PART. 12

982 Kata
Lee ke luar dari kamar mandi sambil mengusap bibirnya. Alea bangun dari berbaringnya, takut Lee akan membalas kejahilannya. "Mau kemana?" Tanya Lee. "Mau pulang," sahut Alea, bergegas ia menuju meja kerjanya. "Sudah lama sekali kau tidak memberikan hakku, Alea." Lee berdiri di belakang Alea. "Hak apa?" Alea memutar tubuhnya, wajahnya sedikit menengadah untuk menatap wajah Lee. "Raja burungku belum kamu beri makan sejak Mamang, dan Bibik datang," Lee berbisik di telinga Alea. Lidahnya dijulurkan, dijilat daun telinga istrinya. "Iih, menjauh Lee!" Alea mendorong d**a Lee dengan kuat. Lee menghembuskan napasnya. "Tidak ada dalam perjanjian kita, kalau aku harus melayanimu!" Sahut Alea dengan suara tajam. "Itu perjanjian kita, tapi ada perjanjian lain yang lebih tinggi. Perjanjian kita dengan yang Di Atas. Saat aku mengucap ijab kabul, kita berdua sudah terikat dengan hak, dan kewajiban sebagai suami istri, jadi.... " "Jangan menyalahi perjanjian kita Lee! Tidak ada hak, dan kewajiban di antara kita. Kewajibanmu, adalah mematuhi perjanjian, hakmu adalah mendapatkan bayaranmu. Itu saja!" "Oke, baiklah. Aku tidak akan bicara lagi padamu Alea. Aku tidak mau dianggap sebagai pria yang suka memaksa," Lee berjalan menuju pintu, dibukanya pintu, ia keluar lebih dulu. Alea menarik napas dalam, sebelum mengikuti Lee ke luar. 'Aku bersumpah, tidak akan lagi tergoda rayuanmu Lee. Aku bersumpah, tidak akan lagi membiarkanmu menyentuhku.' **** Saat tiba di rumah, Lee menelpon Radyt, sahabatnya yang tengah merintis usaha di luar Jawa, tepatnya di Kalimantan. Perbincangan telpon mereka berubah menjadi Video call, karena mereka cukup lama tidak bertemu. "Kau sedang di mana, Radyt?" tanya Lee penasaran, karena terdengar banyak suara orang. "Aku sedang di rumah temanku, malam ini ada acara aqikahan putra pertamanya. Jadi sedikit bantu-bantulah bersama istriku." "Ooh.... " "Nah itu dia, sang ayah yang tengah berbahagia, namanya Mas Reno Burhanuddin." Radyt mengarahkan kamera ponselnya pada seorang pria. Deg Jantung Lee serasa berhenti berdetak. "Reno Burhanuddin," gumam Lee tanpa sadar. "Ya, dia itu pria yang sangat beruntung Lee, usianya sudah tiga puluh lima tahun, tapi bisa dapat istri yang usianya baru delapan belas tahun. Istrinya, asli orang daerah sini. Sedang Mas Reno, dari Jakarta." Radyt menceritakan sekilas tentang Reno, teman bisnisnya. "Ooh, kok bisa?" Lee berusaha menahan rasa marah yang tiba-tiba saja muncul di dalam hatinya. "Katanya, mereka itu menikah karena dijodohkan. Mas Reno itu pernah punya istri, mereka menikah lima tahun, tapi tidak punya anak. Jadi mereka bercerai dua tahun lalu. Sekarang Mas Reno memiliki anak, berarti istrinya yang dulu itu mandul." "Stop, stop, stop! Kenapa kita jadi menggosip seperti ibu-ibu kurang kerjaan, Radyt. Aku menelponmu, bukan ingin mendengar kisah tentang orang lain, tapi kisah tentang dirimu, usahamu, dan juga rumah tanggamu." Radyt tergelak mendengar protes Lee, beberapa orang yang berada di dekatnya menatapnya, istrinya sampai melotot ke arahnya. Perbincangan Radyt, dan Lee terus berlanjut cukup lama. Lee cukup mampu menahan rasa marah, juga rasa penasarannya tentang Reno. Tapi, ia bimbang, apakah harus menceritakan hal itu pada Alea, ataukah tidak. **** Lee ke luar dari kamarnya, ia langsung menuju dapur untuk sarapan. Tumini, dan Jumah sudah selesai melakukan tugas mereka. "Nyonya belum turun?" "Belum Mas," jawab Tumini. "Biar aku yang bangunkan," tanpa menunggu jawaban, Lee segera ke luar dari dapur, untuk membangunkan Alea di kamarnya yang ada di lantai atas. Tumini, dan Jumah saling pandang, tapi tak ada sepatah katapun yang ke luar dari mulut mereka. Mereka lebih memilih melanjutkan aktifitas mereka. Setengah berlari Lee menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus ia lompati. Ucapan Radyt tentang Alea yang mandul terus terngiang di telinganya sejak semalam. "Nyonya!" Lee memanggil, dan mengetuk pintu kamar Alea. Tak ada respon dari dalam. "Nyonya!" Lee mengulangi panggilan, dan ketukannya. "Nyonya!" perasaan Lee mulai dirundung kecemasan. Lee kembali mengangkat tangannya, untuk mengulangi ketukan di pintu. Saat pintu terbuka, dan munculah Alea dalam keadaan kusut masai, layaknya orang yang baru bangun tidur. "Lea!" Lee menangkap tubuh Alea yang limbung, dan hampir jatuh ke lantai. "Aku tidak enak badan Lee," lirih sekali suara Alea, saat Lee membopongnya, dan membaringkannya di atas ranjang. Lee memang merasakan suhu tubuh Alea yang hangat. Lee menyentuh kening Alea dengan punggung tangannya. Kening Alea lebih panas dari pada tubuhnya. Lee merapikan rambut Alea, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Alea, yang hanya berbungkus baju tidur tipis, tanpa bra, tanpa celana dalam. Lee mengambil ponsel dari saku kemejanya, ditelponnya dokter Indri, dokter keluarga Alea. "Siapa yang kau telpon, Lee. Mas Reno?" "Bukan, dokter Indri!" jawab Lee bernada sedikit ketus. Alea menatap Lee, keningnya berkerut, dan matanya menyipit. "Kenapa suaramu ketus begitu, Lee?" "Tidak apa-apa, aku akan menelpon Julie, dan Pak Abdul dulu, untuk memberitahu kalau kau sakit, Lea." Lee berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Lee berjalan menuju jendela, disibaknya horden yang masih tertutup. Sinar matahari menerobos masuk. "Lee!" Alea berseru, ditarik selimut untuk menutupi wajahnya. Lee memutar tubuhnya, ditatap Alea dengan perasaan bingung di dalam hatinya. Gejala yang ditunjukan Alea, diketahui Lee, sebagai gejala wanita yang sedang diserang morning sickness. Tapi ucapan Radyt semalam seperti menggugurkan dugaannya. "Lee, kau tidak mendengarkan aku!?" Tanya Alea mengagetkan Lee yang sedang melamun. Lee tersadar dari lamunannya. "Ada apa, Lea?" Lee mendekati ranjang. "Aku bilang tutup hordennya, kepalaku sangat pusing Lee!" Suara Alea nyaris seperti rengekan. "Ooh.... " Lee kembali ke dekat jendela, ditutup horden yang tadi ia buka.  Kecurigaannya semakin menjadi saja, kalau Alea tengah berbadan dua, dan ia sangat yakin, kalau itu adalah darah dagingnya. Lee berusaha mengusir dulu pikiran yang membingungkannya. Ia menelpon Julie, sekretaris Alea, dan Pak Abdul, tangan kanan Alea di perusahaan. Ia mengabarkan kalau Alea sedang sakit. Setelah menelpon, Lee duduk di tepi pembaringan Alea. Diusap lembut pipi Alea dengan punggung tangannya. "Tekanan darahku mungkin turun Lee. Kepalaku pusing, aku juga merasa mual.... " "Kita tunggu hasil pemeriksaan dokter Indri, kalau disarankan opname, kita akan ke rumah sakit." "Aku tidak mau ke rumah sakit Lee," Alea merengek, dan seperti ingin menangis. "Kita tunggu saja dokter Indri ya," Lee mendaratkan kecupan di kening Alea yang terasa panas. 'Alea, aku tidak tahu, aku bingung, apakah aku harus bercerita padamu, tentang Reno, atau tidak.' BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN