibu, “Mama ini berlebihan. Mama lupa ya, ayah Marwa juga aku yang sudah bunuh. Tapi sampai sekarang aku masih bebas. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Jadi mama tenang saja. Kematian Marwa kini pun tidak akan ada yang tahu. Aku sudah membuangnya ke dalam jurang. Palingan saat ini tubuh wanita itu sudah dimakan oleh hewan buas di sana.”
“Tapi Aldo, ini kasusnya beda. Waktu ayahnya Marwa kita bisa memberi alibi dan malah balik menyalahkan pihak rumah sakit. Sekarang tidak bisa seperti itu. Lagi pula kenapa kamu harus membunuhnya? Kamu hanya perlu bersabar beberapa bulan saja, maka Marwa akan mati dan kita bisa ambil semua asuransinya.”
“Aku sudah ambil asuransinya, Ma.”
“Itu hanya asuransi kesehatan saja, bukan asuransi jiwa.”
“Tapi kita masih bisa kok mengurus asuransi jiwa Marwa.”
“Bagaimana caranya? Jangan mengada-ngada, Aldo. Mana surat kematiannya? Mana jasadnya? Kamu itu jangan gila dong. Katanya sarjana, tapi pola pikirnya masih picik kayak anak TK. Ah, dasar gegabah, kamu. Coba kamu bersabar sebentar saja.”
“Aku tidak bisa sabar, Ma. Ia sudah mengancamku.”
“Mengancam apa? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan pada Marwa sehingga ia berani mengancam kamu?”
“Marwa memergokiku selingkuh.” Kali ini suara Aldo mengecil.
“Apa? kok bisa?”
“Aku nggak tahu, Ma. Marwa tiba-tiba saja sudah ada di dalam kamar apartemen. Ia tidak memberitahu kalau ia akan pulang. Ia mengancam akan mempermalukan aku dan Jihan.”
“Hah!! Kamu dan Jihan sama saja. Sekarang mama nggak mau tahu, mana bagian mama.”
“Bagian apa?”
“Asuransi kesehatan Marwa.”
“Ma, jangan aneh-aneh deh. Nilainya nggak seberapa. Beda cerita kalau asuransi jiwa Marwa cair, nilainya baru besar.”
“Mama tidak mau tahu, Aldo. Kamu yang salah, kamu yang nggak sabaran. Sekarang mana bagian mama.”
“Lima ratus juta saja,” lirih Aldo.
“Ha? Hanya lima ratus juta? Mama ingin lima puluh persen.”
“Tapi asuransinya nggak seberapa, Ma?”
“Mama tidak mau tahu, lima puluh persen, atau kamu jangan dekati rumah mama lagi. Satu lagi, jangan harap mama dan papa akan membantu kamu lagi.”
Aldo menghela napas. Ia tidak bisa menolak keinginan sang ibu. Akhirnya ia pun membagi dua uang asuransi Marwa yang seharusnya sepenuhnya jadi hak Marwa.
“Aldo, sekarang apa rencana kamu?” tanya Meri.
“Aku belum tahu. Tapi aku sangat yakin kalau mayat Marwa tidak akan ditemukan oleh siapa pun. Siapa yang akan menemukannya di sana, di dasar jurang. Apa lagi tempat itu adalah tempat angker. Masyarakat saja tidak ada yang berani ke sana.”
“Semoga saja benar, tapi kalau yang terjadi sebaliknya, bagaimana?”
“Kalau benar ada yang menemukan Marwa, pasti nanti beritanya akan viral, Ma. Kita tunggu saja beberapa hari ini. Kalau tidak ada berita apa-apa, artinya mayat Marwa memang sudah hilang dimakan binatang buas di sana. Tapi aku sangat yakin kalau Marwa tidak akan ditemukan oleh siapa pun di sana.”
“Ya, semoga saja keyakinan kamu itu benar adanya,” ucap Meri seraya berlalu masuk ke dalam kamar.
***
Rumah sakit pondok indah, Jakarta.
Renima baru saja kembali dari Makassar untuk sebuah urusan pekerjaan. Wanita yang merupakan saudara sepupu Marwa itu, bergegas menuju ruang rawat inap dimana sebelumnya Marwa dirawat. Ia tidak sabar bertemu Marwa. Di tangannya sudah ada sekantong buah-buahan segar dan sebuket kecil bunga.
“Marwa, aku datang,” ucap Renima.
Namun bukannya senang, wanita itu malah heran sebab ia tidak temukan siapa-siapa di dalam sana. Ruangan itu kosong.
“Marwa, kamu di mana? Ini aku baru datang,” lirih Renima. Ia mencoba membuka pintu kamar mandi, namun tetap saja ia tidak temukan siapa pun di sana.
“Marwa … Marwa ….” Renima kembali mencoba memanggil, tapi tetap saja tidak ada jawaban dari siapa pun.
Renima bergegas keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju meja perawat.
“Suster, Marwa kemana? Apai a sudah pindah? Atau sudah pulang?” tanya Renima.
“Anda ini keluarganya?”
“Iya, saya ini saudara sepupunya.”
“Ibu Marwa pergi meninggalkan rumah sakit dari kemarin siang, lalu tidak kembali lagi. Kami sudah coba menghubungi, namun ponsel bu Marwa tidak aktif. Bu Marwa juga meninggalkan tagihan rumah sakit yang belum ia bayarkan sama sekali.” Sang suster memberikan selembar berkas kepada Renima.
“Ini nggak mungkin, Suster. Yang saya tahu, suaminya sudah mengurus asuransi Marwa dan dipastikan asuransi itu sudah cair. Harusnya semua tagihan rumah sakitnya sudah lunas.”
“Tapi kenyataannya tidak demikian, Mbak.”
“Baiklah, saya akan urus semuanya. Mohon beri saya wakt.” Saya akan mencari di mana keberadaan Marwa.”
Sang suster mengangguk.
Renima menjauh dari meja perawat. Ia ambil ponselnya dari dalam tas, lalu ia coba hubungi nomor ponsel Marwa. Sayangnya panggilan itu memang tidak aktif.
Tanpa pikir panjang lagi, Renima pun segera meninggalkan rumah sakit dan bertolak menuju apartemen Marwa. Ia punya firasat buruk. Ia takut terjadi apa-apa dengan Marwa.
Sesampai di apartemen, Renima tidak menemukan siapa-siapa. Berkali-kali ia pencet bel, namun tidak ada siapa pun yang keluar dari unit apartemen.
Aldo … Ya aku harus hubungi Aldo. Aldo pasti tahu di mana Marwa, batin Renima.
Renima pun mencoba menghubungi Aldo. Tapi sayangnya, panggilan itu tertolak. Artinya, Aldo sudah memblokir nomor Renima.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Di mana Marwa? Renima mulai panik.
Wanita itu kembali mencoba menghubungi nomor ponsel Marwa dan beruntung panggilan itu masuk.
“Halo.” Terdengar suara bariton seorang pria dari balik panggilan suara. Tapi itu bukan suara Aldo sebab Renima hafal bagaimana suara suami dari saudara sepupunya itu.
“Halo, maaf ini siapa? Saya Renima, saudara sepupunya Marwa,” ucap Renima.
“Saya dokter Farhan.”
“Dokter Farhan? Dokter Farhan siapa? Bagaimana bisa ponsel Marwa ada pada anda?”
“Jadi nama pasien ini adalah Marwa?”
“Pasien? Di mana Marwa sekarang?”
“Apa benar anda ini adalah saudara sepupunya? Apa benar nama anda Renima?”
“Iya, saya Renima. Harusnya anda bisa lihat di layar ponsel itu siapa nama yang tercantum di sana.”
“Anda sekarang ada di mana?” tanya Farhan.
“Saya di apartemen milik Marwa. Saya baru saja dari rumah sakit pondok indah, tapi Marwa tidak ada di sana. Kata perawat, Marwa pergi dari kemarin siang dan belum kembali. Saya sudah coba hubungi suaminya, namun tidak bisa.”
“Marwa sedang di sini. Saya menemukan ia tadi pagi di bawah jurang.”
“Apa?!” Renima kaget mendengar pernyataan pria yang sama Sekai tidak ia kenali itu.
“Bisa anda ke sini? Marwa sedang dirawat di RSUD Bogor. Ia masih belum sadarkan diri. Tadi ponselnya mati kehabisan daya.”
“RSUD Bogor? Oke, saya akan segera ke sana.”
“Baiklah, saya tunggu di sini.”
“Terima kasih, Dokter.” Renima pun segera memutus panggilan suara itu. Wanita berusia tiga puluh satu tahun itu segera turun dari apartemen menuju basement tempat ia memarkirkan mobilnya. Tanpa menunggu waktu lagi, Renima langsung mengemudikan mobilnya menuju RSUD kota Bogor.
Satu jam lebih Renima menempuh perjalanan dari Jakarta ke RSUD Bogor untuk memastikan kondisi Marwa. Hingga mobil yang ia kendarai pun berhenti di halaman gedung rumah sakit. Renima langsung menghubungi kembali nomor ponsel Marwa.
“Halo,” jawab seseorang dari balik panggilan suara. Siapa lagi kalau bukan Farhan.
“Apakah ini dokter Farhan?” tanya Renima.
“Iya, saya dokter Farhan. Apakah anda sudah di sini?”
“Iya, Dokter. Saya sudah di depan rumah sakit. Anda dan Marwa ada di ruangan mana?”
“Marwa saat ini masih di ruang IGD. Ia baru saja sadar. Bisa anda ke sini?”
“Baiklah, saya akan ke sana.” Renima kembali memutus panggilan suara itu, lalu melangkah menuju IGD untuk menemui sang saudara sepupu—Marwa.