"Aku baru menyadari sesuatu, Yah, Bunda!" Rayya tiba-tiba berkata serius pada kedua orang tuanya setelah makan malam usai.
Pernikahan antara Rayya dan Dimas akan dilaksanakan bulan depan. Bu Laksmi —ibu Dimas, sudah mengatur urusan pernikahan dari gedung sampai katering juga make up artis, semua keluarga Dimas yang handle. Kedua calon pengantin hanya tinggal mengurus administrasi pernikahan ke pihak KUA.
Di situlah letak kejanggalan yang akhirnya baru Rayya sadari, dan membuatnya harus bicara pada kedua orang tuanya secepatnya.
"Apa itu, Rayya?" tanya Bu Ani pada putrinya.
"Bu, dokumen yang harus Rayya berikan pada pihak KUA, bukankah itu dokumen pribadi atas namaku?"
"Betul!" Bu Ani dan Pak Seto —suaminya, masih belum paham ke mana maksud putrinya bicara.
"Yah, Bunda, bagaimana saat akad nanti, nama siapa yang akan Ayah dan Dimas sebut? Namaku atau nama Ria?" Gadis itu menatap serius kedua orang tuanya. Ada gurat terkejut di wajah dua orang penting dalam hidup Rayya tersebut.
"Ya Tuhan, kenapa Ayah dan Bunda tidak berpikir ke arah sana? Sepertinya hal ini mesti kita bicarakan dengan keluarga Saputra, tanpa Dimas tentunya." Pak Seto bicara serius.
Hal itu bukan perkara main-main. Dalam keyakinan yang kedua keluarga anut, pernikahan merupakan sebuah kesakralan yang persyaratannya tidak bisa diabaikan.
Jika saat akad nanti, Dimas menyebut nama Ria, maka selamanya Dimas tidak bisa menyentuh Rayya, sebab otomatis keduanya akan jatuh ke dalam lubang perzinahan. Bukan Rayya yang Dimas nikahi, melainkan sosok Ria yang sebetulnya sudah meninggal dunia. Haram hukumnya jika Dimas menyentuh wanita yang bukan mahrom-nya.
"Bu, hubungi Bu Laksmi, kapan mereka ada waktu untuk membicarakan masalah ini?" perintah Pak Seto pada istrinya —bundanya Rayya.
"Iya, Yah!" Wanita paruh baya itu langsung menjalankan perintah suaminya. Mencoba menghubungi calon besan melalui panggilan telepon.
"Assalamu'alaikum, Bu Laksmi!"
[Wa'alikumsalam. Iya Bu Ani. Ada apa?]
"Maaf, ada masalah mengenai pernikahan Rayya dan Nak Dimas. Kiranya kapan Ibu Laksmi dan Pak Tara ada waktu untuk membahas masalah ini?" Tanpa basa basi, Bu Ani langsung meminta waktu kedua keluarga bertemu.
[Ada masalah apa yah, Bu Ani? Kok saya jadi deg deg-an.]
"Sepertinya kita lebih baik membahasnya langsung secara tatap muka. Tak enak rasanya jika melalui telepon."
[Oh, begitu. Ya sudah bagaimana kalau nanti sore? Suami saya sudah pulang kantor.]
"Ya, tidak masalah. Nanti sore juga tidak apa-apa."
[Mau ketemu di mana? Mau di rumah kami atau di rumah keluarga Bu Ani?"
"Apakah Ibu Laksmi dan Bapak tidak keberatan kalau membahasnya di rumah kami? Kami ingin menghindari Dimas tahu mengenai masalah yang akan kami sampaikan."
[Kami tidak keberatan, Bu. Nanti saya kabari kalau kami sudah akan berangkat.]
"Baiklah. Terima kasih atas pengertiannya Bu Laksmi. Kami tunggu kehadiran Ibu dan Bapak di rumah."
[Ya, sama-sama.]
Bu Ani menyudahi panggilannya dengan Bu Laksmi. Ia kemudian menatap suami dan putrinya bergantian.
"Mereka akan ke sini petang nanti."
"Syukurlah, semoga mereka mengerti dan mendapatkan solusi dari masalah ini." Pak Seto mengembuskan napas kasar. Berharap jika masalah ini bisa mendapatkan titik temu bagi permasalahan yang terjadi.
Rayya, obyek dari masalah itu hanya diam enggan menanggapi. Acara pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi dari sekarang saja, sudah membuat hati dan pikirannya terganggu. Ditambah dengan masalah yang baru saja ia sadari. Entah bagaimana membuatnya berharap jika nantinya pernikahan antara ia dan Dimas tidak sampai terjadi. Apalagi melihat lelaki itu yang sudah memperlihatkan kepulihannya, tentu itu adalah sebuah berita besar dan melegakan untuknya.
***
"Kamu kenapa, Rayya?" tanya Fauzan yang sore itu kembali mampir ke toko sang sahabat. Ia melihat Rayya tengah melamun di meja coffe shop.
"Tidak apa-apa. Sedikit tidak enak badan saja."
"Kalau tidak enak badan, kenapa kamu memaksakan datang ke toko?" sahut Fauzan.
"Kamu tahu sejak dulu, hati dan jiwaku ini tidak bisa dipisahkan dengan toko kue yang sudah aku bangun dari nol ini, Zan. Lagipula, aku tadi 'kan bilang cuma sedikit tidak enak badan, bukan berarti aku sakit."
Sang sahabat menatapnya serius kini, sembari mengaduk-aduk kopi s*su yang ada dirinya pesan.
"Apakah kamu sedang ada masalah? Aku lihat kamu suntuk bener!"
Rayya menarik napas dan mengembuskannya kasar. Lelaki di depannya itu terlalu hafal dengan sifat dan sikapnya. Mau bagaimana pun ia berbohong atau menyembunyikan masalah, Fauzan mudah sekali menebak.
Biasanya Rayya akan dengan senang hati bercerita, tetapi entah mengapa kali ini ia enggan bicara jika belum ada solusi yang pasti.
"Aku mau balik dulu, Zan. Keluarga Dimas mau datang ke rumah." Rayya beranjak dari duduknya.
Fauzan yang melihat gadis itu berdiri, melakukan hal yang sama. "Aku antar?"
Rayya melihat ke arah sahabatnya itu, enggan berdebat dan memilih mengangguk.
"Meidi, aku pulang dulu yah. Maaf enggak bantuin sampe closed. Ada perlu soalnya." Rayya pamit pada salah satu karyawannya.
"Iya, Mbak. Enggak apa-apa kok."
Rayya pun pergi menaruh apron ke dalam loker karyawan, kemudian berjalan menghampiri Fauzan yang baru selesai membayar kopi dan roti yang ia pesan di kasir.
"Yuk!" ajak Rayya yang tidak ingin terlambat sampai rumah. Tak enak hati jika sampai Bu Laksmi dan Pak Tara datang lebih dulu sedangkan ia masih di jalan.
"Ayo!" seru Fauzan. Kemudian berjalan mendahului sahabatnya itu menuju mobil yang ia parkir di pelataran toko.
"Apa pernikahan kalian dipercepat?" tanya Fauzan dengan wajah pilu.
Keduanya sudah berada dalam mobil. Fauzan melajukan kendaraan beroda empat miliknya itu di jalan raya.
"Belum tahu pasti, Zan. Masih menunggu hasil dari pertemuan nanti dengan keluarga Dimas." Rayya menatap lurus ke arah jalan. Tampak kondisi jalan yang mulai padat sebab mulai jam pulang kantor.
"Aku berharap semoga pernikahan kalian batal," lirih Fauzan tanpa sadar.
"Kenapa? Apa yang kamu katakan barusan?" Rayya memalingkan wajah dan menatap ke arah samping kanan di mana sahabatnya sedang fokus menyetir.
"Eh, tidak ada. Aku salah bicara tadi, maaf. Sudah, lupakanlah!" Fauzan tak ingin apa yang ia katakan diketahui oleh Rayya.
Mengenai perasaannya itu, sebisa mungkin ia simpan dulu. Apalagi setelah diketahui jika gadis yang ia cintai itu hendak menikah dengan lelaki lain, tentu ia tak ingin membuat keputusan gegabah. Mungkin bisa dibilang ia seorang lelaki pecundang, tetapi sebetulnya ia tak ingin dikasihani nantinya oleh sang gadis bilamana perasaan sebenarnya itu terbongkar.
Keduanya pun kembali saling diam. Rayya tidak tahu saat ia pulang bersama Fauzan, ternyata Dimas datang mengunjungi ke tokonya.
"Mbak Rayya baru aja pulang, Pak." Meidi yang ditemui oleh Dimas, memberi tahu keberadaan sang pemilik toko. Meidi hafal dengan wajah Dimas, sebab sudah beberapa kali lelaki itu datang ke toko dan bicara akrab dengan atasannya itu.
"Oh begitu. Kok tumben? Bukankah ia selalu pulang malam?" tanya Dimas yang heran ketika karyawan itu menyebut nama Rayya, bukan Ria. Namun, ditepisnya dulu rasa bingung di pikirannya demi ingin mengetahui keberadaan sang kekasih.
"Iya. Tapi tadi katanya mau ada perlu. Makanya Mbak Rayya pulang cepat."
Lagi, gadis di depannya menyebut nama Rayya dan bukan Ria.
"Oh gitu. Sama siapa tadi ia pulang? Apakah pakai motor seperti biasanya?" Dimas kembali menepis rasa herannya.
"Sama Mas Fauzan tadi diantar pulang?"
"Fauzan?"
"Iya, teman Mbak Rayya yang setiap sore pasti datang ke sini."
"Teman? Setiap sore?"
Meidi mengangguk. Ada perasaan tidak enak dan rasa tak mengerti dengan pernyataan yang Dimas ajukan, membuat gadis itu hanya sanggup bereaksi demikian.
"Baiklah. Terima kasih informasinya, Mbak —!"
"Meidy, Pak."
"Oh iya, terima kasih, Mbak Meidy. Kalau begitu saya permisi."
"Sama-sama, Pak." Meidy menjawab dengan menampilkan senyumnya yang paling manis. Beberapa hari ini melihat sosok wajah tampan yang sering datang menemui atasannya, membuat para karyawan di toko roti milik Rayya serasa mendapatkan pemandangan segar.
Sudah cukup bagi mereka melihat Fauzan yang wajahnya mirip model-model yang kerap nampang di layar televisi, begitu hadir sosok Dimas yang wajahnya melebihi tampang Fauzan, tentu membuat para gadis itu bak kejatuhan durian runtuh.
Dimas akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ria alias Rayya, kekasihnya. Sebelumnya ia mampir dulu ke sebuah restoran Jepang, untuk membeli makanan khas negeri Sakura, makanan favorit kekasihnya —Ria.
Akankah Dimas bertemu dengan kedua orang tuanya yang sore itu pun hadir untuk menemui Rayya dan keluarganya, membicarakan sebuah masalah penting mengenai kelanjutan rencana pernikahan ia dan Rayya —Ria?
***