Bab 9: Sudut Pandang

2833 Kata
Den, Aden di mana? Ibu sama Bapak bertengkar lagi. Barang-barang di rumah banyak yang dilempar pecah. Aldo menghela napas setelah membaca SMS yang masuk ke ponsel miliknya dari salah satu pembantu di rumahnya. Seperti biasa, orang tuanya kembali bertengkar. "Dan, gue pergi dulu, ya. Lagi ada urusan mendadak di rumah," katanya menepuk bahu Bondan yang duduk sambil mengunyah gorengan di sampingnya. Setelah melihat kepergian Adhim yang katanya pulang ke rumahnya di Kediri, Aldo, Bondan, dan beberapa pemuda lain yang mengaku tidak memiliki kegiatan sepakat meluncur ke warung Abah Suta untuk ngopi dan mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selama Adhim yang notabenennya ketua klub motor mereka tidak ada. Khususnya membicarakan mengenai anak-anak yang tinggal di rumah singgah. Anak-anak itu adalah anak-anak jalanan yang ditolong Adhim dari kekejaman premanisme Bandung, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki rumah dan keluarga, juga anak-anak yang kabur dari rumah karena kebobrokan orang tua dan keluarganya. Kebanyakan datang dari keluarga broken home. Mereka memilih jadi anak jalanan daripada tinggal di lingkungan keluarga yang tidak bisa melindungi dan memberikan perasaan aman untuk mereka dan malah hanya menyiksa. Meski sama-sama anak jalanan, mereka datang dari latar belakang yang beragam. Ada anak yang sejak dilahirkan memang tinggal di jalanan karena dibuang orang tua kandungnya, ada yang terpaksa tinggal karena sudah tidak memiliki rumah dan orang tua, ada juga yang tinggal karena tidak memiliki pilihan lain alias karena keadaan. Adhim pun bertemu mereka dengan cara yang bermacam-macam, begitu juga anggota klub motor yang lain. Ada anak yang ditemukan sedang diperas para preman, ada yang ditemukan saat sedang meringkuk kesakitan entah karena belum makan atau karena habis dihajar, bahkan ada juga yang ditemukan sedang dipukuli warga karena kedapatan mencuri. Hidup memang bisa begitu kejam bagi sebagian orang yang ada di dunia ini. Adhim dan teman-temannya menolong mereka. Sebagian di antar ke panti asuhan dan dinas sosial, dan sebagian besar yang tidak mau, diajak Adhim tinggal di rumah singgah yang kemudian ia dirikan itu. Sebagian yang lain, mereka memilih tetap tinggal di jalanan namun masih sering bertemu Adhim dan anggota klub motor sekali-dua kali saat acara Jumat Ceria di rumah singgah. Sekarang, terhitung sudah ada tujuh belas orang anak yang mau tinggal di rumah singgah Adhim. "Lo mau balik?" respons Bondan setelah menelan kunyahan gorengan di mulutnya yang dijawab Aldo dengan anggukan. "Harus banget sekarang, ya? Bentar lagi Resti sama cewek-cewek yang lain sampek sini. Lo nggak mau nungguin mereka dulu?" Aldo menggelengkan kepala. "Gue harus pergi sekarang," jawabnya. Resti yang disebut Bondan adalah salah satu perempuan yang juga menjadi anggota klub motor mereka. Ia saudara sepupu Suta. Bersama dua perempuan yang juga menjadi anggota klub motor, Resti menjadi pengurus rumah singgah yang tugas pokoknya memastikan anak-anak yang ada di sana tetap sehat dan bisa makan dengan baik. "Ya udah deh. Ati-ati!" balas Bondan. "Hm," sahut Aldo dengan gumaman. "Guys, gue pamit dulu, ya! Ada urusan mendadak di rumah," serunya lagi ganti menatap teman-temannya yang lain. "Eh, sekarang juga?" tanya salah satu orang. "Iya." "Oke. Ati-ati!" Aldo mengangguk mengacungkan jempolnya. Setelah melakukan salam rahasia mereka yang khas dengan semua orang dan berpamitan langsung kepada Abah Suta, Aldo langsung pergi mengendarai motornya dengan ngebut menuju ke rumahnya. Seorang penjaga rumah yang melihat kedatangannya langsung membukakan pagar besi raksasa yang menjadi gerbang masuk yang membuat Aldo tidak perlu turun dari motor yang ia kendarai. Laki-laki itu melirik sekilas BMW hitam Papanya dan Audi merah Mamanya yang terparkir di halaman lalu masuk ke dalam rumah. Sudah lebih dari seminggu Aldo tidak melihat kendaraan kesayangan masing-masing orang tuanya itu. Bi Surti, kepala pembantu di rumahnya yang tadi mengiriminya SMS menyambut kedatangan Aldo di pintu masuk dengan wajah pias, khawatir campur takut. "Alhamdulillah! Akhirnya Den Aldo pulang juga," serunya. "Papa-Mama di mana, Bi?" tanya Aldo langsung tanpa berniat basa-basi. "Ada di kamar utama, Den. Tadi Bibi denger Ibu sempat teriak keras tapi Bibi nggak berani nyamperin. Suara barang-barang pecah juga kedengeran sampai sini sebelum Aden pulang, tapi barusan sudah nggak kedengeran lagi. Bibi khawatir, Den," kata Bi Surti panjang-lebar. Tanpa menyahut, Aldo langsung membawa langkah kakinya yang panjang menaiki tangga menuju kamar orang tuanya. Yang Bi Surti katakan benar, sudah tidak terdengar suara barang-barang pecah dari kamar Papa dan Mamanya. Namun, semakin mendekat, Aldo bisa mendengar suara wanita yang terisak dalam tangis. "b******k kamu, Mas! Kamu sekarang berani nampar aku?! Aldo bakal marah besar kalau dia tahu kelakuanmu!" Aldo bisa mendengar Mamanya yang berkata seperti itu saat dirinya membuka pintu. Ia bisa melihat Mamanya yang terduduk di atas ranjang sambil memegangi pipi kanannya dan sang Papa yang berdiri sambil berkacak pinggang di depan Mamanya. Penampilan keduanya tampak berantakan dengan keadaan kamar yang jauh lebih berantakan lagi, devinisi dari kapal pecah yang asli. "Aldo, anak Mama ...," seru Mamanya begitu menyadari keberadaan Aldo yang berdiri di depan pintu. "Lihat apa yang dilakukan Papamu! Dia mukul Mama, Al." Mamanya berdiri dari atas ranjang dan mendatanginya. "Lihat wajah Mama," seru wanita yang melahirkannya itu lantas mulai terisak lagi di depannya. Di sisi lain, Aldo bisa melihat Papanya yang masih berkacak pinggang menggeram sambil mengalihkan wajah ke arah lain. "Urusi itu Mamamu!" serunya pada Aldo lantas berjalan melewati anak dan istrinya menuju pintu keluar kamar. "Papa mau ke mana?" tanya Aldo bernada dingin yang langsung menghentikan langkah Papanya yang sudah berada di ambang pintu. "Kenapa Papa mukuli Mama?" lanjutnya yang membuat sang Papa menghela napas berat. Tanpa berbalik badan, laki-laki paruh baya dengan kacamata yang masih bertengger apik di atas hidung bangir yang menurun pada putra tunggalnya itu menoleh kepada Aldo sebentar, "Tanya saja pada Mamamu! Dia lebih bisa kamu percaya daripada Papa," jawabnya lantas benar-benar keluar. Aldo mengepalkan kedua tangannya. Tidak ada nada menyindir atau semacamnya pada suara Riko Jefrico, Papanya. Tapi Aldo merasa dirinya baru saja mendapatkan pukulan telak yang menghantam keras hati dan perasaannya. Tidak ada banyak orang yang menghuni rumah besar nan mewah itu. Setelah beberapa lama, Aldo bisa mendengar suara mobil Papanya yang tadi terparkir di halaman kembali pergi meninggalkan rumah, seperti biasanya. Mamanya yang berdiri di depannya langsung memeluknya sambil menangis lebih keras. "Mama nggak tahan sama Papa kamu, Aldo! Mama nggak tahan! Lihat sendiri bagaimana wajah Mama jadi lebam begini karena dia. Papa kamu selingkuh lagi, Al! Bukannya minta maaf dia malah nampar Mama, hiks hiks hiks." Ayudia mempererat pelukannya pada sang putra. Aldo memejamkan matanya erat sambil menghela napas kemudian melepas pelukan Mamanya itu. Ia menatap wajah Mamanya yang masih terlihat awet muda karena berbagai perawatan yang selama ini dilakukannya di klinik kecantikan. Ada memar kebiruan di pipi kanan Mamanya karena tamparan Papanya. "Mama ada banyak acara modeling minggu ini. Dua hari lagi Mama bahkan harusnya jadi juri sebuah lomba bergengsi di Tangerang. Gara-gara Papa, Mama harus mundur sekarang. Papa kamu bener-bener jahat ke Mama, Al. Mama nggak tahan lagi sama dia." Aldo hanya diam mendengar ucapan Mamanya. Ya, Ayudia Wirantika. Mama Aldo dulunya adalah seorang model. Di umurnya yang sudah empat puluh tahun inilah, Mamanya memutuskan pensiun dari catwalk dan tetap berkecimpung di dunia modeling sebagai coach dan juri sejak dua tahun yang lalu. Umur Mamanya dan Papanya terpaut sebelas tahun. Papanya jauh lebih tua. Mamanya melahirkan Aldo sebagai anak mereka satu-satunya di usia Mamanya yang masih delapan belas tahun dan Papanya dua puluh sembilan tahun kemudian memutuskan fokus pada karir modeling sehingga Aldo tidak memiliki saudara. Kedua orang tuanya sibuk. Jika Mamanya seorang model terkenal, Papanya adalah seorang pebisnis yang super sibuk dengan urusan perusahaan. Aldo bahkan lupa kapan terakhir kali keluarganya duduk bersama di meja makan selayaknya kelurga normal yang lain. Yang dirinya ingat, kedua orang tuanya mulai sering meninggalkan dirinya sendiri di rumah bersama para pembantu di usianya yang keenam tahun. Lalu saat usia ketujuh, Mamanya sering menangis di kamarnya sambil mengatakan jika Papanya memiliki perempuan lain ketika Mamanya sedang tidak sibuk dan ada di rumah pada akhir pekan. "Kalau gitu kenapa Mama nggak cerai aja sama Papa?" tanya Aldo mengingat Papanya yang beberapa kali mengirimkan surat gugatan cerai pada Mamanya yang kemudian tidak pernah Mamanya gubris sejak Aldo masih SMP. Mamanya langsung berhenti terisak menatap Aldo. "Bercerai?" tanyanya. "Nggak akan, Al. Mama nggak akan pernah mau bercerai sama Papa kamu." Aldo hanya diam. "Kalau Mama cerai dari Papa, selingkuhan Papa kamu akan menguasai rumah ini, Al! Papa kamu akan biarin perempuan peliharaannya menguasai hartanya dan nggak akan ada yang tersisa buat kamu dan Mama! Nggak! Mama nggak akan cerai sama Papa!" Aldo menghembuskan kasar napasnya. "Aldo ..., kamu akan bela Mama kan kalau Papa mengirimkan surat cerai ke Mama lagi? Kamu akan bela Mama kan?! Iya kan, Al? Kamu akan bela Mama dan bantu Mama ngelawan Papa kamu yang tukang selingkuh itu kan?! Jawab Mama ...." Ayudia meraih tangan Aldo dan menggenggamnya erat. Aldo tetap diam. "Kamu pasti nggak lupa gimana hancurnya Mama dulu saat Papa kamu pertama kali nyelingkuhin Mama. Iya kan, Al? Kamu nggak lupa kan, Al?! Atau, Mama aja yang gugat cerai Papa kamu duluan sekarang? Nanti kamu jadi saksi Mama di pengadilan dan ngungkapin gimana kotornya perselingkuhan Papa. Dengan begitu, kita akan tetap dapat banyak bagian dari harta Papa kamu. Gimana, Al? Kamu setuju kan sama Mama?" "Ma ... Mama ...." Aldo akhirnya buka suara. Wajahnya menatap Mamanya tanpa ekspresi. "Ada yang mau aku bilang ke Mama." Ayudia yang ganti diam menatap putranya. "Aku nggak pernah membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Papa. Apalagi tindakan Papa yang sampek mukul Mama begini. Tapi, Ma, ada satu hal yang perlu Mama tahu. Aku tahu. Aku tahu kalau Mama juga selingkuh." Ayudia langsung terhenyak dan mundur beberapa langkah setelah melepas tangan Aldo mendengar apa yang dikatakan putranya. "Mungkin, Mama kira Aldo yang saat itu masih enam tahun nggak akan ngerti kalau Mama selingkuh sama manajer Mama. Tapi seiring berjalannya waktu, aku sadar kalau Mama-lah yang pertama kali berkhianat dari Papa. Jadi aku mohon, berhenti, Ma! Berhenti! Jangan saling menyakiti!" pungkasnya kemudian berbalik pergi. Tubuh Ayudia langsung lemas. Ia menatap punggung tegap Aldo yang menjauh darinya dengan tatapan tak percaya. Sama sekali tidak menyangka jika Aldo mengetahui rahasia terbesarnya. "Papa pergi, Bi?" kata Aldo lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan pada Bi Surti yang ditemuinya di lantai dasar setelah menuruni tangga. "Iya, Den," jawab Bi Surti memberikan anggukan. "Aku juga mau pergi, Bi. Mungkin malam ini nggak akan pulang. Tolong jaga Mama ya, Bi. Beresin kamar Mama dan pastikan Mama minum obat dan makan." "Iya, Den. Tapi Aden mau ke mana? Bibi harus jawab apa kalau nanti Ibu tanya Aden pergi ke mana?" tanya Bi Surti mengikuti langkah panjang Aldo yang sudah akan mencapai pintu depan. Aldo hanya melirik perempuan yang sudah menjadi pembantu di rumahnya sejak dirinya masih kecil itu sebentar kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa. Bi Surti pun hanya menghela napasnya. "Den Aldo ... Den Aldo ...." **** "Pelita, di sini!" Seorang perempuan berambut panjang dikuncir dengan setelan jins biru tua dan kaos lengan pendek warna putih yang dilapisi kardigan rajut warna moka melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe begitu orang yang ditunggunya terlihat di pandangan. "Di sini, di sini!" ulangnya yang membuat beberapa pengunjung kafe yang lain menatap bergantian ke arahnya dan ke arah seseorang yang baru masuk ke dalam kafe. Keduanya terlalu eye chatching untuk tidak menarik perhatian. Pelita yang baru datang hanya mengulas senyum cerah, melambaikan tangan sebentar sebagai balasan kemudian berjalan ke arah Cecilia, perempuan berambut panjang dikuncir yang barusan menyerukan namanya. "Mbak Cecil, udah lama, ya?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk. "Enggak. Baru aja. Tuh, mejanya masih kosong belum ada apa-apanya." Pelita memasang senyum lagi. "Oh, ya udah, Mbak. Aku pesenin minum ke pelayan dulu ya kalau gitu!" "Eh, nggak usah!" cegah Cecil. "Aku udah pesen dua minuman tadi. Habis ini pasti dianterin." "Mbak, minumnya!" Baru sebentar Cecil menutup mulutnya, seorang pelayan kafe sudah datang dengan dua gelas minuman yang tadi dipesannya. "Tuh, kan," seru Cecil pada Pelita. "Makasih ya, Mas," ucapnya pada pelayan yang baru mengantar pesanan. "Iya, Mbak. Sama-sama." Cecil kembali menatap Pelita setelah pelayan itu meninggalkan meja mereka. "Kamu datang sendiri?" tanyanya. "Iya." Pelita meletakkan tas tangannya ke atas meja. "Tumben," komentar Cecil lantas menyesap minumannya. Pelita tidak merespons. "Jadi sekarang kita mau bahas apa, Mbak?" tanyanya langsung ke tujuan mereka bertemu. Cecil mengangkat sebelah alisnya karena itu. "Buru-buru banget," komentarnya. "Tuh kacamata nggak mau dilepas dulu, ya?!" Pelita membenarkan posisi kacamata hitamnya yang sebenarnya baik-baik saja. "Enggak. Mataku lagi sakit," kilahnya. "Hmm." Cecil meletakkan gelas minumanya kembali ke atas meja dan meraih ponselnya dari dalam tas. "Udah liat viewers cerita kamu di WriteStar?" tanyanya yang dijawab Pelita dengan gelengan. "Cerita yang mana, Mbak?" balas Pelita. "Itu. Cerita pendek kamu yang temanya romance religi." "Jodoh Pilihan?" "Iya. Mau yang mana lagi memangnya? Kita udah pernah bahas hal ini sebelumnya. Gimana? Kamu mau nggak nerima 'tantangan' aku buat nulis n****+ religi? Kamu berbakat juga lho di situ, Lit! Sayang kalau nggak kamu salurkan." Pelita menghela napasnya sambil menyandarkan badan ke sandaran kursi. Kepalanya pusing karena semalam menangis dan tidak tidur sama sekali. "Masih bingung, Mbak," jawabnya. Cecilia ikut menyandarkan tubuh ke kursi yang didudukinya. "Bingung kenapa sih? Aku yakin kamu pasti bisa. Genre apa yang belum coba kamu tulis selama ini? Tinggal religi, Lit! Tinggal n****+ religi yang belum kamu lahirkan. "Oke. Kalau kamu nggak pernah nulis Jodoh Pilihan, mungkin aku nggak akan seyakin ini nantang kamu nulis n****+ religi. Tapi ..., kamu tahu kan gimana respons orang-orang sama tulisan kamu? Mereka suka, Pelita! Dan kamu tahu sendiri gimana pengaruh tulisan kamu buat mereka. Itu sangat positif. Bahkan di n****+ kamu yang ceritanya luar biasa kejam sekalipun." Pelita meraih gelas minumannya dan menyesapnya. "Aku pesanin makanan, ya?" tawar Cecil kemudian. "Nggak usah, Mbak. Barusan aku udah makan di tempat fitting baju," tolak Pelita. "Oke." Cecil mengangguk. "Jadi gimana? Kamu mau kan? Lakukan ini buat orang-orang yang selama ini dukung kamu. Kalau bukan untuk diri kamu sendiri, lakukan untuk mereka. Bungkam kritikus-kritikus yang hina karya kamu selama ini. Bungkam orang-orang yang ngatain kamu nggak punya moral dan agama! Tunjukkin ke mereka kalau kamu penulis yang serba bisa." Pelita menatap Cecil yang tampak berapi-api di depannya. Untuk pertama kalinya, perempuan yang lebih tua dua tahun dari dirinya itu berkata panjang lebar di depannya yang isinya bukan omelan. Bertahun-tahun terjun di dunia tulis-menulis dan dua tahun produktif menerbitkan n****+, Pelita paham benar pahit manisnya literasi. Selain pujian, banyak hinaan yang diterimanya dalam menulis cerita. Tidak sedikit yang mengatainya tak berperasaan, keji, gila, psikopat, amoral, bahkan tidak beragama dan sebagainya karena tulisannya yang rata-rata berbau angst dan kejam. Tokoh utama ceritanya selalu disiksa habis-habisan bahkan ada yang hingga akhir. Jikapun berakhir bahagia, mereka harus menghadapi banyak penderitaan yang luar biasa dan banyak hal gila lain. Tokoh ceritanya memiliki hidup yang tragis, hingga seolah-olah, membaca n****+ Pelita sama saja menyaksikan tragedi di pelupuk 'tak kasat' mata. Namun tetap saja. Anehnya, banyak orang yang membaca tulisan Pelita. Bahkan ketika novelnya terbit, pembelinya membludak hingga terbit cetakan kedua, ketiga, dan seterusnya. Arina dan Cecilia adalah dua orang dari para penggemar tulisan Pelita itu. Hanya Cecil saja yang tidak mau mengaku. Ia bisa menjadi editor tetap Pelita karena dirinyalah orang pertama yang menunjukkan karya Pelita pada perusahaan penerbitan buku tempatnya bekerja dan ia pula yang berhasil mengajak Pelita bekerjasama menerbitkan n****+. Lalu begitu saja, atasannya memberinya kepercayaan mengurus segalanya soal Pelita dan tulisannya karena sang atasan yang merasa puas dengan hasil kerjasamanya dengan gadis berjilbab dengan manik sewarna hazel itu. Buku-buku Pelita selalu terbit dan laku keras di sana karena keuletan Cecil menangani Pelita dan sifat keras kepalanya dengan omelan emasnya. Ya, omelan emas. Pelita yang menyebut omelan Cecil begitu. Meski merasa kesal, entah kenapa ia juga merasa senang akan setiap omelan Cecil yang ditujukan kepadanya juga karyanya. Rasanya seperti diomeli oleh saudara perempuan sendiri, mungkin seperti itu. "Jadi gimana? Kamu mau kan?" tanya Cecil seolah untuk yang terakhir kali. "Untuk riset dan sebagainya, aku janji bakal bantu kamu. Cuma aku editor yang siap ngadepin kegilaan kamu." Pelita mengembangkan senyum. "Hm. Iya deh, Mbak," ucapnya kemudian sambil mengangguk. "Huh? Beneran?" Pelita kembali mengangguk. "Yess!" Cecil yang tidak kuasa menahan rasa senangnya langsung berseru girang penuh semangat. "Minum lagi, minum lagi!" katanya kemudian. "Iya." Keduanya kembali meminum minumannya. Sebagai penulis, Pelita sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan orang-orang yang mengatainya macam-macam. Selama hal itu tidak benar, Pelita merasa tidak penting untuk memikirkannya. Tidak berperasaan. Keji. Gila. Psikopat. Amoral. Tidak beragama. Semua itu hanya pendapat orang yang tidak menyukainya. Saat berkarya, Pelita mempercayai satu kata: Sastra (tulisan) tidak memiliki agama, tapi penulisnyalah yang memilikinya. Seorang sastrawan yang pernah mengatakannya. Itulah kenapa, banyak karya bergenre fantasi yang lahir di seluruh dunia bahkan di negara-negara yang memiliki fanatisme beragama sekalipun. Sebuah karya memang memiliki kebebasannya sendiri. Sebab ia berasal dari imajinasi. Yang tidak sepenuhnya bebas adalah pembuatnya. Sebab pembuat karya harus bertanggung jawab terhadap apa yang dibuatnya. Sebagaimana Hak Asasi Manusia, seseorang terlahir sebagai orang yang bebas namun bertanggungjawab. Jadi tidak apa Pelita dihina sedemikian rupa karena karyanya. Karena yang paling penting, apa yang mereka pikirkan tentang dirinya tidak benar dan dirinya tidak sampai dirugikan. Sedangkan Cecilia, ia mengajak Pelita membungkam orang-orang yang menghinanya karena rasa cintanya. Satu kepada profesi dan pekerjaannya, dua kepada seseorang yang karyanya ia sukai dan sayang sebagai penggemarnya. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN