Part 6

1115 Kata
Mereka menghabiskan makan malam dalam nuansa yang ceria. Dalam diamnya, Sandy memandangi orang-orang di sekelilingnya. Ia tidak bisa tidak mengakui kalau ia merindukan keluarganya. Bertahun-tahun berada di luar negeri untuk menyelesaikan sekolahnya sendirian membuatnya terkadang ingin kembali ke kediamannya dan bercengkerama dengan orangtuanya, kakaknya dan juga adiknya. Namun selama ini Sandy selalu menahan diri. Bukannya ia tidak mampu membeli tiket untuk kembali ke Indonesia saat masa liburan tiba. Ayahnya bahkan bisa membelikannya tiket itu. Namun Sandy selalu menolaknya. Alasannya sederhana, ia menggunakan waktu liburnya untuk mencari pengalaman baru, yaitu bekerja dan mencari pengalaman. Karena memang itu yang harus ia lakukan sebelum nantinya ia mengambil alih perusahaan keluarga yang sudah dibangun dan dibesarkan oleh kakek dan juga ayahnya. Sandy tidak mau dianggap tidak memiliki kemampuan. Dia tidak mau hanya dicap sebagai anak manja yang beruntung bisa bersekolah di luar negeri. Padahal kenyataannya, dia bersekolah di luar negeri karena ia mendapatkan beasiswa, bukan sepenuhnya mengandalkan biaya dari ayahnya yang memang kaya. Tahun berlalu faktanya tidak membuat orangtuanya menua dengan drastis. Selain berat badan yang bertambah, di mata Sandy, ayahnya masih tetap sama gagahnya dan sama bijaknya seperti sebelum dia pergi. Ibunya, masih tetap penyayang. Penampilannya terlihat lebih segar dan wanita itu tidak pernah berhenti tersenyum. Sandy tidak mau terlalu sombong, tapi pasti keberadaan dirinya saat ini menjadi salah satu pengaruh ibunya sebahagia ini. Kakak perempuannya, yang hanya terpaut dua tahun darinya itu terlihat bugar, cantik dan juga bahagia. Tampak jelas sekali kalau keberadaan dua anak tidak membuatnya kelelahan. Dan suaminya, yang baru saja datang beberapa menit yang lalu jelas sekali tampak memuja sang istri dan sangat menyayangi dua buah hatinya yang keduanya tak pernah Sandy lihat kelahirannya. Adik perempuannya. Dulu, saat sandy meninggalkannya adiknya itu masih polos-polos cupu. Tidak tahu bagaimana caranya berdandan rapi atau bagaimana caranya menarik hati lawan jenis. Tapi sekarang, dia sudah jauh berbeda. Tampaknya adiknya itu tahu bagaimana caranya bermake-up dan bahkan tahu bagaimana caranya melengkungkan alis dan memasang bulu mata palsu. Lalu ada dua sahabat baik adiknya, Giska dan Kiki yang jelas memiliki karakter yang berbeda. Atau bisa dikatakan berbanding terbalik. Kiki, dia gadis yang ramah dan murah senyum. Cara bicaranya halus dan tertata begitu sopan. Dia terlihat anggun dan bersikap seperti seorang bangsawan. Tentu saja dia juga cantik dan memiliki tubuh yang proporsional dan sepertinya sangat tahu pakaian apa yang pantas ia kenakan yang tentunya bisa menarik perhatian lawan jenis seperti yang terjadi pada Sandy sekarang. Sementara Giska. Giska adalah kebalikan dari Kiki. Dia cantik, secara fisik gadis itu cantik dan juga memiliki kulit yang putih bersih. Namun untuk proporsi badannya, selain tinggi badannya yang tidak lebih tinggi dari Kiki, Sandy tidak bisa menyebutnya proporsional atau tidak karena gadis itu mengenakan kaus kebesaran yang dipadu dengan celana jeans ukuran standar alih-alih jeans yang ketat dan membentuk tubuhnya. Dari caranya berkata-kata, gadis itu terdengar blak-blakan dan sedikit menyaring perkataannya meskipun tidak ada kalimat yang membuatnya menyinggung orang lain. Dan sepertinya, keluarganya juga sudah terbiasa dengan karakter gadis itu. Untuk kesan pertama, jelas gadis itu tidak bisa menarik perhatian lawan jenisnya. Tapi meskipun demikian, ada satu hal yang membuat Sandy tertarik pada gadis itu. Meskipun sorot matanya terkesan tajam dan dingin pada Sandy, tapi dia sangat ramah pada keluarga Sandy. Entah itu ibunya, kakak dan adiknya dan bahkan pada kedua keponakannya. Kedua keponakannya juga tampak nyaman berada dekat dengan gadis itu meskipun gadis itu sering berkata ketus. Sikap