BAB - 01

1019 Kata
"Selamat siang, Pak Alva Alexander.” Setelah keterdiaman beberapa menit, wanita itu membuka suara lebih dulu. “Perkenalkan, saya Nadine Arzetta. Sekretaris baru yang akan bekerja mulai hari ini. Mohon bantuan dan bimbingannya.” Zetta mengeryit ketika calon bosnya—Alva, tidak menanggapi sapaannya malah nampak menikmati menyesap kopi di tangannya. Rumor buruk perihal bosnya sudah khatam dia pelajari. Siapa yang tak mengenal Alva Alexander—CEO yang wajahnya hilir mudik di majalah-majalah gosip dan bisnis. Tentang ketampanan, kepintaran dan pengangkatannya menjadi CEO muda menggantikan Papinya. Zetta muak melihat sosoknya yang terlihat begitu sombong, semaunya sendiri dan merasa dirinya adalah pusat dunia. Bahkan, beberapa hari lalu skandalnya mencuat dan menjadi bahan omongan dan incaran paparazi karena dia kedapatan menggoda sekretarisnya sendiri yang sudah bersuami. Itulah asal usul keberadaan Zetta di sini, menggantikan posisi kosong sekretaris. Itupun dia lakukan setelah ada tawaran dari pamannya. Meski Om Jeremy, paman Zetta yang juga bekerja di sini bilang dia harus berhati-hati pada Alva, agaknya hal itu tidak berlaku bagi Zetta. Sejak mengalami kejadian buruk yang membuatnya trauma, sosok p****************g seperti Alva Alexander hanyalah bos sampah yang menyebalkan. Kesal tidak mendapatkan atensi atas kedatangannya, Zetta kembali bersuara. "Pak Alva. Bapak tidak tuli kan? Jangan melamun Pak nanti kemasukan se tan." Setelah mengatakan hal itu, barulah Alva berbalik. Dengan tangan yang memegang cangkir kopi, mata pria itu menatap penuh nilai penampilan Zetta dari atas sampai bawah. Dalam hati Zetta tersenyum karena tahu apa yang sedang dipikirkan oleh bosnya. Alva pasti tidak menduga jika sekretaris barunya memiliki penampilan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, Zetta kaget saat Alva tersedak dan menyemburkan minumannya. "Aduh!" pekik Zetta menutup mulutnya. "Tenang, Pak. Sebentar. Sebentar. Tisu mana tisu!" Zetta memutar balik badannya mencari sesuatu. Dia berjalan cepat ke meja tamu yang ada di tengah ruangan saat melihat ada satu kotak tisu di sana. Diambilnya beberapa dengan gerakan cepat, membiarkan Alva nampak bengong tidak memedulikan tangannya yang basah. Zetta mendekat berusaha membersihkan tangan Alva tanpa benar-benar menyentuhnya dan hanya menyapukan tisu itu di tempat yang basah. "Kalau bersihin itu yang niat dong. Bukan seperti itu caranya!” Zetta kaget saat tiba-tiba Alva menarik tangannya yang masih memegang tisu untuk membersihkan sisa tumpangan kopi di tangannya. “AKKHHH!!” reflek Zetta menjerit. Buk!! Zetta langsung menampar Alva karena sudah menyentuh tangannya. Sontak saja, hal itu membuat bosnya terdorong dan menyebabkan kopi hitam yang dipegang Alva justru tumpah semua ke jas abu-abu yang dipakainya. "Ya Ampun!" Zetta panik sendiri, mengabaikan tangannya yang gemetaran setelah sentuhan Alva, dia berjalan mondar mandir di depan Alva yang ternganga. Zetta hanya bisa menutup kedua telinganya dengan sembari tersenyum kaku. Gawat! "KAU SUDAH G ILA YA?!” *** Zetta meremas tangannya dengan gelisah sembari memperhatikan Alva yang menyanggah dagunya dengan malas di sofa. Matanya sejak tadi membaca kertas di tangan sambil sesekali meliriknya. Wajahnya yang kena tampar terlihat merah dan dia harus berganti kemeja karena tumpahan kopi. Zetta merutuki kebodohannya sendiri. Ingatkan dia, setelah ini dia harus memasukkan kemeja dan jas Alva ke laundry. "Jadi, kau sudah berpengalaman menampar lelaki yang mencoba untuk menyentuhmu?" Zetta meringis, "Begitulah, Pak. Masih sakit ya?" "Nggak seberapalah pukulan kau tadi," katanya terlihat sok, mengelus pipinya sembari meringis. "Tapi, alangkah bijaknya kalau kau tadi memperingatkan saya dulu jangan main asal tampar aja.” "Maaf, Pak. Saya kalau panik suka begitu." Alva nampak menghela napas entah untuk yang ke berapa kalinya siang ini setelah kemunculannya. "Pukulanmu mantap juga sih." "Saya belajar ilmu bela diri, Pak. Sudah biasa melawan lelaki genit yang suka pegang-pegang sembarangan, apalagi yang suka godain wanita bersuami, Pak." Alva mendelik, "Kau nyindir saya?" "Tidak, Pak. Nggak berani saya, Pak," Zetta cengengesan sambil menggelengkan kepala. Padahal, memang iya. Skandal yang dilakukan Alva dan terdengar hingga telinganya, membuat Alva bahkan layak untuk dihujat terang-terangan. Bukan disindir lagi. Alva nampak kesal, "Saya itu bos kau mulai sekarang!!" Zetta mengatupkan bibirnya. Alva kembali melihat kertasnya. "Semua ini hanya karena traumatikmu?” Zetta mengangguk. “Saya anti dengan lelaki model seperti Bapak yang sok kegantengan dan suka tebar-tebar pesona. Apalagi kalau urusan sentuh menyentuh. Itu sudah masuk dalam kategori waspada.” Alva bengong. Mungkin, baru kali ini dia dihadapkan pada wanita dewasa model Zetta. "Saya tidak paham maksud kalimat panjang kau tadi yang jelas-jelas omong kosong." Zetta berdiri dari duduknya, membuat Alva diam memperhatikan dan berbicara penuh percaya diri. "Jadi, Pak Alva Alexander yang saya hormati. Saya sudah mengikrarkan diri menjadi seorang anti fans bapak. Sebaiknya perlakukan saya hanya sebagai sekretaris. Mohon kerja samanya." Zetta melihat Alva nampak tidak percaya dengan perkataannya. "Jaga batas Bapak dengan saya dalam jarak aman atau saya tidak akan segan-segan menggampar Bapak seperti tadi lagi." Zetta refleks menjauh saat Alva tiba-tiba berdiri di depannya. "Kau bermain-main dengan saya, Arzetta!!" ucapnya tajam. Dari balik kacamatanya, Zetta bisa melihat dengan jelas ada kegusaran yang ditunjukkan oleh Alva. Mungkin respon dari ucapannya yang seperti menyatakan perang. Secara tidak langsung Zetta tahu apa yang dipikirkan bosnya itu. Pasti sebelum ini tidak ada wanita manapun yang tidak menginginkannya. Tidak ada yang namanya anti fans Alva Alexander, selain dirinya. Apalagi, hanya dia seoranglah yang mengutarakan hal itu secara terbuka di depannya langsung. Jelas hal itu seperti melukai ego seorang Alva Alexander sedemikian rupa. "Predikat membanggakan itu playboy mempesona yang berhasil menjerat banyak wanita, you know? Mulai sekarang kau harus hati- hati, untuk tidak jatuh dalam pesonaku, Zetta." Zetta menegakkan tubuhnya, membenarkan posisi kaca matanya dan balik menatap Alva dengan pandangan berani. Dia sudah tidak bisa mundur lagi. "Bagiku Playboy itu sebutan halus untuk lelaki rapuh kesepian yang butuh cinta seperti kamu. Sebutan kasarnya sih PECUNDANG!" Nadine Arzetta menuding tepat di wajah Alva. Dia pikir, lelaki itu akan marah, tapi setelah itu yang muncul di wajah tampannya adalah senyuman miring bak reinkarnasi iblis kegelapan. Kedua orang itu berdiri kokoh, tak mau kalah. Alva dengan tatapan penuh tantangan dan Zetta dengan sikap berani matinya. Zetta menyadari, dia sudah menandatangani kontrak kematiannya sendiri terutama untuk hatinya yang rapuh. "Selamat, Nadine Arzetta. Kau baru saja membangunkan singa yang sedang tidur. Kita akan lihat, siapa yang akan menang." Alva maju selangkah. "Aku akan membuktikan, kalau kau sama seperti wanita lain di luar sana. CAMKAN ITU!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN