PART. 4

975 Kata
Lee menghentikan langkah, saat namanya dipanggil seseorang. Lee sangat tahu siapa orang yang memanggilnya, Ratih. Gadis, si pemenang putri-putrian itu tidak pernah lelah mengejarnya, sejak ia memasuki kampus ini. Lee memutar tubuh, ia menunggu Ratih yang berlari kecil ke arahnya. Andai Ratih bukan adik Raditya sahabatnya, pasti tidak akan ia pedulikan. "Lee ...." Ratih tiba di depan Lee dengan napas terengah. Wajah Ratih yang berkulit putih, tampak memerah. "Ada apa?" Tanya Lee langsung saja. "Temani aku makan siang yuk," Ratih mengguncangkan Lengan Lee. "Kamu itu sudah besar Ratih, masa makan siang saja minta di temani." Lee menarik lengannya yang dipegang Ratih. "Ayolah Lee, aku sedang tidak selera makan. Siapa tahu kalau makan sambil menatapmu, makanku jadi banyak. Ayolah, berpahala loh menyenangkan orang secantik aku." Rayu Ratih, sambil kembali menggoyangkan lengan Lee lebih kuat lagi. "Oke, kamu pakai mobilmu, aku pakai motorku," jawab Lee akhirnya mengalah pada keinginan Ratih. "Tidak, nanti kamu bohong. Kamu naik mobil dengan aku, supirku biar mengikuti kita dengan membawa motormu, setujukan?" Mohon Ratih dengan tatapan memelas. "Hhhh, baiklah." Lee akhirnya setuju. Ia sedang malas berdebat sebenarnya. Mereka sudah berada di dalam mobil Ratih. "Ehmmm, apa kabar Radyt, apa istrinya sudah hamil?" Tanya Lee, ingin tahu kabar sahabatnya itu. "Emhhh, memangnya kalian tidak saling mengabari?" Ratih balik bertanya. "Aku takut mengganggunya kalau menghubungi lebih dulu. Dia pasti sangat sibuk mengelola cabang perusahaan ayahmu di sana." "Ya begitulah, istrinya belum hamil, mungkin mereka sengaja menunda punya anak," ucap Ratih. "Ooh, begitu ya." "Hmmm, kamu kapan melamar aku, Lee?" Tanya Ratih bernada canda, ia menatap Lee yang duduk menyetir di sampingnya. Lee menolehkan kepala, ia tersenyum pada Ratih. "Aku tidak pantas untukmu, Ratih," jawab Lee asal saja. Tiba-tiba Ratih mendekatkan kepala ke arah leher Lee. Tatapan intensnya terarah ke tanda merah di leher Lee. "Pacarmu yang bikin ini Lee?" Ratih menunjuk cupang di leher Lee yang terlihat oleh matanya. "Anak kecil dilarang tahu," sahut Lee sambil menaikan kerah kemejanya. "Waaah, diam-diam kamu menghanyutkan juga ya Lee. Iih bukan cuma satu cupang, coba lihat!" Ratih berusaha menarik kerah kemeja Lee. "Stop, kalau kamu mengganggu aku menyetir, bahaya buat kita, Ratih!" seru Lee. "Maaf, tapi aku penasaran, pacarmu siapa Lee?" Ratih menatap Lee dengan tatapan merajuk. "Diamlah, kalau kamu banyak bicara, aku turun di sini saja!" ancam Lee. "Jangan Lee, aku tutup mulutku!" Ratih mengatupkan kedua belah bibirnya. Tapi ia masih menyimpan rasa penasaran di dalam hatinya. Akan siapa pacar Lee, yang sudah membuat tanda merah di leher Lee. Mereka tiba di sebuah rumah makan, Lee memarkir mobilnya. Supir Ratih juga memarkir sepeda motor Lee. Mereka bersiap memasuki rumah makan itu, tapi langkah Lee terhenti. Lee bersembunyi di sisi sebuah mobil Fortuner. Ia menatap sepasang pria, dan wanita yang baru ke luar dari rumah makan. "Ayo kita masuk Lee," Ratih menarik tangan Lee. "Kamu masuk duluan, nanti aku menyusul," ucap Lee. "Tidak mau!" Ratih menghentakan kakinya. Ia takut Lee akan meninggalkannya "Ayolah Ratih, kamu masuk dulu, nanti aku menyusul," bujuk Lee. "Ada apa sih?" Ratih jadi penasaran. "Tidak ada apa-apa, cepatlah masuk sana," Lee mendorong punggung Ratih. Ratih terpaksa masuk ke dalam rumah makan itu sendirian. Lee mengambil motornya dari supir Ratih, lalu ia segera menyusul mobil yang membawa pergi Alea, dan Martin. Ternyata mobil memasuki sebuah Hotel. Lee menggerutukan giginya saat melihat tingkah Martin yang terlihat sangat genit pada Alea. "Tunggu!" Lee melangkah lebar mendekati Martin, dan Alea. Keduanya tampak sangat terkejut dengan kedatangan Lee. "Lee, mau apa di sini?" mata Alea   menatap garang pada Lee, sedang Martin terlihat tidak fokus, ia terus menggaruk tubuhnya, dan mengeluh panas. "Nyonya sendiri ingin apa di sini? Apa belum cukup yang terjadi semalam, dan subuh tadi, Nyonya? Kalau belum cukup, anda bisa meminta pada saya, bukan pada dia." Lee menunjuk Martin, yang terlihat seperti sedang tersiksa oleh sesuatu. "Jangan kurang ajar, Lee!" Lee tidak perduli dengan kemarahan Alea. Lee memanggil supir Martin yang berada dekat mobil Martin. "Bawa Tuan Martin pulang, tampaknya dia kurang sehat. Bukan begitu Tuan Martin?" "Alea, aku membutuhkanmu, Alea," rintih Martin, Martin seperti ingin menerjang Alea. Sigap Lee, dan supir Martin, memasukan Martin ke dalam mobil. "Tutup, dan kunci semua kaca, dan pintu mobil, bawa segera pulang ke rumah. Aku rasa, dia sedang sakit parah, sehingga sedikit berhalusinasi." Lee menjelaskan kepada supir Martin yang tampak kebingungan. Supir Martin menganggukan kepala, demi mendengar penjelasan Lee. Setelah mobil Martin pergi, Lee menarik lengan Alea untuk mendekati motornya. "Lepaskan aku Lee!" "Apa yang ada di dalam pikiran anda, Nyonya?" gerutu Lee tanpa melepaskan tangan Alea dari genggamannya. Diambilnya helm yang menggantung di stang motornya. Dilepaskan sebentar tangan Alea, agar ia bisa memasang helm di atas kepala Alea. "Aku tidak mau!" Alea berusaha kabur dari hadapan Lee, tapi Lee kembali mencengkeram tangannya. Lee naik ke atas motor, tanpa melepaskan pegangannya di pergelangan tangan Alea. "Naik!" Perintah Lee pada Alea. "Kau gila! Aku tidak mau naik motor!" Alea berusaha melepaskan genggaman tangan Lee di lengannya. "Harus mau, naik!" "Kau benar-benar gila!" "Iya, aku gila! Dan, semakin gila kalau kau tidak menuruti perintahku!" jawab Lee, yang tidak lagi memanggil Ale dengan sebutan Nyonya. Alea terpaksa menuruti perintah Lee, untungnya ia hari ini mengenakan bawahan celana panjang. Pakaian kerja yang tadi pagi dipilihkan Lee untuknya. "Peluk perutku!" perintah Lee lagi. "Tidak mau!" jawab Alea ketus. "Jangan salahkan aku, kalau kamu jatuh terjengkang Lea. Aku tidak memakai helm, kita tidak mungkin melewati jalan besar, kita harus melewati jalan tikus, kalau tidak ingin kena tilang. Kau paham, kalau kau tidak memeluk perutku, aku jamin kau akan terjengkang ke belakang!" ancaman Lee ternyata manjur juga. Alea terpaksa melingkarkan kedua tangannya di perut Lee. Lee tersenyum, ia merasa senang, juga menang, karena bisa membalas kegalakan Alea selama ini kepadanya. Lee langsung memacu motornya, Alea lebih erat memeluk perut Lee, dadanya menempel rapat di punggung Lee. Ia takut, sangat takut, karena pernah punya pengalaman buruk saat naik motor. Lee menjalankan motornya, menuju pulang ke rumah Alea. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN