Makan Siang

1866 Kata
"Dimas!" Sesosok wanita yang Rayya tadi sempat lihat di area lobbi, yang ingin gadis itu labrak sebab sikapnya yang terlihat arogan, berdiri di ambang pintu kantor Dimas. "Niken!" sapa Dimas dengan kedua alisnya yang bertaut. "Siapakah tamu kamu yang penting itu sampai aku tidak diizinkan masuk? Bukankah kamu sudah selesai meeting!" Wanita itu berjalan masuk ke dalam ruangan, kemudian disusul oleh Kevin di belakangnya. "P—pak, m—maafkan saya, sa—!" Kevin tidak meneruskan kalimatnya ketika melihat Dimas mengangkat telapak tangan kanan ke atas. Lalu, dengan gerakan seolah mengusir ke arah anak buahnya tersebut, disambut anggukan kepala Kevin yang kemudian pergi meninggalkan ruangan. Adegan di depan Rayya itu, hanya gadis itu perhatikan dalam diam. Sedangkan wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan Dimas bersikap sok anggun dengan tampangnya yang terlihat sedikit emosi. Ketika Kevin pergi dan Dimas baru akan membuka mulutnya, pekikan terdengar dari mulut Niken yang saat itu menoleh ke arah Rayya yang baru wanita itu sadari ada sosok perempuan lain di ruangan sahabatnya. "K—kamu siapa?" seru Niken, "muka kamu —!" lanjutnya tanpa berani mengatakan apa yang sedang ia pikirkan. Kedua matanya membola dengan wajah yang terlihat sekali terkejut. Langkah kakinya yang tadi akan menuju Dimas, malah mendekat ke arah Rayya. "Dim—Dimas! Si—siapa perempuan ini? Kenapa mukanya mirip de —?" Terbata Niken bertanya dengan tatapan cepat ke arah sang sahabat. "Dia Rayya. Ya, kamu tidak salah, Ken. Dia adalah saudara kembar Ria." "Apa!" pekik wanita itu lagi, yang jujur saja membuat telinga Rayya pengang karen suara berisik yang keluar dari mulut wanita di depannya. "Bagaimana bisa?" Pertanyaan Niken yang terdengar aneh. "Apa maksudmu?" tanya Dimas yang sebetulnya masih kesal dengan kedatangan Niken yang tiba-tiba dan memaksa. "Ehm, maksudku bagaimana bisa perempuan ini ada di sini, di kantor kamu. Maksud aku, eh ... ada urusan apa dia denganmu?" Niken seperti orang kebingungan. Mendapati Rayya ada di dalam ruangan sahabatnya, tentu saja membuatnya terkejut bukan main. Secara, ia sangat tahu peristiwa apa yang menimpa pasangan kekasih tersebut, sebulan sebelum pernikahan keduanya digelar. "Ehm, Niken. Maaf sebelumnya. Sebetulnya kita tidak ada janji bukan hari ini? Nah, berhubung aku sedang ada keperluan dengan Rayya, maaf sekali kalau aku harus berbicara dengannya, berdua." Niken mendelik. "Kamu mengusirku, Dim?" "Maafkan aku, Ken. Untuk kali ini, aku benar-benar sedang ada hal penting yang memang harus aku lakukan dengannya." Suasana menegangkan yang Dimas ciptakan, membuat Niken emosi. Tapi tidak bagi Rayya, ia tampak tersenyum tipis begitu melihat mimik kesal tergambar di wajah wanita itu. Entah kenapa Rayya seperti mendengar sorakan di dalam hatinya ketika Dimas secara halus mengusir sahabatnya sendiri dari ruangannya. Tanpa banyak kata, Niken yang belum sempat duduk atau belum sama sekali ditawari duduk oleh Dimas, segera berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan segera. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan seperti sengaja ia hentakkan keras beradu dengan lantai kayu dalam ruangan. Dimas melihat itu hanya menarik napas dan mengembuskannya pelan, seolah sikap Niken memang sesuatu hal yang biasa ia lihat. "Jadi, Rayya ... kembali ke pertemuan kita kali ini. Sepertinya kita harus menunggu pengacaraku sedikit lebih lama. Sebab mendadak ia memberi kabar jika ada klien yang sedang mengunjunginya. Untuk hal ini, apakah masalah buatmu?" Dimas sesungguhnya tak enak hati menyampaikan hal demikian pada Rayya. Tapi, entah mengapa jauh di relung hatinya, ia merasa senang bisa berlama-lama berduaan dengan gadis itu saat ini. Rayya tampak berpikir, membuat Dimas cemas melihatnya. Lalu, gelengan kepala dari Rayya mengartikan jika hal itu bukanlah masalah. Seketika membuat Dimas bisa tersenyum lega. "Baiklah, karena saat ini sudah waktunya makan siang, bersediakah kamu menemaniku?" Dimas menatap penuh harap. "Apakah aku harus menolak rejeki yang sudah Tuhan turunkan melalui tangan seorang direktur? Mungkin saja kali ini aku akan mendapatkan jatah makan enak dan lezat!" kelakar Rayya dengan senyum di wajahnya. Dimas ikut tertawa mendengar kalimat yang gadis itu ucapkan. Sungguh, ada sesuatu yang lain, yang lelaki itu rasakan berbeda dalam berinteraksi dengan Rayya atau Ria. Ia masih ingat dengan jelas kalau saat bersama Ria dulu, kesehariannya memang selalu indah meski mereka jarang becanda, sebab keduanya bukan orang yang humoris. Jauh berbeda ketika Dimas berbicara dengan Rayya. Sebetulnya hal itu sudah disadari sejak ia pulih dari sakitnya. Gadis ini terlihat asik. Dimas yang memiliki sifat lurus-lurus saja dalam hidupnya, merasa terbawa arus ketika Rayya mengeluarkan celetukan-celetukan atau terkadang jawaban cuek saat berbicara dengannya, dan anehnya itu membuat Dimas menjadi sosok lain, tetapi anehnya lagi ia sukai. "Apakah kamu tidak pernah makan makanan enak selama ini?" ledek Dimas dengan gelak tawa yang masih tampak di bibirnya. Lagi-lagi gadis itu pura-pura berpikir, membuat Dimas gemas ingin mencubit pipinya yang terlihat putih kemerahan. "Pernah! Tapi tidak gratis, hehe," sahutnya dengan diiringi tawa di ujung jawabannya. Hal itu membuat Dimas tertawa begitu riang. Tawa yang sepertinya belum pernah ia rasakan begitu lepas paska kecelakaan yang menimpanya. Rayya hanya tersenyum melihat Dimas tertawa. Bukannya Rayya sengaja ingin membuat lelaki itu bersikap demikian, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika dirinya bisa bebas berekspresi ketika bersama dengan calon suaminya itu. Meski awalnya mereka tidak dekat sama sekali. "Baiklah. Lebih baik kita segera pergi. Sebelum restoran enak yang akan kita kunjungi penuh dengan para pengunjung karena mereka juga kompak ingin makan siang!" tukas Dimas, tertular sikap Rayya yang lepas. "Ayo! Siapa takut?" seru Rayya yang kemudian bangkit berdiri. Sebelum mengikuti Rayya yang sudah berjalan lebih dulu, Dimas mengambil kunci mobilnya yang ada di dalam laci meja kerjanya, lalu berjalan ke luar pintu ruangannya menyusul gadis itu. "Kevin, saya akan makan siang di luar. Nanti kalau ada pengacara pribadi saya datang, tolong kabari saya segera, yah?" pamit Kevin pada sekretaris-nya itu. "Baik, Pak!" jawab Kevin dengan membungkukkan badannya sedikit. Dimas kemudian melanjutkan langkahnya untuk mengejar Rayya yang sudah menunggunya di depan pintu lift. Melihat Dimas berjalan mendekat ke arahnya, lagi-lagi Rayya seperti terpesona akan ketampanan lelaki itu. Langkah kakinya yang tegas diimbangi tubuhnya yang tidak kurus tapi juga tidak gemuk, atau berotot seperti para pria-pria CEO dalam gambaran cerita n****+ kebanyakan yang Rayya sering baca, tetap terlihat menawan di mata Rayya —yang notabene tak pernah memuji fisik seorang lelaki dari wajah atau penampilannya itu. Sejauh ini hanya Fauzan, lelaki yang ia puji secara keseluruhan. Para karyawannya di toko roti bilang bila Fauzan memiliki wajah tampan khas pria Indonesia. Berbeda dengan Dimas, wajahnya yang sudah tampan bak model tampak berkarisma ditunjang jabatannya sebagai seorang direktur, membuatnya menyandang seorang eksekutif muda di usianya yang masih tiga puluh tahun. Debaran di hati Rayya semakin terasa ketika lelaki itu semakin dekat. Mengalihkan perhatiannya, Rayya segera menakan tombol lift arah turun, tepat saat Dimas sudah berdiri di sisinya. Tak ada percakapan dari keduanya sepanjanh perjalanan mereka menuju lantai bawah. Begitu keluar dari dalam lift, lalu berjalan menyusuri lantai satu hingga mereka tiba di area lobbi, banyak pasang mata yang memperhatikan keduanya berjalan. Sebagian dari mereka ada yang menampakkan ekspresi terkejut bahkan tak sungkan untuk menyapa Dimas saking penasarannya akan sosok Rayya yang berjalan di samping atasan mereka. Kasak kusuk segera terdengar di telinga Rayya saat langkah kakinya meninggalkan gedung —melewati meja petugas bagian depan dengan senyum Putri yang menatap padanya, gadis itu tidak sengaja menangkap kalimat salah seorang karyawan yang mengatakan jika dirinya adalah jelmaan Ria. "Gila!" gumamnya pelan, yang tidak Dimas dengar. Lelaki itu terlalu fokus dengan dirinya sendiri yang saat ini tengah menyerahkan kunci mobil miliknya kepada petugas keamanan, untuk mengambil mobilnya yang terparkir di pelataran gedung. "Ada apa?" tanya Dimas yang melihat Rayya tersenyum sendiri. "Ah—eh, tidak. Kenapa?" "Aku lihat kamu senyum-senyum sendiri. Apakah ada yang lucu?" tanya Dimas penasaran, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh area luar gedung kantornya. Tapi, tak ada sesuatu yang aneh, yang membuatnya tersenyum. Dimas pun kembali menatap Rayya yang kini malah tertawa. "Hei! Sikapmu itu membuatku canggung, Ra. Aku merasa kamu malah sedang menertawakanku," tuduh Dimas yang kali ini terlihat peduli akan penampilannya, sesaat setelah melihat gadis di depannya itu kunjung tak berhenti tertawa. Terlihat mobil mewah keluaran Eropa berwarna hitam, berjalan menuju mereka. Lalu berhenti tepat di depan Dimas yang masih terlihat kesal sebab Rayya masih enggan bicara. Sang petugas keamanan memberikan kunci pada Dimas saat laki-laki itu menghampiri, kemudian membukakan pintu mobil untuk direktur tersebut. "Apakah kamu masih mau berdiri di sana?" seru Dimas yang melihat Rayya belum juga masuk ke dalam mobilnya, padahal seorang petugas keamanan yang lain sudah membukakan pintu untuknya. "Ah, ehm, iya, sebentar." Entah apa yang membuat Rayya termenung dan tidak langsung masuk ke mobil ketika security wanita membukakan pintu mobil bagian depan. "Kamu itu aneh. Tadi tertawa sendiri sampai aku kesal karena tak diberi tahu alasanmu tertawa. Lalu, begitu kita sudah mau jalan, kenapa malah diam dan bengong di pinggir pintu mobil. Ada apa sebenarnya?" tanya Dimas setelah melajukan mobilnya ke jalan raya. Rayya menoleh sebentar ke arah lelaki di sampingnya, yang ternyata menatapnya juga. "Tadi aku tertawa karena ada salah satu karyawanmu yang mengatakan kalau aku kemungkinan adalah jelmaan Ria. Tentu saja aku tertawa ketika mendengar ucapan orang itu. Gila apa yah! Zaman kaya begini masih aja dia ngebahas jelmaan. Aku kelihatan mirip makhluk jadi-jadian apa?" sungut Rayya yang anehnya sekarang jadi kesal sendiri. Melihat itu gantian Dimas yang sekarang malah tertawa, yang kemudian mendapat pelototan dari Rayya. "Lalu, apa yang membuatmu bengong tadi?" Rayya kini memalingkan wajahnya ke arah luar jendela mobil. Seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang Dimas lontarkan. "Aku hanya berpikir apakah keputusan kita untuk tetap menikah akankah baik-baik saja, atau malah akan ada kesulitan yang harus kita hadapi nantinya?" Rayya lalu menoleh ke arah Dimas yang masih fokus menyetir, tetapi perlahan menengok ke samping untuk kemudian membalas tatapan Rayya padanya. "Kenapa kamu tiba-tiba berpikir begitu? Apa ada sesuatu sehingga pikiran itu muncul?" "Ehm, ya!" Rayya mengangguk. "Apa?" tanya Dimas lagi. "Melihat tatapan dari sebagian karyawanmu saat kita berjalan berdua di kantormu tadi, membuatku tiba-tiba berpikir demikian Dim. Mereka pasti menganggapku sebagai seseorang yang mengambil kesempatan dalam kondisi dirimu yang masih hilang ingatan." "Tidak ada yang tahu mengenai hal itu, Ra! Aku dan kedua orang tuaku menyimpan hal itu rapat-rapat!" "Bagaimana dengan Niken, sahabatmu tadi? Aku pikir dia tahu semuanya." Dimas terlihat gelisah, sepertinya ada hal yang lelaki itu sembunyikan dari Rayya. "Niken adalah sahabatku sejak kecil, Ra. Kami selalu bersama dari sekolah sampai kuliah. Rumah kita yang berada dalam satu komplek, membuat aku dan keluargaku sudah seperti keluarga dengannya. Ya, jujur saja aku memang sempat bercerita padanya mengenai kondisiku ini, di mana ada memoriku yang hilang tentang peristiwa kecelakaan itu. Tapi, aku tidak bercerita secara mendetail. Bahkan untuk masalah kesepakatan kita berdua saja ia tak tahu, dan aku tidak akan memberi tahu kepada siapa pun juga, termasuk kedua orang tuaku," ujar Dimas. "Jadi, aku pikir kamu tidak perlu khawatir," lanjutnya. Rayya tidak merespon ucapan Dimas. Baginya, wanita yang mengaku sebagai sahabat Dimas itu, memiliki sifat dan karakter yang tidak Rayya sukai. Bahkan ia menjamin jika wanita itu akan membawa pengaruh buruk bagi hubungannya nanti dengan Dimas. "Rayya? Apakah kamu mendengar ucapanku?" tanya Dimas yang menyadari kebisuan Rayya —yang sejujurnya tidak Dimas sukai. Lelaki itu menyukai Rayya yang riang dan terkesan cuek. Bukan seorang gadis yang pendiam seperti saat ini yang tampak di sampingnya. "Iya, Dim. Aku dengar," lirih Rayya yang tidak lagi bicara hingga mereka tiba di sebuah restoran mewah yang belum pernah Rayya kunjungi sebelumnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN