“Masuk,” suruh Lexi begitu pintu apartemennya terbuka.
Wanita yang bernama Gita ini melangkah ragu memasuki apartemen yang semua berdominan warna putih. Mengekor langkah si pemilik tempat tinggal.
“Duduk dulu.” Suruh Lexi, menunjuk sofa ruang tamunya, yang tentu ... super berantakan.
Lexi nyengir, memunguti kaleng minuman dan beberapa bungkus ciki yang selalu menemani hari-harinya. Sedangkan Gita mendudukkan p****t ke sofa. Memungut kulit kacang yang berserakan disampingnya, lalu menaruh diatas meja yang terbuat dari kaca.
Setelah mengumpulkan sampahnya, Lexi memasukkannya ke tempat sampah yang tak jauh dari pintu. Kemudian, kembali berjalan ke sofa, duduk tepat didepan Gita. Menatap wanita yang pipinya cubby itu dengan mengintimidasi.
“Cepet cerita. Gue nungguin lo ngomong nih,” ucapnya dengan kedua siku yang bertopang di kedua lutut.
“Uumm ....” Gita terlihat beberapa kali menggeser duduknya, terlihat sekali jika tak nyaman.
Lexi menatapnya dengan kening berkerut, lalu melipat tangan didepan dadaa. “Lo kenapa?”
Gita mengelus perut bagian bawah. “Aku ... kebelet pipis. Boleh, numpang pipis nggak?” pintanya dengan menggigit bibir bawah.
Lexi mendengus, kesal. “Pipis biasa dua ribu, pipis enak dua ratus ribu.” Nyengir dengan kedua alis yang naik turun. “Pilih mana? Murah lho, Cuma dua ratus ribu.” Menengadahkan tangan ke Gita yang masih duduk menahan pipisnya.
Gita yang nggak paham, mendongak, terlihat super cengo menatap wajah Lexi yang nyengir disertai kedua alis naik turun. “Aku kan ... nggak bawa apa-apa. Gimana mau bayarnya? Aduuhh ....” kembali menekan perut bagian bawahnya. “Aku kebelet beneran.” Keluhnya.
“Ppcck, pilih pipis biasa apa pipis enak?” jahil Lexi kembali melontarkan pertanyaannya yang sama sekali tak mutu.
“Aku pilih pipis enak aja. Nanti kubantuin beresin rumahmu sekalian.” Beranjak, menarik tangan yang menengadah itu. “Cepet, anterin ke toilet, aku beneran bisa ngompol.”
Dengan terkejut Lexi berjalan menuju kamar mandi yang ada disebelah dapur. Membiarkan wanita hamil itu masuk. menggeleng menatap pintu toilet yang tertutup, lalu menggaruk kepala bagian belakangnya.
“Ngimpi apa sih gue, sekalinya nemu cewek, masa’ bunting? Kapan ngerasain perawan yak.” Kembali menggeleng, tertawa sendiri, membuka kulkas, ngambil minuman kaleng. Membukanya pelan lalu meneguknya. “Ppfftt ....” minuman itu nyembur dengan sangat tak sopan.
“Boleh pinjam baju nggak? Tadi mau ikut cuci muka, tapi malah aku hampir terpeleset. Jadi bajuku basah.” Ucapnya.
Lexi menatapnya tak kedip, terlebih melihat blouse warna putih yang kini basah dan menampakkan beha warna merahnya yang sangat jelas terlihat. Stik biliar yang tadi belom sempat nganu itu kembali mengeliat didalam celana jeas.
“Bab*! Beneran bab*!” umpatnya, mencengkram kaleng minum yang ada ditangannya.
“Hah, kamu bilang apa?” tanya Gita yang tak terlalu mendengar ucapan Lexi.
“Uumm, enggak. Bentar, gue ambilin baju gue.” Memilih segera berjalan menjauh, membuka pintu kamarnya.
“Lailah ... bisa mati berdiri kalo kek gini. Mending yang didepan gue itu lacurr sekalian, biar bisa langsung gue makan. Lha ... kalo bini orang, bisa digampar sama suaminya dong. Kamvret emang!” tak henti-hentinya mulut itu mengumpat.
Mengelus stik nya yang benar-benar merasa sangat tersiksa oleh celana jeansnya yang agak tebal. Memilih melepas celana jeasnya, menyisakan celana kolor saja, lalu mengambil kaos warna maroon yang masih baru, bahkan masih ada label merk yang menggantung di bagian leher kaos.
Mendengus lagi melihat Gita yang masih berdiri ditempat semula, memilih menunduk dari pada menatap dadaa yang tentu tak kecil. Wanita hamil kan hormonnya mengembang. Semua jadi ukuran big
“Nih, pake.” Mengulurkan kaosnya.
Gita menerimanya. “Aku pinjem dulu ya.” Ijinnya.
Tetap tak ingin menatapnya. Lexi kembali mengambil kaleng minumannya yang tadi ia letakkan diatas kulkas. “Cepet pakai sono.” Usirnya, dia sendiri berjalan kearah ruang teve. Menjatuhkan tubuh disofa, meraih remote teve dan mulai menyalakannya.
Tak berselang lama, Gita keluar, berdiri disamping sofa yang Lexi gunakan untuk tiduran. Melihat Gita yang berdiri tak nyaman, Lexi memilih bangun, lalu menepuk sofa sampingnya. Menyuruh wanita itu untuk duduk disana.
Menurut, Gita duduk canggung disofa samping. “Maaf, aku ngerepotin.” Ucapnya dengan menunduk.
Lexi mendengus lagi, menggeser duduknya, membuatnya menghadap ke Gita. “Siapa nama lo?” tanyanya kemudian.
“Gita, Gita Hiuna.” Jawab Gita dengan menatap Lexi.
Untuk beberapa detik tatapan mereka beradu. Membuat Lexi menelan ludah menatap wajah cantik dengan bibir ranum yang terlihat begitu menggemaskan.
“Kamu ... kamu ... masih sekolah?” tanya Gita saat menyadari wajah pria didepannya ini adalah wajah bocah. Terlebih wajah Lexi terlihat sangat imut dan manis. Membuat siapapun yang menatapnya tak akan jenuh.
Lexi kembali menelan ludah, menatap kelain arah. “Iya, gue kelas dua belas.” Jawabnya. Meraih kaleng minum, lalu meneguknya.
Gita celikukan. “Orang tua kamu ... dimana?”
Lexi meneguk minumannya yang terakhir, melempar kaleng itu ke tempat sampah yang ada disamping teve, tapi tak tepat sasaran. “Gue tinggal disini sendiri.” Jawabnya, sedikit menoleh, menatap Gita yang masih menatapnya. “Kenapa lo kabur dari suami lo? Lo ... banyak ngutang ke tetangga?”
Cepat kepala Gita menggeleng dengan tangan melambai. “Enggak, aku nggak pernah ngutang. Suamiku juga ngasih duit tiap minggu kok.”
“Terus??” kening Lexi berkerut, menginginkan penjelasan yang lebih panjang lagi.
“uumm ....” Gita menunduk dalam. Lalu mengusap matanya.
“Lha ... malah mewek. Padahal gue kan Cuma nanya. Kenapa nangis coba? Ppckk!” berdesis, menatap kelayar teve yang menayangkan iklan bantal wanita.
“Maaf, aku ... aku emang cengeng. Hiks ....” kembali mengusap matanya yang benar-benar meneteskan air asin.
“Yaudah sih, nggak usah cerita. Gue juga nggak maksa. Malam ini lo mau bobok dimana?” tanya Lexi dengan menatap Gita sekilas.
Gita geleng kepala. “Aku nggak tau.”
“Gue takut aja suruh nikahin elo, misal lo mau nginep sini.” Lexi menjatuhkan punggung ke sandaran sofa. “Kan nggak lucu, kalo gue nyimpen bini orang di apartemen.”
Gita menatap Lexi dengan wajah memelas. “Pliis, biarin aku tinggal disini. aku ... aku nggak tau harus kemana. Ibuk sama ayahku ada di Jogja, aku disini nggak punya temen atau saudara.” Kembali mengusap kedua mata.
“Setidaknya, sampai aku punya uang untuk balik ke Jogja. Aku nggak mau hidup terlantar dijalanan. Kasihan anakku.” Mengelus perut yang memang membuncit.
“Itu, cebong usia berapa?” tanya Lexi, menuding perut buncit Gita.
“Astaga, ini isinya bayi lho. Bukan anak kodok. Ini anakku.” Terbelalak, menatap tak terima ke Lexi.
“Ya itu kamsud gue.” Jawab Lexi santai, menaikkan kedua kaki keatas meja.
“Ini ... udah enam bulan.” Kembali tangan itu mengelus perut. “Kamu, namanya siapa?”
“Sayang.” Jawab Lexi sekenanya.
“Hah? Sayang?” membeo, meyakinkan yang didengar.
Lexi menoleh, ngangguk meyakinkan.
Sementara Gita mengerucut. “Nanya serius juga.”
“Gue bakalan kasih lo tempat tinggal kalo lo mau ceritain semua. Tanpa terkecuali.” Pinta Lexi dengan serius. Alisnya terangkat sebelah, menandakan jika ia benar-benar tak ingin tawaran lagi.
Gita makin mengerucut, memilin ujung kaos dengan kencang.
“Iisshh, jan suka manyun gitu deh. gue beneran bisa nyosor elo nih.” Gemas Lexi.
Mendengar ucapan Lexi, Gita mengerjap beberapa kali. cukup terkejut dengan kata-kata kotor yang sejak awal ia dengar dari mulut manis pria ini.
“Suami lo kenapa? Udah tua, makanya lo ninggalin dia?”
“Enggak, bukan itu. enggak kok.”
“Lalu ....?”
Gita terlihat membuang nafas kasar melalui mulut. Kembali menatap Lexi yang memang menatapnya sejak tadi. “Aku haus, boleh minta minum dulu nggak?”
“Cckk,” desis Lexi kesal. “Belum juga lo gue nyatain nginep disini. udah minta-minta mulu. Mau bayar hutang pakai apa coba?”
Gita kembali mempoutkan bibir. “Aku beneran haus. Cuma minta minum teh manis doang. Enggak minta makan kok.” Lanjut Gita dengan mengemis.
“iya, iya gue ambilin teh gelas.” Beranjak dari duduknya.
“Eh, aku nggak mau minuman yang instan. Itu nggak baik untuk anakku. Aku maunya yang biasa, teh sedu pakai gula pasir. Gula pasirnya satu sendok aja. Jan banyak-banyak. Nanti bisa jadi penyakit gula.”
Lexi menghentikan langkah, menoleh, menatap Gita dengan sangat tak percaya. Tak jadi pergi, kembali mendudukkan bokongnya dengan tubuh menyandar di sofa.
“Kenapa duduk lagi?” tanya Gita heran.
“Lo kira gue babu apa! Herman! Udah minta, riques pula. Nggak ada akhlak!” maki Lexi dengan sangat sebal.
Gie nyengir kuda. “Maaf deh. yaudah, aku bikin minum sendiri, boleh?” ijinnya.
“Yaudah sono.” Pasrah. Wanita ini terlalu ribet. Pikirnya.
Dengan senyum lebar, Gita beranjak. Berjalan pelan menuju dapur yang ada disamping kamar mandi tadi. Membuat teh untuknya dan untuk Lexi. Kurang lebih sepuluh menit, Gita membawa dua gelas teh hangat ke meja depan teve.
Lexi beranjak, menegakkan tubuh dengan menatap gelas didepannya, lalu beralih menatap Gita yang meniup minuman dan detik kemudian meneguknya pelan.
“Udah minum kan, sekarang cerita.” Pintanya, menatap Gita serius.
Yang ditatap kembali manyun. “Kamu beneran pen dengerin cerita rumah tanggaku?”
“Pcckk! Kenapa tanya sih!? Dari tadi juga gue kan nanyain itu, markonah!” kesalnya.
Masih aja bibir Gita manyun. “Iya, iya, aku cerita. Tapi ... kamu janji ya, bolehin aku nginep disini. ya, dua malam lah. Aku janji, setelah aku ambil uang ke rumah suamiku, aku akan pergi.”
“Serah.” Jawab Lexi dengan cuek.”
“Suamiku ... main sama wanita lain.” Gita menarik nafas dalam, menatap gelas yang ada ditangannya. “Sebenarnya, aku nggak terlalu ambil pusing jika dia tak sampai tahap celup. Tapi ... mas Iklan beneran udah keterlaluan. Dia sampai membelikan rumah wanita itu. bahkan mereka sudah sering melakukan hubungan ranjangg. Kamu masih anak dibawah umur, pasti nggak akan paham tentang hubungan ranjang. Jadi ... kurasa, mending nggak kujelaskan.” Sedikit melirik Lexi yang menatapnya serius.
Kembali Lexi menghela nafas. “Tapi, gue penasaran. Maksud lo hubungan ranjang ini yang gimana?” tanyanya sok polos.
“Adduuh, jan penasaran deh. ini untuk usia dewasa. kamu masih pelajar. Nggak baik buat otak kamu.”
Lexi tertawa geli. Wajah Gita terlihat sangat lucu. “Mau ajari maksud hubungan ranjang itu nggak, mbak?”
“Eh,” nabok kaki Lexi cukup keras. “Jan ngaco deh. ini hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa. anak-anak kek kamu, belom boleh. Emang kamu udah mudeng?”
Kening Lexi berkerut lagi. “Mudeng apa?”
“Aahh, ini masalah rumah tangga. Beneran nggak baik untuk kamu yang masih harus belajar.” Ucapnya lagi. “Intinya ya, suamiku ini punya wanita lain. Dan wanita ini minta suamiku untuk menikahinya. Aku ... aku nggak mau dipoligami. Tapi aku juga nggak mungkin biarin Putri hamil tanpa suami.” Gita geleng kepala dengan helaan nafas yang terdengar berat. Banyak masalah yang ia pikirkan.
Lexi ngangguk. mulai mengerti masalah wanita disampingnya ini. “Gimana kalo suami lo nemuin lo disini?”
“Aku mau kabur lagi.”
“Masalah itu diselesaiin, jan di tinggal kabur. Kalo lo tinggal kabur, siapa yang nyelesaiin? Masa’ pak Lurah?”
Gita nabok kaki Lexi lagi. “Iihh, aku nggak ada hubungan apa-apa sama pak Lurah.”
Ting tung! Ting tung!
Suara bel apartemen membuat keduanya menatap kearah pintu yang memang terlihat dari ruang teve. Lexi menyipit dengan kening berkerut, nggak biasanya dia nerima tamu.
Tak mengatakan apapun, ia beranjak, berjalan kearah pintu. Menekan monitor yang terletak disamping pintu. Ada dua orang yang terekam dikamera, salah satunya pegawai apartemen.
Ceklek!
Mendadak Lexi kesulitan menelan ludah. Ada lima pria yang berdiri didepan pintu. Pemilik apartemen, si resepsionis apartemen, dua lelaki yang tinggal di kamar satu lantai dengannya, lalu ... seorang yang berpakaian mirip kyai.
“Bisa kami masuk, mas Lexi,” tanya pak Jinu—pemilik apartemen.
“Eemm, iya, silakan masuk.”
Lexi melangkah lebih dulu, membiarkan semua tamunya masuk, lalu menutup pintu setelah semua tamunya duduk. Dia sendiri ikut duduk di sofa yang masih kosong.
“Ini, ada apa, pak? Kenapa berbondong kemari?” tanya Lexi heran.
Pak Jinu sedikit mengulas senyum. “Saya kenal mas Lexi sudah satu tahun yang lalu. Bahkan kita ini sudah sering bertemu ditempat bermain kita jika malam. Tadi ... beberapa karyawan melihat mas Lexi membawa masuk seorang wanita yang tengan berbadan dua. Tak mungkinkan, jika wanita itu tak ada hubungannya dengan mas Lexi? Terlebih ... mas Lexi ini ... tak memiliki saudara wanita.” Tutur Jinu yang benar-benar membuat Lexi terpojok.
“uumm, iya, tapi ... dia memang nggak ada hubungannya sama saya, pak. Saya Cuma nolongin dia aja kok.” Jawab Lexi, berusaha meyakinkan.
“Lalu, kenapa dibawa ke apartemen? Ini sudah malam, jam sepuluh, seharusnya seorang wanita hamil nggak ngeluyur.” Kali ini orang yang mirip seperti kyai yang ngomong.
“Ini saya mau antar dia pulang ke rumah suaminya, pak.” Sahut Lexi cepat.
“Silakan diminum.” Dengan tanpa dosa Gita keluar dengan membawa nampan berisi beberapa gelas teh hangat.
Semua mata terarah ke Gita yang memang cantik dan perutnya membuncit.
“Silakan,” mempersilakan tamu Lexi dengan lembut.
“Eh, mbak. Duduk dulu. Ada yang harus dibahas.” Jinu menghentikan langkah Gita yang akan kembali masuk kedalam.
Menurut, Gita ikutan duduk disamping Lexi, menatap beberapa pria yang tak ia kenal. Tapi dia sangat yakin jika pria-pria ini tak punya niat melukainya.
“Embak sudah mau pulang?” tanya Jinu.
“Enggak, saya mau nginep sini.” Jawaban polos Gita yang membuat Lexi menunduk dengan merem dalam. “Tadi udah minta ijin sama ....” menatap Lexi yang ada disampingnya, lalu menepuk kaki Lexi pelan. “Sayang, iya kan, aku boleh nginep sini?”
Mampus lo, Lex! Mampus!
sorry kalo nggak sesuai ekspetasi kalian. tapi makasih udah mau nyumbangin love buat Lexi.
sampai di part 2 lalu enggak tertarik, bisa tinggalkan, tapi pliiss, jan ngehina.