ketusnya, mengingatkan Sandy kepada... "Kenapa ngelamun?" Sebuah suara menyadarkan Sandy dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat kakaknya sedang memperhatikannya. "Ngelihatin siapa sih?" Tanya wanita itu seraya mengarahkan pandangan ke arah Sandy memandang. "Giska? Apa Kiki?" Tanya kakaknya itu lagi ingin tahu. "Apaan sih?" Elak Sandy seraya membalikan badannya. "Kenapa, kangen ngelihat cewek lokalan ya? Kebiasaan lihat cewek pirang?" Ledek kakaknya lagi, seolah enggan membuat Sandy nyaman sendiri. "Apaan sih, Mbak. Gak jelas banget." Jawab Sandy ketus yang membuat kakak perempuannya itu terkekeh geli. Sandy berjalan menjauh dari kakaknya dan mendekati tempat dimana keluarganya tengah berbincang di pinggir kolam renang di halaman belakang. Namun kakaknya itu tampaknya tak mau mengalah begitu saja. Wanita it uterus mengekorinya seolah belum puas meledeknya. "Cantikan mana? Giska apa Kiki?" "Mbak!" Tegur Sandy kesal. "Giska itu adiknya Andra loh, Dy. Kamu gak kenal dia emang?" "Andra? Andra Pratama?" Tanya Sandy tak percaya. Kakaknya itu menganggukkan kepala. "Dia temen sekolah kamu, kan?" tanya kakaknya yang dijawab anggukkan Sandy. "Pantesan aja." Gumam Sandy lirih. "Pantesan apa?" Tanya kakaknya bingung. "Sama-sama jutek, sama-sama ketus." Jawabnya tak acuh. Kakaknya tertawa terbahak begitu saja mendengarnya. "Dia biarpun ketus tapi baik. Anak-anak aja suka sama dia. Padahal dia bilang dia gak suka sama mereka tapi mereka masih aja nempel sama dia." Puji kakaknya tulus. Sandy hanya menatap kakaknya dalam diam. Lama setelahnya, Giska dan Kiki mengundurkan diri dari kediaman Sandy. Kiki diantar pulang oleh supir keluarga Sandy. Sementara Giska, gadis itu pulang bersama dengan kakak Sandy yang memang rumahnya searah. Rumah menjadi hening setelah kepergian orang-orang. Sandy berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas karena ia juga melihat kedua orangtuanya sudah tampak lelah. Kamarnya masih sama seperti sebelum ia tinggalkan. Rapih dan bersih. Jelas sekali kalau ibunya merawatnya dengan sangat baik. Sandy berjalan menuju lemari dan membukanya. Beberapa pakaiannya terlipat rapi dan beraroma pewangi lemari yang tergantung di bagian pintu. Setelah mengambil pakaiannya, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berniat tidur setelahnya. Dua jam sudah berlalu sejak Sandy menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tidak bisa tidur. mungkin karena pengaruh jetlag. Sandy melirik jam di ponselnya, ia berniat untuk menghubungi seseorang. Namun saat melihat angka yang tertera disana, ia mengurungkan niatannya. Pastinya orang yang ingin ia hubungi juga sudah istirahat malam ini. Dengan malas, Sandy bangkit dari tidurannya dan turun dari tempat tidurnya. Ia butuh minuman hangat dan semoga itu bisa membantunya dan membuatnya mengantuk. Saat ia berjalan ke dapur, ia cukup terkejut karena melihat adik bungsunya berada disana. Terlihat sedang mengisi botol minumnya dengan air dari dispenser. "Belum tidur?" Tanya Sandy yang hampir saja membuat Raia menjatuhkan botol minumannya karena terkejut. "Ya ampun, Bang. Kasih kode dulu kek sebelum bikin orang terkejut." Keluh adiknya itu seraya menutup botol minumnya dan memandang Sandy dengan wajah cemberut. Bukannya merasa bersalah, Sandy malah terkekeh melihat eskpresi adiknya. "Kenapa belum tidur jam segini?" Tanya Sandy seraya mengeluarkan gelas dari tempatnya dan mencari sesuatu dari nakas yang biasanya tersedia minuman seduh. "Baru mau tidur, tapi haus. Abang mau apa?" Tanya Raia ingin tahu. "Bikin minuman. Apa kek, s**u, teh atau apa gitu." Jawabnya dan ia mengambil satu sachet s**u bubuk kesukaannya dan membukanya serta memasukannya ke dalam gelas. "Dek." Panggilnya saat Raia hendak berjalan meninggalkan dapur. "Ya?" Tanya Raia seraya menghentikkan langkahnya dan kembali berbalik menghadap kakaknya. "Kamu masih inget nomor yang kamu kasih sama Abang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN